REVIEW - THE WANDERING EARTH 2

1 komentar

Jika The Wandering Earth (2019) tampil dengan durasi yang wajar bagi sebuah blockbuster (125 menit), maka The Wandering Earth 2 yang berstatus prekuel bergulir hampir tiga jam (173 menit), dengan tujuan menambah porsi drama kemanusiaan serta politik. Kuantitas ceritanya memang meningkat. Sangat meningkat, sampai naskahnya sendiri kesulitan memadatkannya mestki telah diberi durasi begitu panjang. 

Kisahnya mundur ke masa sebelum proyek Wandering Earth berjalan (masih bernama Moving Mountain), yang bertujuan membawa bumi berpindah ke sistem bintang Alpha Centauri karena ancaman matahari yang semakin mendekat. Liu Peiqiang (Wu Jing), protagonis dari film pertama, bergabung di proyek itu bersama para teknisi lain, termasuk Han Duoduo (Wang Zhi) yang kelak menjadi istrinya. 

Protes membanjiri pelaksanaan Moving Mountain, khususnya dari para pendukung Digital Life Project, yang alih-alih memindahkan bumi, memilih mengunggah kesadaran mereka agar dapat hidup abadi dalam wujud digital. Tu Hengyu (Andy Lau), ilmuwan yang dahulu bekerja di proyek tersebut sebelum ditutup pemerintah, kini bertugas membangun komputer kuantum bernama 550W untuk Moving Mountain. Di waktu luangnya, Tu secara berkala mengembangkan simulasi canggih untuk menghidupkan kembali puterinya secara digital. 

Rumit? Percayalah, beberapa deskripsi di atas baru segelintir dari segala intrik yang dipaparkan The Wandering Earth 2. Saya belum membahas soal serangan teroris, gesekan politis berbagai negara di mana Cina muncul sebagai "simbol kebenaran", hingga berbagai permasalahan bersifat teknis yang mempersulit jalannya proyek. 

Naskah yang dibuat sang sutradara, Frant Gwo, bersama Gong Ge'er, sesungguhnya sadar kalau ada begitu banyak konflik yang takkan cukup dituturkan dalam waktu tiga jam. Tapi alih-alih berusaha merampingkan, mereka justru memaksakan diri memadatkannya. Tempo dipercepat, eksposisi terus dilemparkan tanpa jeda, transisi antar kisah ditiadakan sehingga memunculkan lompatan kasar. Hasilnya membingungkan. Apa tujuan suatu misi? Dampak apa yang dibawa sebuah masalah? Apa peran si karakter? Jangan harap bisa memahami poin-poin penting itu secara menyeluruh. Pasti akan ada yang terlewatkan. 

Penyuntingannya pun buruk. Terasa betul didesain supaya menyingkat waktu. The Wandering Earth 2 tak ubahnya rekap. Ditambah beberapa teks plus hitung mundur mengenai peristiwa yang segera hadir, filmnya bak kaleidoskop yang mungkin ditonton oleh tokoh-tokohnya tiap tahun di televisi sebagai peringatan langkah bersejarah mereka. 

Padahal ada banyak kisah kemanusiaan potensial tersimpan di sana. Romansa Liu Peiqiang dan Han Duoduo yang kita tahu bakal berujung bittersweet, duka menyakitkan Tu Hengyu yang berhasil dihidupkan oleh penampilan kuat Andy Lau, juga elemen pengorbanan yang melanjutkan "tradisi" film pertamanya. Sewaktu berpusat di hal-hal tersebut, film ini menemukan hatinya. Saya tersentuh menyaksikan pengorbanan para generasi tua bagi generasi muda penerus masa depan dunia dalam klimaksnya. 

Tapi kalau kalian datang bukan demi cerita, melainkan parade efek spesial megah, The Wandering Earth 2 yang menampilkan beragam teknologi canggih (lift luar angkasa sepanjang 90 ribu km jadi contoh kreativitas naskahnya mengolah teknologi) bakal memuaskan. Visualnya luar biasa. Bukan semata karena kualitas CGI yang meningkat dibanding pendahulunya, tapi selaku sutradara, Frant Gwo juga memiliki insting visual kuat. Gwo adalah jagonya menciptakan panorama epik, baik yang memperlihatkan keindahan maupun kehancuran. Lihat bagaimana ia "menangani" bulan di babak ketiga, atau sekuen serbuan drone penuh kekacauan masif di paruh awal, yang bahkan bisa membuat seorang Michael Bay sekalipun merasa iri.  

Tentu The Wandering Earth bakal terus berlanjut. Pendapatannya masih menghasilkan untung besar, dan dari sisi penceritaan pun rasanya tanggung jika kita tak berkesempatan melihat umat manusia mencapai Alpha Centauri. Tinggal bagaimana Gwo dan tim menyeimbangkan spektakel epik dengan penceritaan intim mengenai kemanusiaan dan kehidupan. Biarpun kalau menilik pilihan konklusi film ini, kelak narasinya cenderung mengarah pada keabsurdan kompleks fiksi ilmiah, yang bahkan sulit ditangani oleh kapasitas penulisan mereka.

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

film keren namun jadual dan jam nya terbatas