REVIEW - DUNGEONS & DRAGONS: HONOR AMONG THIEVES

3 komentar

Dibuat berdasarkan permainan tabletop bergenre fantasi dengan biaya mencapai 150 juta dollar yang lebih dari dua dekade lalu sudah pernah menghasilkan adaptasi layar lebar berkualitas sangat buruk. Dungeons & Dragons: Honor Among Thieves seolah ditakdirkan bakal gagal baik secara kualitas maupun finansial. Tapi kemudian muncul twist: Filmnya bagus. 

Proyeksi pendapatan di akhir minggu pertamanya cuma sekitar 25-30 juta dollar, alias menandakan sebuah flop, namun dengan daya hibur sekuat ini, bukan mustahil word-of-mouth positif bakal mengubah situasi. 

Merupakan mantan anggota Harpers yang membela keadilan tanpa pamrih, Edgin Darvis (Chris Pine) kini menjadi pencuri bersama Holga (Michelle Rodriguez), selepas kematian sang istri di tangan para penyihir merah yang keji. Pasca kegagalan suatu misi yang membuatnya mendekam di penjara, Edgin mendapati sang puteri, Kira (Chloe Coleman), kini membencinya. Semua akibat tipu daya mantan rekannya, Forge (Hugh Grant), seorang penipu yang naik tahta menjadi Lord of Neverwinter berkat bantuan Sofina (Daisy Head), salah satu penyihir merah. 

Dari situlah elemen RPG mengambil alih. Demi meruntuhkan kekuasaan Forge sekaligus merebut puterinya kembali, Edgin membentuk tim berisi empat orang. Selain dirinya dan Holga, ada Simon Aumar (Justice Smith) si penyihir rendah diri, juga druid dengan kemampuan bertransformasi menjadi hewan bernama Doric (Sophia Lillis). 

Di film, genre apa yang punya penokohan serupa RPG? Jawabannya adalah heist. Keduanya sama-sama menampilkan tim berisi individu-individu dengan beragam kemampuan. Naskah yang ditulis Michael Gillio bersama duo sutradara film ini, Jonathan Goldstein dan John Francis Daley, cerdik meleburkan dua genre dari medium berlainan tersebut.

Tiap karakter punya kemampuan yang jelas sekaligus diberi kesempatan bersinar. Seperti heist dan RPG pula, muncul keasyikan menerka-nerka soal taktik apa yang mesti digunakan dalam situasi tertentu, serta karakter mana yang harus turun tangan. 

Tapi keseruan tidak seketika filmnya berikan karena separuh pertamanya berlangsung kurang mulus. Dungeons & Dragons punya dunia unik sarat mitologi menarik, di mana manusia hidup berdampingan dengan hal-hal bernuansa fantasi (sihir, naga, dll.). Sayang, caranya memperkenalkan dunia itu pada penonton, terutama di babak awal, terlalu bergantung pada eksposisi melelahkan yang terkadang membingungkan. Ditambah inkonsistensi pacing (berlama-lama di satu titik, terburu-buru di titik berikutnya), Dungeons & Dragons cenderung dibuka dengan tidak spesial. 

Lambat laun permasalahan di atas membaik. Goldstein dan Daley, berbekal pengalaman mereka membesut Game Night (2018) yang juga menggunakan permainan tabletop (lebih tepatnya board) selaku pondasi, kembali melahirkan tontonan menghibur. Komedinya efektif menyegarkan suasana, dan walaupun dipersenjatai CGI solid, aksinya lebih mengedepankan ide kreatif ketimbang efek artificial. 

Lihat ketika Doric secara bergantian berubah jadi berbagai hewan saat kabur dari kejaran Sofina. Long take-nya tidak seberapa natural (bantuan efek dan trik kamera amat kentara), namun ketika banyak sutradara blockbuster terlalu malas dan memilih membungkus kejar-kejaran seadanya, Goldstein dan Daley bersedia memutar otak untuk membuatnya lebih dinamis. 

Setengah jam terakhir filmnya punya semua elemen yang diperlukan guna menyuguhkan blockbuster kelas satu. Ada aksi seru, komedi lucu, ide-ide kreatif nan mengejutkan, dan terpenting, "rasa". Reuni Holga dengan si mantan suami yang turut menampilkan sebuah cameo, hingga konklusi yang membicarakan keikhlasan hati, memantapkan status Dungeons & Dragons: Honor Among Thieves sebagai blockbuster paket lengkap. 

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

film bocil yang menyenangkan

Anonim mengatakan...

Film keren

Anonim mengatakan...

lgbtq+ yang menghibur