REVIEW - KEMBANG API
Falcon Pictures sedang getol meluncurkan remake, baik dari film lokal maupun luar negeri. Kembang Api termasuk salah satunya, yang dibuat berdasarkan film Jepang berjudul 3ft Ball & Souls (2017). Tapi ada yang berbeda di sini. Sumber adaptasinya bukan judul high profile, serta lebih banyak eksis di sirkuit festival. Sebuah "film kecil" dengan 95% durasinya dihabiskan di satu ruangan.
Bukankah Perfect Strangers tahun lalu pun demikian? Benar, tetapi film garapan Rako Prijanto itu berhiaskan kemewahan estetika. Sedangkan Kembang Api mengajak penonton masuk ke gudang kotor nan sempit. Di situlah keempat karakternya berniat bunuh diri bersama dengan cara meledakkan bola besar berisi kembang api.
Keempatnya berkenalan di forum daring dengan nama samaran. Langit Mendung (Donny Damara) selaku pemilik gudang sekaligus pembuat kembang api jadi yang datang pertama, lalu disusul Anggrek Hitam (Ringgo Agus Rahman) dan Tengkorak Putih (Marsha Timothy). Mereka sudah memantapkan membulatkan tekad, sampai datang anggota terakhir, seorang siswi SMA bernama Anggun (Hanggini).
Apa yang membuat remaja sepertinya memutuskan mengakhiri hidup? Walau sempat memusingkan soal itu, toh bunuh diri akhirnya dilakukan. Bola meledak, tapi alih-alih mati, keempatnya malah kembali ke kondisi awal alias terjebak dalam time loop.
Ditulis naskahnya oleh Alim Sudio, sejatinya film ini tak menawarkan misteri yang sukar ditebak terkait fenomena lingkaran waktunya. Kenapa awalnya cuma Langit Mendung yang menyadari keanehan itu? Cukup lihat siapa yang memencet tombol peledak. Kenapa time loop terjadi? Kalimat "Urip iku urup" yang tertulis di bola memegang jawaban. Apakah karenanya Kembang Api jadi kehilangan daya tarik? Sama sekali tidak.
Misteri terbesarnya adalah sesuatu yang lebih dekat dan nyata, yaitu hati manusia. Selama sekitar 104 menit, Kembang Api menggunakan pengulangan waktu sebagai medium menghantarkan studi karakter. Prosesnya tidak buru-buru. Pengarahan Herwin Novianto penuh kesabaran dalam mengupas lapisan-lapisan karakternya, melahirkan drama slow burn yang mengikat.
Pemakaian lokasi tunggal pun bukannya terasa membosankan, justru memperkuat keintiman. Seiring waktu alurnya memang terkesan repetitif akibat naskah yang tak menyediakan variasi peristiwa memadai pada tiap time loop, tapi kekurangan tersebut sanggup ditutupi oleh departemen lain. Contohnya selipan humor (beberapa berbentuk humor gelap) yang tampil menggelitik tanpa harus mengorbankan kepekaan terhadap isu sensitifnya.
Demikian pula penampilan memuaskan jajaran cast-nya, yang masing-masing mewakili sebuah alasan individu memilih mengakhiri hidup (rasa bersalah, ekonomi, kecemasan, perundungan). Donny yang meyakini pilihannya bukan didasari kelemahan, Marsha dengan letupan yang menusuk, Ringgo yang membuat kita ikut merasa sesak, dan Hanggini yang menjadikan senyum sebagai topeng penutup luka. Akting mereka menebar "ranjau-ranjau" emosi di tiap sudut durasi. Sehingga, meski babak puncaknya berakhir terlalu singkat dan "gampang", filmnya tidak terasa hambar.
Di pertengahan cerita, keempat karakter mengungkap nama mereka (kecuali Anggun yang memakai nama asli). Langit Mendung adalah Fahmi, Anggrek Hitam adalah Raga, Tengkorak Putih adalah Sukma. Nama-nama itu bak mewakili pesan yang Kembang Api sampaikan. Ketika muncul pemahaman (fahmi) atas sukma dan raga, maka hidup kita akan terasa anggun. Indah. Menyala terang sebagaimana kalimat "Urip iku urup".
8 komentar :
Comment Page:film drama unik yang patut di tonton
Menunggu film yg judulnya PETASAN
hanggini bagus mainnya disini
ini baru film horror beneran, meledak berulangkali tetap hidup, keren ini film
Apa itu nolan
Wow ga ngeh klo nama2 karakternya punya makna tersendiri
Tema yg asing, judul yg ga menjual dan poster yg ga menarik. Hmm, sepertinya akan sulit bersaing di bioskop, sebagus apapun filmnya.
film bagus di caci maki
•
film jelek di caci maki
•
by the way sebenarnya sudah menonton belum š¤
Posting Komentar