REVIEW - FAST X
F9 dua tahun lalu seperti pertanda Fast & Furious mulai kehabisan akal. Semua gara-gara tuntutan untuk selalu tampil lebih besar di tiap sekuel. Mau tidak mau, perjalanan ke luar angkasa yang selama ini sebatas jadi lawakan di internet pun diwujudkan, meski dengan hasil serba tanggung. Seperti pembalap yang menganggap gelar juara dapat diraih hanya dengan melaju sekencang mungkin, tanpa menguasai teknik berbelok.
Untunglah para pembuatnya menyadari kekeliruan pola pikir tersebut di Fast X. Walau sempat diganggu permasalahan tatkala Justin Lin mundur dari kursi sutradara seminggu setelah produksi dimulai (digantikan Louis Leterrier), film kesepuluh sekaligus bagian pertama dari trilogi penutup serinya ini mengembalikan daya hibur yang sempat memudar, meski tidak menawarkan formula baru.
Kali ini Dominic Toretto (Vin Diesel) bersama keluarganya menghadapi ancaman Dante Reyes (Jason Momoa), putera Herman Reyes (Joaquim de Almeida) si raja narkoba dari Fast Five (2011). Klimaks epik film kelimanya, ketika Dom dan kawan-kawan.....maksud saya keluarga, kebut-kebutan di jalanan Rio de Janeiro sambil membawa brankas, dijadikan sekuen pembuka oleh Fast X.
Keputusan di atas memunculkan kesan "kembali ke awal" yang (untuk ukuran franchise sebodoh Fast & Furious) terasa puitis. Bukankah cara terbaik untuk mengakhiri sebuah perjalanan adalah dengan menengok lagi awal dari segalanya?
Seluruh anggota keluarga kembali. Tentu tidak semuanya mendapat porsi besar, tapi naskah buatan Dan Mazeau dan Justin Lin memastikan, sesingkat apa pun kemunculan mereka bakal meninggalkan kesan. Roman (Tyrese Gibson) dan Tej (Ludacris) masih saling melempar banter menggelitik biarpun ada kalanya meleset, sementara Deckard Shaw (Jason Statham) tetap berkesempatan memamerkan ketangguhannya di satu sekuen.
Melanjutkan pola "lawan jadi kawan", Jakob (John Cena) pun kini berada di kubu sang kakak. Penokohannya berubah. Bukan lagi pembunuh berdarah dingin, melainkan action hero penuh kelakar yang mewadahi talenta Cena. Lucu, ramah, hangat, namun tetap badass. Dia bakal jadi karakter favorit fan yang baru. Demikian pula Cipher (Charlize Theron dalam penampilan paling memorable di franchise ini) yang membawa kado luar biasa indah bagi penggemar seri ini.
Deretan wajah barunya tak kalah memikat. Brie Larson sebagai Tess, puteri Mr. Nobody (this franchise is all about family in case you forgot), menginjeksi tambahan amunisi bagi jajaran wanita yang dahulu amat minim dalam franchise-nya, tapi Momoa adalah bintang terbesar Fast X.
Dante merupakan musuh paling berbahaya bagi Dom sekeluarga. Otot, otak, teknologi, ia punya segalanya. Dante ibarat Thanos bagi para Avengers. Tetapi, alih-alih menginterpretasikan Dante sebagai iblis pembunuh yang serius, Momoa memilih gaya over-the-top penuh warna. Sang aktor paham betul sedang terlibat di film macam apa. Kemunculan Dante di layar senantiasa menghibur, bahkan di adegan non-aksi yang biasanya membosankan (makin sering Vin Diesel bicara dalam tempo lambat, makin besar rasa kantuk saya).
Cukup sampai di sini membicarakan penokohan dan akting. Bagi Fast & Furious, pencapaian di hal-hal tersebut sebatas bonus. Gelaran aksi tetap nomor satu, dan di tataran konsep, naskahnya patut diberi apresiasi. Masih konyol, masih menantang logika atau hukum alam apa pun, namun pola pikir "asal memperbesar" dikesampingkan, digantikan oleh upaya memeras kreativitas.
Memang belum benar-benar berhasil. Reaksi "Bagaimana mereka bisa memikirkan itu?!" tidak selalu bisa dimunculkan. Beberapa aksi masih berkutat di rutinitas standar Fast & Furious, tapi ide-ide seperti menggelindingkan bom berbentuk bola raksasa di jalanan Roma (kombinasi klimaks Fast Five dan sekuen pembuka Raiders of the Lost Ark) seolah mengingatkan bahwa seri ini masih menyimpan cara untuk berkembang.
Memberikan 100% pujian kepada Leterrier mungkin agak kurang adil, mengingat ia mendapat "bantuan" berupa daftar shot dan storyboard peninggalan Lin, pun terdapat adegan aksi yang diambil ketika filmnya belum menunjuk sutradara baru (baku hantam antara Letty dan Cipher misal).
Tapi bukan berarti Leterrier minim kontribusi. Tanpa sentuhan sineas yang tahu cara membungkus tontonan over-the-top, niscaya Fast X bakal berakhir hambar. Tengok dahsyatnya momen berlatar bendungan yang membuat visual filmnya nampak bak suguhan superhero. Leterrier mewarisi tenaga yang dibutuhkan guna membuat film Fast & Furious melaju kencang. Sepanjang 141 menit durasinya, saya berharap Fast X tak kunjung usai. Itulah wujud kesuksesan terbesar sebuah blockbuster.
8 komentar :
Comment Page:Bener-bener jangan pake logika kalo nonton film ini...udah enjoy aja...biarpun seneng gak seneng sih giselle balik tapi udah prediksi ssbelum nonton 🤣
Yg mati hidup lagi. Lawan jadi kawan. Fix Fast Furious niru Dragon Ball.
enjoy aja di layar bioskop yang penting teh botol sosro
FAST X 3D LAYAR BIOSKOP WOW KEREN
film lebay abis
film jelek kok di tonton ya mendingan film horror
nggak paham ini alur film nggak ada bagusnya sama sekali
Masih bertahan di layar bioskop
Posting Komentar