REVIEW - THE BOY AND THE HERON

25 komentar

Satu dekade pasca mengucapkan salam perpisahan melalui The Wind Rises yang berpijak kuat pada realita, Hayao Miyazaki kembali, namun dengan sisi bertolak belakang. Bahkan dibanding keajaiban demi keajaiban yang kerap ia lahirkan, The Boy and the Heron merupakan karya paling sureal dari Miyazaki. Perlu menontonnya lebih dari sekali untuk bisa sepenuhnya menangkap curahan personal sang sutradara legendaris. 

The Boy and the Heron memang berstatus semi-autobiografi, di mana si protagonis, Mahito (Soma Santoki), dibuat berdasarkan masa kecil Miyazaki. Di tengah Perang Pasifik, Mahito yang berusia 12 tahun kehilangan sang ibu, Hisako, akibat kebakaran yang menghanguskan rumah sakit tempatnya dirawat. Beberapa waktu berselang, Mahito pindah dari Tokyo ke sebuah pedesaan, sementara ayahnya, Shoichi (Takuya Kimura), menikah lagi dengan Natsuko (Yoshino Kimura), adik dari mendiang sang istri yang kini tengah mengandung. 

Mahito memakai topeng ketangguhan untuk menyembunyikan luka yang ia pendam. Dia mematuhi segala anjuran Natsuko, padahal Mahito enggan menerimanya sebagai ibu baru karena masih merindukan Hisako (gambaran tubuh Hisako dilalap api terus menghantui mimpinya). Dia pun berjalan tegak meski baru berkelahi dengan teman sekolahnya. Baju Mahito compang-camping, namun wajahnya tak menampakkan rasa sakit. Tapi tidak lama kemudian ia pukulkan sebuah batu ke pelipisnya hingga berdarah. 

Miyazaki menggambarkan dunia bocah yang lebih kompleks dari seharusnya akibat kemurnian yang direnggut terlalu cepat, entah oleh perang atau kehilangan sosok ibu. Hati Mahito dipenuhi beragam rasa yang tak semuanya mampu ia tangani. Begitu penuh, hingga ia merasa perlu melukai diri sendiri. 

Sampai terjadilah perkenalan antara Mahito dan burung cangak (heron) yang bisa bicara (Masaki Suda). Burung itu membawa Mahito memasuki dunia ajaib tempatnya bertemu dengan sekelompok parkit raksasa pemakan manusia, makhluk putih menggemaskan bernama Warawara, Kiriko (Ko Shibasaki) si nelayan tangguh, dan Lady Himi (Aimyon) si gadis misterius pengendali api. 

Berlatar dunia yang masih "sangat Ghibli", dengan barisan karakter imajinatif, serta pengadeganan kreatif (momen saat Mahito mengapung dari dasar air lalu terbangun dari tidur adalah contoh ide jenius Miyazaki) yang dianimasikan secara indah, di mana semburat cahaya matahari yang menembus awan senja dan pepohonan rindang nampak bak anugerah yang kadang lalai manusia syukuri, Miyazaki menyusun kisah mengenai "luka". Kematian mendatangkan luka bagi yang ditinggalkan, sedangkan kehidupan pun tak ubahnya upaya individu mengakrabkan diri dengan luka. Jika demikian, perlukah luka dihapuskan?

Kelak kebenaran di balik dunia fantasi yang Mahito kunjungi bakal tersibak. Sebuah dunia yang tercipta guna meniadakan luka, tapi untuk mendirikannya saja, tak terhitung berapa nyawa telah melayang. Sebuah dunia yang katanya sempurna, tapi para pelikan kesulitan mendapatkan sumber makanan. Melalui utopia yang menciptakan paralel dengan era Kekaisaran Jepang tersebut, Miyazaki bicara mengenai kemustahilan menghindari luka. 

Menggunakan narasi yang bergerak cukup abstrak layaknya bait-bait puisi, Miyazaki membawa Mahito memahami bahwa dunia beserta isinya bakal senantiasa terluka. Kematian serta kehilangan pun takkan bisa dihindari, bahkan sejak dini (keguguran digambarkan oleh peristiwa dimakannya para Warawara oleh sekumpulan pelikan). Manusia hanya bisa belajar menerima, kemudian pelan-pelan mengobati luka tersebut.

Apakah petualangan Mahito sungguh-sungguh terjadi, ataukah sekadar proses coping seorang bocah menghadapi duka dengan mengubah penyebab kematian sang ibu menjadi kekuatan sakti pembawa harapan yang menolong banyak makhluk hidup? Jawabannya tidaklah penting. Seperti Mahito, kita hanya perlu sejenak menemui masa lalu, berdamai dengan luka-luka yang ia tinggalkan, sebelum akhirnya melangkah menuju masa depan. 

25 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

The Boy and the Heron, kisah delusi halunisasi bocil yang depresi after kehilangan ibunya

Anonim mengatakan...

Hayao Miyazaki fix adalah penulis dan sutradara yang ODGJ berhasil mengimplementasikan kejiwaan pikirannya ke dalam guratan tulisan dan visual ke layar bioskop, keren

Anonim mengatakan...

film kartun yang over gore & horror nggak cocok untuk di tonton keluarga

Anonim mengatakan...

rating film cartoon 21 tahun ke atas, kamikaze adalah jalan ninjaku

Anonim mengatakan...

film sederhana, nggak perlu seperti disney atau lainnya yang 3D atau di baluti pelangi LGBT+

film ini real gambar nya kartun tv banget, alur cerita itu yang maknyusss banget

Anonim mengatakan...

PIXAR mana nih...

Disney mana nih...

masa kalah sama film polosan ini

DAMN TOO GOOD

Anonim mengatakan...

film bundir, nggak ah, SKIP

Anonim mengatakan...

bullying & depresi sebegitu kejamnya mempengaruhi bocil normal ke transisi menuju sakit jiwa

Anonim mengatakan...

the boy and the heron : the best cartoon movie ever

Anonim mengatakan...

jepang kalau film kartun relate dan real sama kehidupan sehari hari, ini film bagus

Anonim mengatakan...

kegilaan seorang anak dalam mengobati masa lalu, The Boy and the Heron

Anonim mengatakan...

film sakit

Anonim mengatakan...

nggak cocok untuk di tonton keluarga

Anonim mengatakan...

mental illness so sickness

Anonim mengatakan...

kartun horror siksa fantasy daripada film siksa neraka

Anonim mengatakan...

dubbing suaranya bagus dan pas

Anonim mengatakan...

the best banget ini kartun dewasa

Anonim mengatakan...

WTF OMG GOOD

Anonim mengatakan...

thanks mas atas review nya

Adjingkrak mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Abhiem mengatakan...

Ada yang tahu alasan dia melukai dirinya sendiri (pelipis kanan) saat di sekolah?

Dan, menurut saya penggalian karakter ada yang kurang pas ya, alasan dia kekeuh menyelamatkan tante (yang menjadi ibu tirinya), padahal sebelumnya kurang begitu akrab dan dekat.

Plus, alasan kakek buyutnya membiarkan balok-balok 13 buah itu diberantakin oleh si raja parkit?

Anonim mengatakan...

bocil pengen bundir

bocil anggap ibu tiri nya adalah kloning ibunya

kakek buyut cape udah mau bundir juga

Anonim mengatakan...

ini film menggambarkan depresi & bundir di mata bocil

Anonim mengatakan...

harakiri made in nippon

Anonim mengatakan...

Masih bertahan di bioskop