REVIEW - WOMEN FROM ROTE ISLAND
Kejayaan Women from Rote Island di Festival Film Indonesia, terutama di kategori film terbaik, menunjukkan betapa pemahaman negeri ini terhadap isu gender (baik empowerment secara general maupun yang menyangkut kasus pelecehan) belum banyak berkembang.
Memandangnya dari segi filmis, debut penyutradaraan Jeremias Nyangoen ini sesungguhnya memikat. Departemen artistik bekerja dengan baik, tata kameranya (juga menyabet penghargaan FFI) pun brilian. Tapi sebagai kisah tentang perempuan, khususnya para penyintas pemerkosaan, Women from Rote Island seolah cuma tertarik memotret penderitaan tanpa ujung mereka.
Film ini punya tiga karakter perempuan yang hidupnya disorot, yakni Orpa (Merlinda Dessy Adoe) beserta dua puterinya, Martha (Irma Novita Rihi) dan Bertha (Bani Sallum Ratu Ke). Mereka punya usia serta kondisi berbeda-beda, namun begitu film berakhir ketiganya memiliki satu kesamaan: menjadi korban pelecehan seksual.
Jeremias Nyangoen yang turut menulis naskah ingin menjabarkan betapa parah kasus pelecehan di Rote, hingga semua perempuan bisa jadi korban. Tidak ada perlindungan atau pengusutan tegas. Tatkala Orpa melanggar adat dengan pergi keluar sebelum jenazah sang suami dikuburkan, kemudian mendapat pelecehan di pasar, alih-alih menerima simpati, ia justru disalahkan oleh keluarganya. "Itu akibatnya kalau melanggar adat", ucap mereka.
Kondisi serupa terjadi ketika jajaran tetua adat memutuskan Martha, yang menderita gangguan jiwa, untuk dipasung ketimbang dibawa ke rumah sakit. Daripada "menolong", mereka (laki-laki) lebih memilih "mengontrol" Martha (perempuan).
Di separuh pertamanya, Women from Rote Island lebih seperti potret keseharian daripada presentasi narasi konvensional. Kita diajak melihat bagaimana perempuan di Rote dipandang rendah. Martha diperkosa, Bertha yang masih SMA pun tak luput dari nafsu bejat lelaki. Memasuki paruh kedua, alurnya beralih ke ranah whodunit, mengajak kita menyelidiki identitas pelaku pemerkosaan yang (kembali) Martha alami.
Selama sekitar 108 menit, filmnya menggambarkan penderitaan demi penderitaan para perempuan Rote, termasuk nasib tragis yang menimpa salah satu dari mereka jelang babak ketiga. Beberapa adegan pemerkosaan dimunculkan, yang untungnya tidak seberapa vulgar (konon versi festivalnya lebih gamblang).
Apakah presentasi tersebut mampu memunculkan rasa sakit di hati penonton? Jelas. Efektif memantik kebencian pada pelaku pelecehan? Tentu. Tapi apakah film ini merupakan bentuk empowerment? Saya sangsi. "Kita semua lahir dari kelamin yang berdarah", ucap Orpa. Seolah filmnya tak mampu meninggikan perempuan tanpa harus mengaitkan mereka dengan luka dan penderitaan.
Tapi mari sejenak memandang film ini menggunakan perspektif lain. Di luar permasalahan "empowerment yang diragukan" tadi, Women from Rote Island adalah karya yang digarap dengan baik. Sangat baik malah.
Tata kamera garapan Joseph Fofid rutin bergerak lincah, ada kalanya tanpa putus selama beberapa waktu. Tidak jarang gaya itu diterapkan di dalam ruang sempit yang penuh sesak oleh manusia dengan kegiatan mereka masing-masing, namun kameranya tak pernah gagal menangkap detail situasi sekaligus perasaan yang tersebar di tiap sudutnya. Pengarahan Jeremias Nyangoen pun mampu menangani deretan adegan kompleks yang sarat kekacauan.
Departemen akting jelas menjadi juara. Merlinda Dessy Adoe selalu memancarkan kekokohan seorang perempuan yang menolak runtuh di tengah terjangan masalah tatkala naskahnya gagal melakukan itu, sedangkan Irma Novita Rihi bak sungguh-sungguh dirasuki jiwa Martha. Penampilan jajaran aktris adalah satu dari sedikit hal yang terasa empowering dari film ini.
Women from Rote Island adalah film yang digarap dengan bagus, dan mungkin didasari niat bagus berbasis kepedulian pada nasib warga Rote, tapi ia bukan pemberdayaan yang bagus karena sekadar memperlihatkan para perempuan dalam kondisi tidak berdaya. Konklusi yang tak sepenuhnya memberi resolusi memang bisa dipandang sebagai kritik tersendiri, namun bukankah karya fiksi punya kekuatan untuk mewujudkan apa yang realita gagal wujudkan?
25 komentar :
Comment Page:Lbh pantas budi pekerti jd film terbaik. Jurinya ngasal kmrn
film tone deaf dan misoginis.
Gw kangen review bang rasyid yg ga terpengaruh dgn isu sosial, murni karna sisi teknis dalam film. Mulai ngeh ketika beliau review MI: Dead Reckoning, yg film sebagus itu aja cuma dapet "cukup", karena isu gender.
sambal abc di balur batangan ereksi busyet dah
Emang Film Terbaik Banget sampai 2x lihat pantat di pantai
Alur cerita mengalir lucu konak tragis
Scene Intip Emang Sebagong Itu LGBT langsung di gorok
Isu sensitif sampai pelaku penghamil pun masih misteri tidak terungkap
Anjritttt pelaku pemerkosa dan pembunuh tidak di beritahu siapa pelakunya...gemesssss
Korban sama sama Korban
Pemicu trigger hati hati jangan nonton
Panas Ganas Brutal Kocak
Film Komedi Terbaik Semua Penonton ketawa miris berjamaah di bioskop
Lucu Banget Pelaku dipaksa mengaku penghamil dan pembunuh...pelaku asli tidak terungkap
Semua pemain dalam film ini adalah penjahat berdarah dingin, tidak ada jagoan
Hilang di layar bioskop
Film bagus raib di bioskop
Hilang Sudah Film di bioskop
101 layar terbatas seluruh indonesia, kalah sama film sampah
film terbaik kalah tayang sama film junkfood nggak jelas di bioskop
Netflix aja
MI yg baru mah gak sebagus yg sebelumnya
Ribet amat sih lu bang. Segala dikaitin sama empowerment tai kucing yang cuma agenda buzz agency. Film menang ya juga karena departemen artistiknya bagus, dan adegan kontroversial (perkosaan). Itu di festival manapun dihargai, dianggap berani. Film ya film, lu jangan masukin logika realita atau agenda lu sendiri. Pakai logika yang dibangun si film.
junkfood
martabak telur
Posting Komentar