REVIEW - WOMEN FROM ROTE ISLAND

25 komentar

Kejayaan Women from Rote Island di Festival Film Indonesia, terutama di kategori film terbaik, menunjukkan betapa pemahaman negeri ini terhadap isu gender (baik empowerment secara general maupun yang menyangkut kasus pelecehan) belum banyak berkembang. 

Memandangnya dari segi filmis, debut penyutradaraan Jeremias Nyangoen ini sesungguhnya memikat. Departemen artistik bekerja dengan baik, tata kameranya (juga menyabet penghargaan FFI) pun brilian. Tapi sebagai kisah tentang perempuan, khususnya para penyintas pemerkosaan, Women from Rote Island seolah cuma tertarik memotret penderitaan tanpa ujung mereka. 

Film ini punya tiga karakter perempuan yang hidupnya disorot, yakni Orpa (Merlinda Dessy Adoe) beserta dua puterinya, Martha (Irma Novita Rihi) dan Bertha (Bani Sallum Ratu Ke). Mereka punya usia serta kondisi berbeda-beda, namun begitu film berakhir ketiganya memiliki satu kesamaan: menjadi korban pelecehan seksual. 

Jeremias Nyangoen yang turut menulis naskah ingin menjabarkan betapa parah kasus pelecehan di Rote, hingga semua perempuan bisa jadi korban. Tidak ada perlindungan atau pengusutan tegas. Tatkala Orpa melanggar adat dengan pergi keluar sebelum jenazah sang suami dikuburkan, kemudian mendapat pelecehan di pasar, alih-alih menerima simpati, ia justru disalahkan oleh keluarganya. "Itu akibatnya kalau melanggar adat", ucap mereka. 

Kondisi serupa terjadi ketika jajaran tetua adat memutuskan Martha, yang menderita gangguan jiwa, untuk dipasung ketimbang dibawa ke rumah sakit. Daripada "menolong", mereka (laki-laki) lebih memilih "mengontrol" Martha (perempuan). 

Di separuh pertamanya, Women from Rote Island lebih seperti potret keseharian daripada presentasi narasi konvensional. Kita diajak melihat bagaimana perempuan di Rote dipandang rendah. Martha diperkosa, Bertha yang masih SMA pun tak luput dari nafsu bejat lelaki. Memasuki paruh kedua, alurnya beralih ke ranah whodunit, mengajak kita menyelidiki identitas pelaku pemerkosaan yang (kembali) Martha alami. 

Selama sekitar 108 menit, filmnya menggambarkan penderitaan demi penderitaan para perempuan Rote, termasuk nasib tragis yang menimpa salah satu dari mereka jelang babak ketiga. Beberapa adegan pemerkosaan dimunculkan, yang untungnya tidak seberapa vulgar (konon versi festivalnya lebih gamblang). 

Apakah presentasi tersebut mampu memunculkan rasa sakit di hati penonton? Jelas. Efektif memantik kebencian pada pelaku pelecehan? Tentu. Tapi apakah film ini merupakan bentuk empowerment? Saya sangsi. "Kita semua lahir dari kelamin yang berdarah", ucap Orpa. Seolah filmnya tak mampu meninggikan perempuan tanpa harus mengaitkan mereka dengan luka dan penderitaan. 

Tapi mari sejenak memandang film ini menggunakan perspektif lain. Di luar permasalahan "empowerment yang diragukan" tadi, Women from Rote Island adalah karya yang digarap dengan baik. Sangat baik malah. 

Tata kamera garapan Joseph Fofid rutin bergerak lincah, ada kalanya tanpa putus selama beberapa waktu. Tidak jarang gaya itu diterapkan di dalam ruang sempit yang penuh sesak oleh manusia dengan kegiatan mereka masing-masing, namun kameranya tak pernah gagal menangkap detail situasi sekaligus perasaan yang tersebar di tiap sudutnya. Pengarahan Jeremias Nyangoen pun mampu menangani deretan adegan kompleks yang sarat kekacauan.

Departemen akting jelas menjadi juara. Merlinda Dessy Adoe selalu memancarkan kekokohan seorang perempuan yang menolak runtuh di tengah terjangan masalah tatkala naskahnya gagal melakukan itu, sedangkan Irma Novita Rihi bak sungguh-sungguh dirasuki jiwa Martha. Penampilan jajaran aktris adalah satu dari sedikit hal yang terasa empowering dari film ini.

Women from Rote Island adalah film yang digarap dengan bagus, dan mungkin didasari niat bagus berbasis kepedulian pada nasib warga Rote, tapi ia bukan pemberdayaan yang bagus karena sekadar memperlihatkan para perempuan dalam kondisi tidak berdaya. Konklusi yang tak sepenuhnya memberi resolusi memang bisa dipandang sebagai kritik tersendiri, namun bukankah karya fiksi punya kekuatan untuk mewujudkan apa yang realita gagal wujudkan?  

25 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Lbh pantas budi pekerti jd film terbaik. Jurinya ngasal kmrn

Anonim mengatakan...

film tone deaf dan misoginis.

Alvi mengatakan...

Gw kangen review bang rasyid yg ga terpengaruh dgn isu sosial, murni karna sisi teknis dalam film. Mulai ngeh ketika beliau review MI: Dead Reckoning, yg film sebagus itu aja cuma dapet "cukup", karena isu gender.

Anonim mengatakan...

sambal abc di balur batangan ereksi busyet dah

Anonim mengatakan...

Emang Film Terbaik Banget sampai 2x lihat pantat di pantai

Anonim mengatakan...

Alur cerita mengalir lucu konak tragis

Anonim mengatakan...

Scene Intip Emang Sebagong Itu LGBT langsung di gorok

Anonim mengatakan...

Isu sensitif sampai pelaku penghamil pun masih misteri tidak terungkap

Anonim mengatakan...

Anjritttt pelaku pemerkosa dan pembunuh tidak di beritahu siapa pelakunya...gemesssss

Anonim mengatakan...

Korban sama sama Korban

Anonim mengatakan...

Pemicu trigger hati hati jangan nonton

Anonim mengatakan...

Panas Ganas Brutal Kocak

Anonim mengatakan...

Film Komedi Terbaik Semua Penonton ketawa miris berjamaah di bioskop

Anonim mengatakan...

Lucu Banget Pelaku dipaksa mengaku penghamil dan pembunuh...pelaku asli tidak terungkap

Anonim mengatakan...

Semua pemain dalam film ini adalah penjahat berdarah dingin, tidak ada jagoan

Anonim mengatakan...

Hilang di layar bioskop

Anonim mengatakan...

Film bagus raib di bioskop

Anonim mengatakan...

Hilang Sudah Film di bioskop

Anonim mengatakan...

101 layar terbatas seluruh indonesia, kalah sama film sampah

Anonim mengatakan...

film terbaik kalah tayang sama film junkfood nggak jelas di bioskop

Anonim mengatakan...

Netflix aja

Anonim mengatakan...

MI yg baru mah gak sebagus yg sebelumnya

Anonim mengatakan...

Ribet amat sih lu bang. Segala dikaitin sama empowerment tai kucing yang cuma agenda buzz agency. Film menang ya juga karena departemen artistiknya bagus, dan adegan kontroversial (perkosaan). Itu di festival manapun dihargai, dianggap berani. Film ya film, lu jangan masukin logika realita atau agenda lu sendiri. Pakai logika yang dibangun si film.

Anonim mengatakan...

junkfood

Anonim mengatakan...

martabak telur