REVIEW - ALIEN: ROMULUS
Saya termasuk dari segelintir orang yang menaruh cinta sama besarnya pada Prometheus (2012) dan Alien: Covenant (2017). Tapi harus diakui seri Alien sedang mengalami krisis identitas, mengingat bagaimana dua judul tersebut melangkah ke jalur berlawanan. Melalui Alien: Romulus, Fede Álvarez mengembalikan waralaba horor ini ke akarnya, memberinya identitas yang pasti, sembari memproduksi semacam kompilasi berisi hal-hal ikonik dari judul-judul sebelumnya.
Latarnya adalah 2142, alias 20 tahun pasca Alien (1979) dan 37 tahun sebelum Aliens (1986), menjadikannya sebuah interkuel. Tidak ada Ellen Ripley (Sigourney Weaver) di sini. Figur protagonis perempuan ditempati oleh Rain (Cailee Spaeny), yang berharap dapat segera pergi dari koloni industrial milik Weyland-Yutani, dan tinggal di planet indah dengan siraman cahaya matahari.
Harapan itu mendekati kenyataan saat mantan kekasih Rain, Tyler (Archie Renaux), beserta para kru kapalnya, berniat mencuri stasiun luar angkasa milik Weyland-Yutani yang telah ditelantarkan, dan memakainya untuk mencapai tempat tinggal baru. Android bernama Andy (David Jonsson) yang diprogram sebagai saudara Rain juga turut serta. Tanpa mereka tahu, sekelompok alien buas telah menanti di stasiun tersebut.
Butuh waktu sampai Alien: Romulus tancap gas menebar teror. Pendekatan yang sesungguhnya juga diterapkan oleh Ridley Scott di Alien. Naskah buatan Fede Álvarez dan Rodo Sayagues berniat memakai babak pertamanya sebagai fase perkenalan. Sayang, paruh awalnya yang tak dihiasi atmosfer mencekam ala film pertama, bergulir cukup melelahkan akibat kegagalan naskah melahirkan barisan karakter menarik di luar duet Rain-Andy.
Setidaknya dua nama di atas mendapat penokohan solid. Rain adalah protagonis terbaik sejak Ripley. Hanya manusia biasa yang perlahan semakin kuat ketika rangkaian teror silih berganti hadir di depannya. Cailee Spaeny membawakan transformasi itu dengan meyakinkan.
Sementara Andy adalah karakter dengan peran paling signifikan dalam tema yang filmnya angkat. Dia dianggap produk gagal (digambarkan bak manusia berkebutuhan khusus), dan di satu titik, sistemnya ter-upgrade berkat pemasangan modul baru, yang turut memberi ruang eksplorasi pada akting David Jonsson. Andy menjadi lebih canggih, namun seperti kehilangan hati, dan bertindak dengan mengutamakan kepentingan perusahaan.
Bagaimana dengan manusia? Apakah kesempurnaan bakal membawa kehidupan yang lebih baik, atau justru menghancurkannya dan menghilangkan esensi kemanusiaan? Seiring pertanyaan tersebut dilemparkan, semakin menarik pula penuturan Alien: Romulus selepas dibuka secara kurang meyakinkan.
Sampai tiba waktunya makhluk-makhluk seperti Facehugger, Chestburster, dan tentunya Xenomorph menebar aroma kematian. Mengingat Álvarez pernah secara literal menumpahkan hujan darah di Evil Dead (2013), kadar kekerasan yang tak terlalu ekstrim di sini mungkin agak mengecewakan, namun sang sutradara punya amunisi lain.
Pertama adalah penempatan jumpscare yang luar biasa. Álvarez menguasai perihal "kapan" dan "bagaimana", selaku dua faktor yang amat menentukan keberhasilan menggedor jantung penonton lewat rasa kaget. Poin kedua, sekaligus yang lebih mengagumkan, yakni kemampuan Álvarez membangun kecemasan dalam tiap serangan alien, melalui pemilihan gerak kamera yang tepat, permainan tempo, serta bantuan dari musik mencekam buatan Benjamin Wallfisch.
Presentasinya yang menegangkan membuat saya bersedia melupakan bagaimana naskahnya kerap memaksakan hal-hal tidak perlu yang ada kalanya terkesan konyol demi menambah konflik. Sebuah keputusan radikal di babak final bakal memancing kontroversi, tapi ini bukan kali pertama Alien bermain-main dengan aspek biologis Xenomorph, dan terpenting, ia sejalan dengan narasi tentang "kesempurnaan manusia" tadi.
Perlukah menonton judul-judul sebelumnya agar bisa memahami alurnya? Kecuali film orisinalnya, sebenarnya tidak. Tapi pemahaman menyeluruh tentang Alien bakal membantu anda menangkap setumpuk referensi yang dengan cerdik Álvarez sebar di berbagai titik. Tidak hanya seputar dua film pertama, karena Alien 3 (1992), Alien Resurrection (1997), bahkan dua prekuelnya juga mendapatkan cinta. Alien: Romulus merupakan kompilasi "the greatest hits" bagi franchise-nya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar