REVIEW - TRAP

2 komentar

Trap bagaikan dua film yang amat berbeda namun dipaksa menyatu. Paruh awalnya adalah thriller "kucing-kucingan" intens berisi adu taktik yang berhasil memanfaatkan sebuah lokasi dan situasi. Sedangkan paruh akhirnya dipenuhi kebodohan, lubang logika, juga kejutan-kejutan tak perlu, yang kembali memperlihatkan ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) M. Night Shyamalan menahan diri. 

Alkisah, Cooper (Josh Hartnett) tengah menemani puterinya, Riley (Ariel Donoghue), menonton konser si penyanyi idola, Lady Raven (Saleka Night Shyamalan). Konser pun dimulai, semua nampak lancar, sampai kita dibuat menyadari suatu kejanggalan: Mengapa Cooper berulangkali terlihat waswas sembari mengecek kondisi sekeliling? 

Jika ingin merasakan pengalaman menonton Trap secara maksimal, rasanya cukup sinopsis singkat di atas yang kalian tahu. Shyamalan begitu piawai mendesain babak pertama filmnya sebagai alat pemancing rasa penasaran. "Apa yang sebenarnya terjadi?", kemudian "Bagaimana semua ini akan berakhir?" merupakan dua pertanyaan yang bakal kerap mewarnai pikiran penonton. 

Banyak yang mempermasalahkan nepotisme terkait keterlibatan Saleka, dan paruh awal alurnya memang bak upaya mempromosikan lagu-lagu sang penyanyi, kala Shyamalan acap kali terlalu fokus pada penampilan puterinya tersebut, berlama-lama menangkap aksi panggung ketimbang mengolah penceritaan. Setidaknya Shyamalan membayar lunas keputusan itu dengan pengadeganannya yang intens. 

Ada rasa tidak nyaman ketika Shyamalan berkali-kali memakai close-up, lalu meminta aktor-aktornya menatap ke arah kamera. Seolah ruang privat kita sedang diinvasi oleh sang sineas. Pilihan teknis yang mungkin akan terkesan aneh, namun turut membuktikan keberanian Shyamalan mendobrak pakem guna merealisasikan visinya. 

Sayang, segala keunggulan di atas perlahan runtuh begitu penampilan Lady Raven berakhir, dan latarnya berpindah, keluar dari area konser. Ketegangannya menipis akibat naskahnya terus menumpuk pilihan narasi bodoh. Lubang logika terbesar adalah mengenai keterlibatan Lady Raven di paruh kedua. Kenapa penyanyi terkenal seperti dirinya bersedia sedemikian jauh mempertaruhkan nyawa tanpa motivasi personal? 

Shyamalan seperti hanya ingin puterinya mendapat porsi sebanyak mungkin, tanpa memedulikan dampak negatif bagi kualitas narasi filmnya. Pilihan yang baik sebagai seorang ayah, namun buruk sebagai sineas. Ketika Trap terus melanjutkan alurnya dan melewatkan beberapa titik yang lebih tepat dijadikan penutup, saya pun semakin dibuat merindukan thriller menegangkan yang menghiasi layar di babak awal.

2 komentar :

Comment Page:
Herwin mengatakan...

Gak review Maharaja?

Jon mengatakan...

Gak review Fly to the Moon om?