REVIEW - UANG PANAI 2
Uang Panai pertama adalah sebuah fenomena. Sekitar 520 ribu penonton sukses dikumpulkan, yang berujung membuka jalan bagi lebih banyak film Makassar untuk tayang secara nasional. Walau harus diakui terdapat setumpuk pekerjaan rumah terkait kualitas. Delapan tahun berselang, biarpun sekuelnya (yang sudah rampung diproduksi pada 2021) mungkin takkan mencapai level kesuksesan komersil yang sama, ia berhasil memperbaiki sebagian besar kelemahan pendahulunya.
Kali ini Anca (Ikram Noer) dan Risna (Nurfadhillah) selaku dua protagonis film pertama hanya tampil sebagai extended cameo. Mereka telah menikah, memiliki anak, dan mendirikan "Pattumbu" bersama Tumming (Tumming) dan Abu (Abu), yakni perusahaan jasa konseling mengenai uang panai.
Klien pertama mereka adalah Iccang (Rendi Yusa Ali), yang ingin menikahi Icha (Diny Arishandy) setelah bertahun-tahun pacaran. Masalahnya, ibu Icha (Yuyun) ingin anak tunggalnya yang berprofesi sebagai dokter spesialis itu menemukan pasangan yang "selevel". Uang panai mahal pun tak terhindarkan.
Fokus penceritaan dalam naskah buatan Gabriella Dwiputri dan Elvin Miradi adalah upaya Iccang mengumpulkan uang panai dengan bantuan Pattumbu. Jangan harapkan strategi kreatif dari Tumming dan Abu, yang sejatinya berpotensi menambah daya tarik penceritaan, sebab keduanya sebatas mendorong Iccang untuk berhemat. Menjual pakaian mahal dan motor, sampai menabung di celengan jadi beberapa contoh solusi yang ditawarkan.
Bukan berarti Uang Panai 2 gagal menghibur. Sebaliknya, kesederhanaan tadi mampu diolah menjadi suguhan menyenangkan. Ihdar Nur, yang beberapa bulan lalu baru merilis salah satu kejutan terbesar tahun ini dalam Keluar Main 1994, mengambil alih kursi penyutradaraan dari Halim Gani Safia dan Asril Sani, dan kegemaran sang sineas terhadap komedi Thailand serta drama Korea kembali memegang kunci.
Komedinya selalu efektif memancing tawa kala melempar momen-momen absurd khas sinema Thailand, yang dibawakan dengan apik oleh jajaran pemainnya. Di sisi lain, Uang Panai 2 juga piawai mengaduk-aduk perasaan penonton (baca: amarah) lewat presentasi drama keluarganya, terutama melihat paksaan demi paksaan yang ditujukan pada Icha oleh sang ibu.
Bahkan ada kalanya Uang Panai 2 menerapkan beberapa formula khas drakor bergenre makjang, sebutlah protagonis dari keluarga kaya dengan kepribadian orang tua yang berlawanan (satu penyabar, satu kerap meledak-ledak emosinya), hingga adegan seputar lingkaran pertemanan ibu-ibu kaya yang sebatas membicarakan harta di cafe atau restoran.
Penceritaannya memang tak selalu berjalan lancar. Struktur narasinya terkadang tampil janggal, saat naskahnya memaksa untuk menyelipkan peristiwa super singkat yang sebenarnya tidak benar-benar diperlukan. Sementara departemen penyuntingan kerap muncul dengan timing aneh yang menyebabkan kurang mulusnya transisi antar momen.
Ardiansyah Amda Ekoputra selaku editor kebetulan juga menjadi penata kamera, dan di situlah ia membayar kelemahannya "menjahit film" dengan tangkapan gambar-gambar yang memanjakan mata. Visualnya jauh mengalami peningkatan dibanding film pertama, walaupun jika membicarakan teknis, kekurangan masih tersisa di tata suara yang menyebabkan beberapa dialog kurang nyaman didengar.
Perbaikan lain yang dilakukan Uang Panai 2 terletak pada presentasi drama. Jalinan romansanya tidak melucuti kualitas, karena berbeda dengan film pertama, dua pemeran utama mampu bermain solid. Rendi Yusa Ali sanggup mengimbangi Tumming dan Abu dalam memainkan humor, sedangkan Diny Arishandy begitu natural menangani kalimat demi kalimat yang disediakan naskahnya.
Uang Panai 2 pun patut dipuji karena bisa bersikap seimbang dalam memandang konflik keluarganya. Anak mesti menghormati orang tua, khususnya ibu yang bertaruh nyawa untuk melahirkannya, namun di sisi lain orang tua juga tidak semestinya menyetir kehidupan si buah hati. Keseimbangan macam inilah yang memberikan kehangatan bagi tuturan dramanya.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar