REVIEW - MENDADAK DANGDUT
Mendadak Dangdut orisinal (2006) adalah proses mengenali akar rumput, di mana si protagonis dipaksa keluar dari dunia fantasi gemerlap miliknya, untuk menyambangi realita yang diwakili oleh semangat musik dangdut. Skena dangdut benar-benar coba diresapi esensinya. Mendadak Dangdut versi baru melupakan semua esensi itu, lalu sebatas tampil layaknya seorang musisi pop yang meng-cover lagu dangdut secara asal-asalan tanpa berusaha mengenalinya.
Disutradarai oleh penulis film pertamanya, Monty Tiwa (turut menulis naskahnya lagi bersama Erik Tiwa dan Muttaqiena Imaamaa), ketimbang sekuel atau remake, Mendadak Dangdut lebih dekat ke ranah rekuel, dengan mengambil latar di semesta yang sama, namun dengan karakter serta konflik yang sama sekali berbeda.
Sesungguhnya ia diawali dengan meyakinkan. Naya (Anya Geraldine) si bintang pop ternama mendadak terbangun di sebelah mayat yang berlumuran darah. Tidak yakin mengenai apa yang terjadi, Naya yang dicurigai sebagai pembunuhnya pun mengajak sang adik, Laura (Aisha Nurra Datau), kabur sejenak untuk menyusun strategi. Karena kondisi, ayah mereka (Joshua Pandelaki) yang menderita alzheimer pun terpaksa ikut serta.
Keputusan Naya untuk kabur lebih masuk akal dibanding pilihan yang diambil Petris (Titi Kamal) dan Yulia (Kinaryosih) di film pertama. Pasalnya situasi yang dialami jauh lebih menyudutkan, pun Naya bukan semata-mata lari tanpa tujuan. Tapi hanya sampai sini saja keunggulan milik versi barunya.
Pertemuan dengan Wawan (Keanu AGL) dan Wendhoy (Fajar Nugra) yang sedang merintis orkes mereka seketika membawa perjalanan hidup Naya ke arah tak terduga. Naya si musisi pop yang terbiasa membawakan lagu-lagu lirih ditemani gitarnya kini mesti belajar mengolah cengkok dalam bernyanyi sembari bergoyang mengikuti kemeriahan alunan nada. Well, seharusnya itulah yang terjadi.
Naskah Mendadak Dangdut punya satu lubang besar: Naya tidak melalui proses belajar. Tanpa tuntunan dari siapa pun, mendadak ia langsung memahami cara mengubah gaya bernyanyinya. Jika dahulu Petris mesti melewati jalan panjang untuk bisa mengapresiasi musik dangdut, di sini Monty meniadakan proses tersebut, menggantinya dengan momen komedik kala Naya tak mampu menahan goyangan tubuhnya kala mendengar aransemen Wawan dan kawan-kawan.
Hilang sudah proses memahami akar rumput sebagaimana Petris dan dan Yulia lalui. Dangdut tak lagi coba dimengerti, tapi hanya diposisikan sebagai properti tanpa arti. Deretan nomor legendaris seperti Jablay dan Mars Pembantu kembali dibawakan, masih terdengar catchy, namun dengan aransemen anyar yang kurang bernyawa (baca: kurang nakal), sama seperti filmnya sendiri. Adegan panggungnya pun dibawakan sekenanya, yang nampak dari minimnya usaha sinkronisasi antara departemen visual dengan audio.
Skripnya wajib berterima kasih pada jajaran pemain yang melaksanakan tugas masing-masing secara maksimal. Biarpun belum benar-benar mulus melakoni momen dramatik, Anya Geraldine nampak semakin bertumbuh sebagai figur lead yang solid. Sedangkan nama-nama seperti Keanu, Fajar Nugra, hingga Adi Sudirja mampu menyulap materi humor yang sejatinya medioker, jadi memiliki daya untuk memancing tawa.
Khususnya Keanu yang senantiasa total sekaligus natural dalam hal menumpahkan beragam celotehan dan ejekan menggelitik dari mulutnya. Comic timing-nya luar biasa. Bahkan di satu titik, ia memamerkan kebolehan improvisasi yang begitu kreatif nan lucu, sampai membuat lawan mainnya kesulitan menahan tawa.
Saya pun ingin menyoroti penampilan terakhir mendiang Joshua Pandelaki yang akan membuat hati banyak penonton teriris lewat aktingnya. Sayang, naskahnya gagal melahirkan drama mumpuni terkait konflik ayah-anak miliknya. Terutama saat Monty memilih memposisikan penyakit kronis selaku trik malas guna menyelesaikan permasalahan.
Saya sungguh membenci cara yang belakangan untungnya sudah mulai ditinggalkan oleh para penulis naskah ini. Mengapa eksistensi penyakit seketika mengeliminasi bobot masalah? Mengapa penyakit seolah menjustifikasi kesalahan yang penderitanya lakukan? Mengapa semuanya serba instan? Tidak adakah ruang untuk pembicaraan yang lebih mendalam?
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar