REVIEW - KNEECAP

Tidak ada komentar

Haruskah perlawanan terkesan serius dan kelam? Apakah kekakuan wajib dikedepankan dan berjalan beriringan dengan keberhasilan perjuangan? Kneecap, trio hip hop asal Belfast, jelas menolak berpikir demikian. Sehingga biopic yang mendramatisasi perjalanan karir mereka ini pun dipresentasikan sebagai "film perlawanan" yang menyenangkan. 

Naskah buatan sang sutradara, Rich Peppiatt, mengawali narasinya dengan berkelakar mengenai tendensi film Irlandia untuk membuka kisahnya dengan gambaran-gambaran kerusuhan, maupun tragedi seperti peristiwa Minggu Berdarah tahun 1972. Kneecap berbeda. 

Pertama kali penonton diajak berkenalan dengan Liam Óg Ó hAnnaidh dan Naoise Ó Cairealláin (memerankan diri sendiri) selepas mereka dewasa, kedua protagonis kita tersebut sedang berpesta di tengah hutan sembari dikuasai pengaruh ketamin yang menghadirkan halusinasi liar. Dilihat sekilas, mereka tidak cocok menjadi ikon perlawanan. Begitu pula JJ Ó Dochartaigh yang menjalani rutinitas membosankan selaku guru musik. 

Sedikit fakta menarik tentang tiga laki-laki di atas. Ayah Naoise yang juga akrab dengan Liam sedari kecil, Arlo (Michael Fassbender), merupakan anggota paramiliter yang disegani, sebelum suatu hari memilih memalsukan kematiannya guna menghindari kejaran otoritas. Sedangkan kekasih JJ, Caitlin (Fionnuala Flaherty), termasuk pentolan dalam gerakan untuk memperjuangkan supaya Bahasa Irlandia diakui secara resmi, pula bebas digunakan secara kasual alih-alih dipandang sebagai simbol pemberontakan.  

Intinya, pergerakan, perlawanan, atau apa pun sebutannya, amat dekat dengan kehidupan mereka bertiga. Sampai suatu ketika, berkat campur tangan takdir, JJ menemukan buku catatan berisi lirik lagu dalam Bahasa Irlandia yang ditulis oleh Liam. Seketika tercetus ide untuk menggubah barisan lirik tersebut menjadi lagu rap. 

Sebelumnya kita tak pernah melihat Liam dan Naoise menembakkan rima dari mulut mereka, namun ketika tiba waktunya merekam musik, keduanya mendadak terdengar seperti anggota N.W.A. di masa keemasannya. Lubang narasi ala film biografi arus utama semacam itu     termasuk babak ketiga yang berlangsung terlampau dramatis karena naskahnya memaksa untuk memberi resolusi bagi seluruh konflik di waktu bersamaan    kadang masih jadi batu sandungan, namun energi yang disuntikkan oleh Rich Peppiatt beserta tiga pemeran utamanya membuat film ini terasa spesial. 

Diiringi lagu-lagu Kneecap yang eksplosif serta tidak ragu melempar kritik terhadap penindasan oleh pihak Britania, sembari tanpa malu-malu membicarakan hedonisme sarat kokain, filmnya membuktikan bahwa perlawanan tak harus mengalienasi kesenangan. Mereka berpesta, teler bersama di tengah proses pembuatan lagu yang berlangsung liar, pernah pula mengacaukan jalannya Orange walk dalam adegan kejar-kejaran seru yang dihiasi lagu Smack My Bitch Up kepunyaan The Prodigy.

Pasca salah satu lagunya berhasil viral, Kneecap langsung mengguncang seisi bangsa. Pemerintah Britania memandang karya mereka sebagai bentuk anarki, sementara kaum konservatif dari organisasi paramiliter bernama RRAD (Radical Republican Against Drugs), yang merupakan parodi dari kelompok dunia nyata bernama RAAD (Republican Action Against Drugs) mengutuk gaya hidup mereka yang dipenuhi narkoba. 

Bahkan di satu titik, Caitlin mengeluhkan sepak terjang Kneecap yang menurutnya mengganggu usaha memperjuangkan hak berbahasa. Arlo yang menyebut pelariannya sebagai "misi" dan amat mengagungkan metode konservatifnya pun mengecam tindakan sang anak. Apakah perjuangan mesti disuarakan dalam satu nada yang sama?  

Menariknya, trio Kneecap tidak pernah berniat memposisikan diri sebagai pejuang hak asasi. Barisan lirik kritis mereka bukan hasil rumusan yang disusun matang-matang demi tujuan tertentu, melainkan sebatas teriakan isi hati. Semuanya terjadi secara alami. Para personil Kneecap cuma mau bersenang-senang, sambil secara bebas menulis, bernyanyi, dan mengatakan apa pun yang diinginkan. Mereka hanya ingin bicara. 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: