REVIEW - WARFARE
Pertama kali penonton diajak bertemu tentara Amerika di film ini, mereka sedang menonton video aerobik dengan luar biasa bersemangat bak tengah berpesta pora. Itu pula kali terakhir kita melihat semangat mereka. Warfare bukan soal keseruan merenggut nyawa musuh di medan perang, melainkan ketegangan dari upaya mempertahankan nyawa. Ketimbang ode untuk patriotisme, ia lebih seperti elegi sarat penyesalan.
Alex Garland menulis sekaligus menyutradarai filmnya bersama Ray Mendoza, mantan anggota Navy SEALs yang di sini menuturkan pengalamannya kala bertugas di Perang Irak. Pada 19 November 2006, Mendoza (versi film diperankan oleh D'Pharaoh Woon-A-Tai) dan peletonnya dikirim untuk melakukan pengintaian guna mendukung operasi dari korps marinir.
Di tengah kegelapan malam, Erik (Will Poulter) memimpin pasukannya menuju sebuah rumah yang bakal dijadikan basis pengintaian. Rumah dua tingkat itu dihuni pula oleh dua keluarga sipil. Penghuni lantai atas cuma bisa pasrah menyaksikan tembok rumah dijebol dan diobrak-abrik untuk dijadikan markas sementara. Garland dan Mendoza menolak menutup mata bahwa apa yang pasukan Amerika lakukan adalah penjajahan terhadap orang-orang tak bersalah.
Dua penerjemah, Farid (Nathan Altai) dan Noor (Donya Hussen), turut serta dalam operasi. Mereka cenderung diperlakukan semena-mena, termasuk diperintahkan untuk menjadi tameng di baris terdepan kala bahaya menghampiri. Tatkala Farid tewas mengenaskan dengan tubuh yang terburai, namanya luput disertakan dalam kelompok "korban jiwa", seolah eksistensinya sama sekali tidak berharga.
Warfare enggan memberi penokohan mendalam mungkin karena para pembuatnya tidak ingin penonton mengalami bias dalam proses observasi. Tatkala misi mulai berantakan pun kita tidak digiring untuk bersimpati pada penderitaan yang dialami peleton Mendoza. Jikalau muncul simpati, atau minimal rasa pilu menyaksikan luka-luka mengenaskan yang dialami karakternya, itu adalah respon natural kita selaku manusia saat dihadapkan pada tragedi.
Dipaparkan secara real time sepanjang 95 menit, paruh awalnya menegaskan tujuan Warfare untuk mengedepankan tangkapan realita dan paparan prosedural ketimbang dramatisasi. Realitanya, misi pengintaian bukan aktivitas yang mengasyikkan. Alih-alih terlibat baku tembak seru, si penembak jitu mesti "mematung" selama berjam-jam sembari mencatat situasi. Anggota lain pun disibukkan oleh rutinitas membosankan yang sama.
Tengok pula saat lesatan peluru mulai memperlihatkan ancamannya. Para Navy SEALs tidak bisa segampang itu melarikan diri. Setumpuk peralatan militer yang tersebar di penjuru rumah wajib dikumpulkan dahulu sebelum dilakukan evakuasi, yang mana meningkatkan risiko ancaman.
Bertepatan dengan fase di saat karakternya terjebak tak berdaya di dalam rumah, alurnya sempat mengalami stagnasi. Untungnya intensitas senantiasa bisa dijaga oleh duo sutradara, pula departemen tata suara yang begitu efektif mengolah atmosfer mencekam. Dentuman-dentuman bomnya memang terdengar bombastis, tapi teriakan manusia yang tak henti mengiris telinga nyatanya jauh lebih mengguncang. Kemudian saat suara-suara itu akhirnya memudar, bukan patriotisme yang terasa. Hanya ada keheningan yang merekam jejak-jejak penderitaan.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar