Tampilkan postingan dengan label Christian Bale. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Christian Bale. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THOR: LOVE AND THUNDER

Alasan Thor: Ragnarok (2017) sukses adalah langkah ekstrim Taika Waititi membawa kisah si Dewa Petir ke ranah komedi, tanpa memusingkan bobot emosi. Dia bak rockstar yang bertingkah semau sendiri, mendobrak segala norma. Thor: Love and Thunder masih sarat komedi, menyenangkan, pun Waititi masih seorang rockstar. Bedanya, kali ini ia rockstar yang telah bertengger di puncak kemapanan, mencoba pendekatan sesuai aturan. 

Jangan salah, Love and Thunder tetap kekonyolan yang aneh, bahkan bagi standar MCU. Di sinilah musik hard rock Guns N' Roses melebur dengan nomor new-age macam Only Time milik Enya. Jika Steve Rogers pamer bisep, maka machismo Thor (Chris Hemsworth) ditunjukkan lewat kemampuan split. Semua adalah produk keisengan Waititi yang takkan bisa ditiru sineas MCU lain. 

Tapi kali ini naskah hasil tulisan Waititi dan Jennifer Kaytin Robinson menyuntikkan beberapa keseriusan, yang sejatinya memang diperlukan. Salah satunya karena latar belakang tragis antagonisnya. Didorong duka atas kematian sang puteri, Gorr (Christian Bale) berubah dari umat yang taat menjadi "The God Butcher". Bersenjatakan Necrosword, ia membantai satu demi satu dewa, yang hidup mewah di tengah penderitaan para penyembahnya. 

Keputusan bagus. Sebagai karakter, Gorr terlalu penting untuk dijadikan musuh komedik (di materi adaptasinya, ia berperan membuat Thor kehilangan kelayakan mengangkat Mjolnir, meski secara tak langsung). Terlebih, Bale menghantarkan performa mencengkeram, yang melahirkan villain MCU paling menyeramkan sejauh ini. 

Elemen dramatik berikutnya berasal dari Jane Foster (Natalie Portman), yang memperoleh kekuatan Thor melalui Mjolnir. Jane mengidap kanker stadium empat, dan kekuatan itu memberinya kesehatan, walau untuk sementara. Tatkala Gorr mengalihkan target ke New Asgard, Jane, bersama Valkyrie (Tessa Thompson) dan Korg (Taika Waititi), membantu Thor guna menghentikan aksi sang penjagal dewa. 

Cerita Gorr dan Jane sama-sama memberi modal memadai bagi Love and Thunder mengolah dinamika emosi. Sayang, eksekusinya kurang mulus. Mudah bersimpati pada Gorr. Para dewa memang arogan, pula nihil kasih sayang. Titik di mana Thor dan kawan-kawan mengunjungi Omnipotent City, menemui para dewa (dengan segala desain aneh yang memperkuat estetika filmnya) yang dipimpin Zeus (Russell Crowe), menegaskan itu. 

Alhasil muncul pertanyaan, "Kenapa para dewa pantas diselamatkan?". Naskahnya luput menjabarkan itu. Jangankan mengeksplorasi ambiguitas tindakan Gorr, naskahnya bahkan terlampau tipis untuk sekadar berkata, "Tapi Thor berbeda, sehingga kita harus mendukungnya". Andai Thor adalah jagoan baru yang belum dicintai orang-orang, mungkin penonton akan memilih berdiri di samping si antagonis. 

Presentasi hubungan Thor-Jane juga mengalami naik turun. Montage berisi flashback berhiaskan lagu Our Last Summer-nya ABBA menghadirkan nuansa manis nan menyentuh ala komedi romantis kelas satu, yang jarang kita temui dalam judul MCU. Tapi selepas itu, tipisnya naskah kembali tak memberi ruang romansa mereka berkembang. Padahal perihal "do your thing with your loved one" berpotensi menambah rasa ketika Thor dan Jane berduet di medan pertempuran. 

Di ranah penyutradaraan pun Waititi belum punya sensitivitas mencukupi dalam mengolah momen dramatik, yang daripada mengikat, justru mempengaruhi pacing. Ada kalanya Love and Thunder tampil bertenaga, ada kalanya terasa draggy terutama saat menampilkan drama, ada kalanya ia terburu-buru. Poin terakhir tampak betul di transisi menuju third act. 

Bukannya Waititi harus kembali pada keliaran totalnya. Sebab sekali lagi, mengingat kondisi Gorr dan Jane, elemen dramanya memang diperlukan. Pun demi perkembangan karirnya, terutama di skena arus utama, sedikit pendewasaan (baca: kapasitas menangani drama) jelas diperlukan. Dia hanya perlu menjadi rockstar yang menemukan keseimbangan.

Bukan tugas gampang, tapi setidaknya "cuma" itu PR sang sutradara. Karena soal menggarap hiburan, baik lewat aksi maupun komedi, Waititi masih sekuat biasanya. Humornya tetap kreatif, dengan salah satu highlight terletak pada running gag tentang "cinta segi empat" antara Thor-Stormbreaker dan Jane-Mjolnir. 

Di departemen akting, Bale memang figur terbaik, tapi trio Hemsworth-Portman-Thompson juga memikat. Hemsworth tetap piawai bersenang-senang di depan kamera; Portman meyakinkan sebagai jagoan baru yang walau kadang canggung karena masih hijau, terbukti sanggup menandingi ketangguhan Thor; sedangkan Thompson ibarat magnet pencuri atensi, pandai memainkan seksualitas karakternya secara kasual (gesturnya di hadapan dayang-dayang Zeus adalah wujud representasi LGBT yang mesti ditiru produk Hollywood lain). 

Terdapat satu poin menarik di aksinya. Setiap Jane melempar Mjolnir, palu itu terpecah jadi serpihan-serpihan kecil. Kerusakan kala hancur di tangan Hela tidak benar-benar pulih, tapi jiwanya kokoh, seolah memberikan kekuatan lebih. Sentuhan menarik dan (somehow) agak puitis, sebab kondisi Jane pun serupa. Bukti bahwa biarpun belum semulus harapan, usaha Thor: Love and Thunder mengambil jalan tengah antara komedik dan dramatik tidak sepenuhnya gagal. Ditambah pilihan konklusi serta dua credits scene miliknya, franchise ini berjalan ke arah yang tepat dengan posibilitas tanpa batas.  

FORD V FERRARI (2019)

Pernah menggarap western (3:10 to Yuma) dan film superhero bergaya western (Logan), wajar saat Ford v Ferrari garapan sutradara James Mangold memancarkan nuansa serupa. Mengedepankan dua protagonis dengan cowboy attitude (bahkan salah satunya mengenakan topi koboi), ini bak kisah koboi yang lebih modern, di mana alih-alih seekor kuda, mobil balap Ford GT40 jadi tunggangannya.

Ketika Henry Ford II (Tracy Letts) kebakaran jenggot akibat penjualan mobilnya menurun, Wakil Presiden Ford, Lee Iacocca (Jon Bernthal), mengusulkan pada sang CEO agar perusahaan mereka mengikuti jejak Ferrari berlomba di ajang “24 Hours of Le Mans”. Menurut Iacocca, keberhasilan pabrikan mobil milik Enzo Ferrari (Remo Girone) itu menyabet gelar juara secara beruntun membuatnya tampak superior hingga digandrungi publik.

Awalnya Ford berniat membeli Ferrari yang nyaris bangkrut, namun di “tikungan akhir”, Fiat menyalip mereka. Tersinggung oleh penolakan serta hinaan Enzo, Henry mengubah rencana. Ditunjuklah Carroll Shelby (Matt Damon) guna membuatkan Ford sebuah mobil balap yang lebih cepat dari Ferrari. Shelby, yang pernah menjuarai Le Mans 1959 sebelum pensiun akibat gangguan jantung, turut mengajak rekannya, Ken Miles (Christian Bale), pembalap bertalenta luar biasa yang kerap dicap buruk akibat perangai urakannya.

Shelby boleh membuka cerita, dan Matt Damon sendiri tampil solid tanpa perlu terkesan “showy” layaknya setir yang mengontrol laju filmnya, tapi mesin penggerak Ford v Ferrari adalah Miles. Di hadapan banyak orang, gestur, ekspresi, sampai cara bicara Bale menggambarkan betul bagaimana Miles memposisikan dirinya di atas lawan bicara. Apalagi kala mesti beradu melawan Leo Beebe (Josh Lucas), salah satu eksekutif Ford yang akan membuat penonton ingin melayangkan bogem mentah ke arah senyum kesombongan pihak korporat yang senantiasa ia pasang di wajahnya.

Sebaliknya, di ruang intim, baik di tengah kesendirian, di balik kemudi mobil, maupun di samping keluarganya, Miles adalah manusia biasa, yang berperasaan dan kerap menunjukkan kerapuhan. Dinamika keluarga Miles justru merupakan roh filmnya. Caitriona Balfe memerankan Mollie, istri Miles yang suportif namun tak pasif, dan berani bersuara kala sang suami melakukan kesalahan. Sedangkan Noah Jupe adalah Peter, putera Miles yang amat mengagumi sang ayah.

Naskah buatan kakak beradik Jez Butterworth dan John-Henry Butterworth (Edge of Tomorrow, Get on Up) bersama Jason Keller (Mirror Mirror, Escape Plan) paham betul bahwa drama olahraga terbaik selalu soal sisi personal pelakunya. Alhasil, momen emosional Ford v Ferrari selalu soal keluarga Miles. Ketika mobil Miles meledak di sesi latihan, kita diajak merasakan teror mencekam seorang anak yang menyaksikan ayahnya mendekati maut. Pun bukan diskusi teknis yang dipakai untuk menjabarkan luar biasa panjang, lama, nan menantangnya “24 Hours of Le Mans”, melainkan obrolan hati ke hati Miles dan Peter.

Di lintasan balap, giliran James Mangold unjuk gigi. Semua balapan digarap maksimal, tidak ada yang sekadar numpang lewat. Dari perlombaan Daytona sampai Le Mans punya ketegangan sekaligus euforia masing-masing. Dibantu sinematografer langganannya, Phedon Papamichael, ditambah penyuntingan cekatan, Mangold membangun intensitas melalui penempatan kamera yang mencakup seluruh sisi. Kita tahu kondisi di dalam mobil termasuk ekspresi Miles, sudut-sudut lintasan, pula bagaimana mobil melaju di sana. Selaku latar, musik gubahan Marco Beltrami (The Hurt Locker, A Quiet Place) memadukan beragam bentuk, dari sentuhan jazz (Ferrari Factory, Photos to Fiat) hingga rock pemacu adrenalin (Le Mans 66, Willow Sprints).

Seru, menegangkan, dan emosional, Ford v Ferrari bukan tentang kedigdayaan dua pabrikan mobil tersebut. Bahkan hingga akhir, filmnya tetap konsisten melontarkan kritik terhadap pihak korporat yang melakukan segala cara demi keuntungan sendiri. Sekali lagi, drama olahraga terbaik selalu bicara seputar sisi personal pelakunya, dan Ford v Ferrari berhasil melakukan itu, menyoroti perjuangan dua koboi lintasan balap, menjadikannya salah satu yang terbaik dalam beberapa waktu terakhir.

THE NEW WORLD (2005)

Bagi Terrence Malick, The New World adalah filmnya yang keempat sepanjang 32 tahun karirnya sebagai sutradara saat itu. Malick memang tidak hanya dikenal sebagai sutradara yang gemar menghabiskan banyak waktu di ruang editing (konon film yang dibuatnya bisa sampai mengalami perubahan plot pada sesi editing) tapi juga sebagai sutradara yang hanya menghasilkan sedikit film dalam rentang waktu karirnya yang lama tersebut. Saya sendiri sebelum ini baru sekali menyaksikan film Terrence Malick yakni The Tree of Life yang langsung saya nobatkan sebagai film terbaik di tahun 2011. Dalam The New World yang dibintangi oleh Colin Farrell, Christian Bale, Christopher Plummer serta Q'orianka Kilcher, Malick mengangkat kisah tentang penemuan Jamestown oleh para pelaut Inggris. Jika anda kurang familiar dengan kisah itu, maka anda pasti akan familiar dengan kisah Pocahontas. Ya, ini adalah kisah Pocahontas seorang puteri kepala suku Powhatan yang mungkin lebih dikenal lewat versi Disney yang penuh dengan nuansa magis dan ajaib tersebut. Tapi tentu saja dalam versi Malick tidak ada hewan bicarra ataupun sebuah pohon suci yang juga bisa bicara pada Pocahontas. Ini adalah kisah asmara yang terjadi antara Pocahontas dan Kapten John Smith disaat pihak suku Powhatan dan pelaut Inggris tengah tejebak dalam konflik.

Pada tahun 1607 awak kapal Inggris termasuk John Smith (Colin Farrell) tiba di Jamestown, Virginia dalam sebuah ekspedisi untuk mencari koloni baru bagi kerajaan Inggris. Disanalah mereka bertemu dengan suku Powhatan yang merupakan penduduk asli setempat. Awalnya tidak ada masalah diantara kedua belah pihak, sampai suatu hari saat tengah menyusuri hutan John Smith tertangkap oleh suku tersebut dan hendak dieksekusi mati. Beruntung ada Pocahontas (Q'orianka Kilcher) yang menolong John Smith dari hukuman mati. John Smith kemudian malah hidup membaur dengan suku Powhatan dan diperlakukan layaknya keluarga. Dari situlah benih cinta antara John Smith dan Pocahontas mulai bersemi. Namun tentu saja cinta ini terlarang karena Pocahontas tidak boleh mencintai pria lain yang bukan berasal dari sukunya. Bahkan tanpa pengetahuan sang ayah, Pocahontas membantu para awak kapal Inggris yang tengah kelaparan di musim dingin. Sampai akhirnya sang ayah/kepala suku mengetahui perbuatan Pocahontas dan menyadari bahwa para awak tersebut tidak punya niat untuk pergi dan memang berniat terus menetap disana. Akhirnya terjadilah pertempuran tragis antara kedua belah pihak, dimana John Smith serta Pocahontas berusaha sekuat tenaga tetap mempertahankan cinta terlarang mereka.


Film ini dirilis dalam tiga versi. Yang pertama adalah versi yang ditayangkan secara terbatas pada tahun 2005 untuk memenuhi persyaratan bersaing di ajang Oscar dengan durasi 150 menit. Versi kedua adalah yang ditayangkan secara luas pada awal 2006 dengan durasi lebih pendek, yakni 135 menit. Sedangkan yang ketiga sekaligus yang saya tonton adalah extended version yang dirilis dalam bentuk DVD pada 2008 dengan durasi mencapai 172 menit. Tapi ini bukan hanya sebuah film biasa dengan durasi mendekati 3 jam, ini adalah film Terrence Malick dengan durasi mendekati 3 jam. Tentu saja seperti yang ia pertunjukkan dalam The Tree of Life, The New World masih dirangkum dengan gaya yang kurang lebih sama, hanya saja lebih realis tanpa ada adegan penuh metafora layaknya momen penciptaan alam semesta yang luar biasa itu. The New World memang bukannya tanpa dialog, tapi begitu minim dialog yang muncul dalam interaksi antar karakternya, melainkan lebih banyak menggunakan voice over dengan baris kalimat yang begitu puitis dan bersayap, hanya saja maknanya termasuk gampang dicerna hingga mudah memahaminya. 
Tentu saja karya seorang Terrence Malick selalu punya deretan gambar-gambar indah yang membuat ceritanya seolah ber-setting di dunia lain ataupun alam mimpi yang penuh dengan mimpi indah. Sosok sinematografer Emmanuel Lubezki memang sesuai dengan visi seorang Terrence Malick yang hobi menangkap gambar indah sebanyak mungkin sebelum nantinya akan dia edit sepuasnya di ruang editing. Dalam The New World hal apapun bisa terlihat begitu indah, mulai dari rerumputan, langit, sungai, bahkan sebuah peperangan tragis pun bisa disajikan dengan cantik disini. Saya juga begitu suka bagaimana kamera menangkap sosok Pocahontas yang tengah berlarian dan menari-nari dengan indahnya. Q'orianka Kilcher mungkin bukan seorang gadis yang berparas cantik bagi saya, tapi bagaimana sosoknya sebagai Pocahontas ditangkap di layar menjadi seperti tidak hanya wanita tapi bahkan makhluk paling cantik yang ada. Dengan begitu kita bisa merasakan bagaimana rasa cinta dan kekaguman mendalam yang dirasakan oleh John Smith terhadap Pocahontas. Sebuah sinematografi indah yang pada akhirnya mendapat nominasi Oscar namun (sangat disayangkan) kalah oleh Memoirs of Geisha.

The New World bukan hanya menghadirkan sebuah kecantikan tanpa arti, karena keindahan visualnya justru turut berperan besar dalam membangun suasana yang dibangun oleh ceritanya. Pada dasarnya film ini memang tentang sebuah dunia baru, namun dunia baru tersebut dapat mempunyai berbagai macam makna yang semuanya saling berkaitan dan turut terbantu oleh keindahan visualnya. Awak kapal Inggris yang tiba di Virginia memang menemukan sebuah dunia baru yang belum pernah mereka jamah. Sebuah dunia yang semuanya diisi oleh alam dan orang-orangnya hidup bersandingan dengan alam tanpa campur tangan hal selain itu selayaknya manusia modern. John Smith turut menemukan dunia baru yang ia rasakan seperti mimpi saat harus hidup bersama dengan suku Powhatan. Ini adalah sebuah kisah persinggungan manusia modern dengan mother nature yang sebenarnya begitu dekat namun terasa asing bagi mereka. Sedangkan bagi Pocahontas yang selama ini asing terhadap orang selain sukunya, pertemuan dengan awak kapal Inggris jelas membuatnya serasa hidup di dunia yang baru, apalagi setelah John Smith masuk dalam kehidupannya, Pocahontas benar-benar hidup dalam dunia yang terasa sama sekali baru. Dia merasakan cinta, konflik batin yang tidak pernah ia alami sebelumnya, bahkan akhirnya ia benar-benar hidup di dunia baru saat dibawa pindah ke Inggris.

Saya nyaris menobatkan The New World sebagai film yang sempurna dalam dua jam pertamanya, disaat gambar indah secara bergantian saling mengisi dengan plot yang mengalir lambat namun tidak pernah terasa membosankan ataupun lama. Alurnya benar-benar mengalir dengan begitu sempurna dan penuh keindahan. Sampai akhirnya paruh akhir yang sedikit mengubah rasa dan fokus filmnya muncul. Momen saat Pocahontas tinggal bersama orang-orang Inggris dan pada akhirnya bertemu dengan John Rolfe (Christian Bale) menjadi terasa kurang menarik lagi. Saat saya sudah tenggelam dalam kisah antara Pocahontas dan John Smith dengan sosok Pocahontas yang begitu indah sebagai puteri suku Powhatan, kisah antara Pocahontas dan John Rolfe yang menampilkan sosok sang puteri mulai menjadi sosok manusia modern seperi layaknya orang Inggris lain menjadi kurang menarik dan kehilangan sedikit keindahannya. Untungnya film ini kembali menemukan sentuhannya di saat mencapai konklusi. Bagian akhirnya terasa begitu indah dan menyentuh saat akhirnya Pocahontas kembali menemukan dunia baru dan akhirnya menemukan sekaligus bersatu dengan sang mother nature. Secara keseluruhan The New World nyaris sempurna dengan segala keindahan dan sisi puitisnya yang bagaikan mengarungi alam mimpi yang diisi oleh kisah cinta dan pencarian akan sebuah dunia baru.