Tampilkan postingan dengan label Taika Waititi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Taika Waititi. Tampilkan semua postingan

REVIEW - LIGHTYEAR

Menjadi box office-flop terbesar Pixar (mempertimbangkan pandemi yang mereda, perilisan teatrikal, bujet 200 juta, dan merk dagang Toy Story), ulasan yang cenderung mixed, kontroversi terkait elemen LGBT yang berujung pembatalan rilis di belasan negara termasuk Indonesia. Tapi apakah Lightyear memang bencana besar ditilik dari segi kualitas? 

Babak pertamanya jauh dari kesan tersebut. Buzz Lightyear (Chris Evans) dan sahabatnya, Alisha Hawthorne (Uzo Aduba), tergabung di kesatuan space ranger yang mengawal penjelajahan luar angkasa, untuk mencari planet layak huni. Tibalah mereka di T'Kani Prime, yang kemudian dianggap berbahaya akibat banyaknya makhluk buas. Tapi sebuah kecelakaan akibat kesalahan perhitungan Buzz membuat pesawat gagal lepas landas sekaligus merusak sumber bahan bakar, sehingga memaksa semua orang menetap sementara waktu di sana, sembari mencari cara melanjutkan perjalanan.

Kegagalan Buzz membawa dampak mengejutkan. Bukan cuma karena ia merupakan space ranger tangguh penuh percaya diri, pula bagaimana Angus MacLane selaku sutradara, membangun sense of dread kuat dari kegagalan itu (fade to black, musik mencekam). 

Setahun berselang, bahan bakar baru telah siap dicoba, dan first act-nya makin menarik, saat uji terbang Buzz membawanya mengalami time dilation. Walau cuma berada di luar angkasa selama beberapa menit, Buzz mendapati sudah empat tahun berlalu di T'Kani Prime. Tapi Buzz enggan menyerah, terus melakukan uji terbang hingga 62 tahun berlalu. Efek time dilation membuat petualangan Buzz tak terbatas tatanan waktu, sehingga kalimat ikonik "To infinity and beyond" pun jadi kenyataan. 

Selain status sebagai "film yang ditonton Andy", elemen science fiction dalam efek time dilation, serta eksplorasi luar angkasa bak Star Trek, merupakan ide segar yang dibawa naskah buatan MacLane dan Jason Headley, agar Lightyear tampil beda dibanding installment utama di seri Toy Story. Ditambah montage menyentuh berupa penggambaran berlalunya waktu, juga keberhasilan Evans menghidupkan Buzz tanpa harus meniru suara Tim Allen, kekecewaan atas film ini terasa berlebihan. Sampai babak keduanya datang.

Babak kedua membawa kisahnya melompat lagi, kali ini sejauh 22 tahun, di mana T'Kani Prime sedang menghadapi invasi pasukan robot di bawah pimpinan Zurg (James Brolin). Sudah pasti Buzz enggan tinggal diam dan merencanakan perlawanan dibantu Sox (Peter Sohn), robot kucing pemberian Alisha; Izzy (Keke Palmer), cucu Alisha yang bukan seorang space ranger tangguh seperti sang nenek; Mo (Taika Waititi) yang naif dan kikuk; serta Darby (Dale Soules) si wanita tua perakit bom. 

Banyak keluhan berasal dari betapa ringannya cerita Lightyear, yang setelah melewati tetek bengek perjalanan waktunya, memang mengikuti pola petualangan luar angkasa sederana. Tapi bagi saya, anggapan bahwa produk Pixar wajib menghadirkan banjir air mata sekaligus dilengkapi alur "berat", sejatinya kurang tepat. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, ketika animasi Pixar dan Walt Disney mulai "disamarkan". Pixar berubah lebih ringan bukanlah kesalahan atau degradasi kualitas. Menjadi demikian kala kesolidan bercerita ikut lenyap, sebagaimana dialami Lightyear. 

Ceritanya berpusat pada proses belajar para karakter. Buzz belajar memercayai orang lain, lalu bersedia bekerja sama dengan mengurangi ego. Sedangkan jajaran karakter pendukung coba memperbaiki diri dengan memahami kelebihan yang mereka miliki. Misalnya Izzy. Biarpun cucu space ranger legendaris, ia mengidap fobia luar angkasa, yang dirasa menyeramkan karena terdiri atas kekosongan tanpa batas. Nantinya, Izzy belajar mengubah sudut pandang, sebab kekosongan tadi sama artinya dengan ketiadaan rintangan. 

Tentu sebelum memperoleh "pencerahan", semua karakter mesti bergulat dengan kesalahan bahkan kegagalan. Fase tersebut wajib ada, namun naskah Lightyear terlalu bergantung pada kecerobohan mereka untuk menggulirkan cerita. Sekali, dua kali, masih wajar. Lain soal jika mayoritas konflik dipicu blunder bodoh karakternya. Pertama, itu menandakan naskahnya minim kreativitas. Seolah daya cipta para penulis telah habis dipakai kala memikirkan konsep time dilation

Kedua, rentetan kebodohan itu menyulitkan timbulnya simpati kepada karakternya (Not Sox. Sox is funny and likeable). Pengarahan MacLane berhasil membangun klimaks uplifting sekaligus intens, di mana semua karakter akhirnya mampu bekerja sama. Tapi pasca barisan kebodohan tadi, satu peristiwa itu saja masih kurang untuk meyakinkan bahwa proses belajar karakternya telah tuntas. Walau momennya dieksekusi dengan baik, tidak dengan perjalanan menuju ke sana.

(SPOILER ALERT) Contoh lain kelemahan naskahnya terletak pada cara menangani twist soal identitas Zurg. Bagaimana Buzz, yang amat memedulikan Alisha, pula melihat langsung kebahagiaan sang sahabat bersama keluarganya, terpikir untuk menghapus semua itu dari eksistensi memang patut dipertanyakan (sekali lagi bentuk ketidakmampuan naskah mempresentasikan proses secara mumpuni), namun penerapan unsur fiksi ilmiahnya lebih mengganggu. MacLane dan Headley luput menjelaskan bagaimana time dilation berujung terciptanya peristiwa alternatif (yang mana dua fenomena berbeda). (SPOILER ENDS)

Sebagai hiburan, Lightyear punya ide-ide spektakel memadai khas blockbuster mahal, yang didukung kemampuan MacLane mengarahkan aksi solid, juga animasi realistis. Sekali lagi, tidak masalah bila "hanya" itu tujuan film ini. Lightyear mengecewakan bukan karena tak bercerita dengan gaya khas Pixar. Lightyear mengecewakan karena tak bercerita dengan baik. Itu saja.  

(Disney+ Hotstar)

REVIEW - THOR: LOVE AND THUNDER

Alasan Thor: Ragnarok (2017) sukses adalah langkah ekstrim Taika Waititi membawa kisah si Dewa Petir ke ranah komedi, tanpa memusingkan bobot emosi. Dia bak rockstar yang bertingkah semau sendiri, mendobrak segala norma. Thor: Love and Thunder masih sarat komedi, menyenangkan, pun Waititi masih seorang rockstar. Bedanya, kali ini ia rockstar yang telah bertengger di puncak kemapanan, mencoba pendekatan sesuai aturan. 

Jangan salah, Love and Thunder tetap kekonyolan yang aneh, bahkan bagi standar MCU. Di sinilah musik hard rock Guns N' Roses melebur dengan nomor new-age macam Only Time milik Enya. Jika Steve Rogers pamer bisep, maka machismo Thor (Chris Hemsworth) ditunjukkan lewat kemampuan split. Semua adalah produk keisengan Waititi yang takkan bisa ditiru sineas MCU lain. 

Tapi kali ini naskah hasil tulisan Waititi dan Jennifer Kaytin Robinson menyuntikkan beberapa keseriusan, yang sejatinya memang diperlukan. Salah satunya karena latar belakang tragis antagonisnya. Didorong duka atas kematian sang puteri, Gorr (Christian Bale) berubah dari umat yang taat menjadi "The God Butcher". Bersenjatakan Necrosword, ia membantai satu demi satu dewa, yang hidup mewah di tengah penderitaan para penyembahnya. 

Keputusan bagus. Sebagai karakter, Gorr terlalu penting untuk dijadikan musuh komedik (di materi adaptasinya, ia berperan membuat Thor kehilangan kelayakan mengangkat Mjolnir, meski secara tak langsung). Terlebih, Bale menghantarkan performa mencengkeram, yang melahirkan villain MCU paling menyeramkan sejauh ini. 

Elemen dramatik berikutnya berasal dari Jane Foster (Natalie Portman), yang memperoleh kekuatan Thor melalui Mjolnir. Jane mengidap kanker stadium empat, dan kekuatan itu memberinya kesehatan, walau untuk sementara. Tatkala Gorr mengalihkan target ke New Asgard, Jane, bersama Valkyrie (Tessa Thompson) dan Korg (Taika Waititi), membantu Thor guna menghentikan aksi sang penjagal dewa. 

Cerita Gorr dan Jane sama-sama memberi modal memadai bagi Love and Thunder mengolah dinamika emosi. Sayang, eksekusinya kurang mulus. Mudah bersimpati pada Gorr. Para dewa memang arogan, pula nihil kasih sayang. Titik di mana Thor dan kawan-kawan mengunjungi Omnipotent City, menemui para dewa (dengan segala desain aneh yang memperkuat estetika filmnya) yang dipimpin Zeus (Russell Crowe), menegaskan itu. 

Alhasil muncul pertanyaan, "Kenapa para dewa pantas diselamatkan?". Naskahnya luput menjabarkan itu. Jangankan mengeksplorasi ambiguitas tindakan Gorr, naskahnya bahkan terlampau tipis untuk sekadar berkata, "Tapi Thor berbeda, sehingga kita harus mendukungnya". Andai Thor adalah jagoan baru yang belum dicintai orang-orang, mungkin penonton akan memilih berdiri di samping si antagonis. 

Presentasi hubungan Thor-Jane juga mengalami naik turun. Montage berisi flashback berhiaskan lagu Our Last Summer-nya ABBA menghadirkan nuansa manis nan menyentuh ala komedi romantis kelas satu, yang jarang kita temui dalam judul MCU. Tapi selepas itu, tipisnya naskah kembali tak memberi ruang romansa mereka berkembang. Padahal perihal "do your thing with your loved one" berpotensi menambah rasa ketika Thor dan Jane berduet di medan pertempuran. 

Di ranah penyutradaraan pun Waititi belum punya sensitivitas mencukupi dalam mengolah momen dramatik, yang daripada mengikat, justru mempengaruhi pacing. Ada kalanya Love and Thunder tampil bertenaga, ada kalanya terasa draggy terutama saat menampilkan drama, ada kalanya ia terburu-buru. Poin terakhir tampak betul di transisi menuju third act. 

Bukannya Waititi harus kembali pada keliaran totalnya. Sebab sekali lagi, mengingat kondisi Gorr dan Jane, elemen dramanya memang diperlukan. Pun demi perkembangan karirnya, terutama di skena arus utama, sedikit pendewasaan (baca: kapasitas menangani drama) jelas diperlukan. Dia hanya perlu menjadi rockstar yang menemukan keseimbangan.

Bukan tugas gampang, tapi setidaknya "cuma" itu PR sang sutradara. Karena soal menggarap hiburan, baik lewat aksi maupun komedi, Waititi masih sekuat biasanya. Humornya tetap kreatif, dengan salah satu highlight terletak pada running gag tentang "cinta segi empat" antara Thor-Stormbreaker dan Jane-Mjolnir. 

Di departemen akting, Bale memang figur terbaik, tapi trio Hemsworth-Portman-Thompson juga memikat. Hemsworth tetap piawai bersenang-senang di depan kamera; Portman meyakinkan sebagai jagoan baru yang walau kadang canggung karena masih hijau, terbukti sanggup menandingi ketangguhan Thor; sedangkan Thompson ibarat magnet pencuri atensi, pandai memainkan seksualitas karakternya secara kasual (gesturnya di hadapan dayang-dayang Zeus adalah wujud representasi LGBT yang mesti ditiru produk Hollywood lain). 

Terdapat satu poin menarik di aksinya. Setiap Jane melempar Mjolnir, palu itu terpecah jadi serpihan-serpihan kecil. Kerusakan kala hancur di tangan Hela tidak benar-benar pulih, tapi jiwanya kokoh, seolah memberikan kekuatan lebih. Sentuhan menarik dan (somehow) agak puitis, sebab kondisi Jane pun serupa. Bukti bahwa biarpun belum semulus harapan, usaha Thor: Love and Thunder mengambil jalan tengah antara komedik dan dramatik tidak sepenuhnya gagal. Ditambah pilihan konklusi serta dua credits scene miliknya, franchise ini berjalan ke arah yang tepat dengan posibilitas tanpa batas.  

REVIEW - FREE GUY

Berlatarkan dunia gim video, Free Guy bisa saja cuma berakhir sebagai parade easter eggs atau ajang berjualan IP. Tapi rupanya karya terbaru Shawn Levy (Night at the Museum, Real Steel, Date Night) ini justru jadi film paling menyenangkan, paling kreatif, juga paling menyentuh tahun ini. Di balik pernak-pernik permainannya, ada kisah sarat makna. Kisah tentang kemerdekaan individu. Tentang rasa cinta, baik kepada orang lain maupun diri sendiri.

Guy (Ryan Reynolds) adalah pegawai bank dengan rutinitas monoton, di kota bernama Free City,. Selalu memakai kemeja berwarna biru yang sama, membeli kopi yang sama, mengucapkan kalimat yang sama (Don't have a good day. Have a great day!). Bukan repetisi biasa, sebab ada keanehan. Seluruh warga Free City termasuk Guy, tidak terganggu oleh kekacauan yang tiap hari pecah. Baku tembak, ledakan, pertempuran, dan lain-lain, seolah pemandangan yang lumrah. Bahkan, walau dalam sehari bank tempat Guy bekerja bisa dirampok berkali-kali, ia dan Buddy (Lil Rel Howery), sahabatnya yang mengisi pos sekuriti, bersikap santai. 

Anomali itu terjadi karena Free City adalah kota dalam gim video berjudul Free City, yang diproduksi perusahaan milik Antwan (Taika Waititi). Guy dan warga lain merupakan NPC (Non-Player Character), sehingga tidak punya free will. Mereka hidup sesuai peran serta pola masing-masing. Hingga akhirnya Guy jatuh hati pada Molotovgirl, karakter milik Millie (Jodie Comer). Millie sendiri bermain Free City guna mencari source code buatannya dan Keys (Joe Keery), yang dicuri Antwan. 

Guy tidak seketika menyadari identitasnya, namun melalui arahan Millie, ia pelan-pelan belajar "naik kelas, mulai terlibat aktif dalam gim, alih-alih berdiam diri layaknya NPC biasa. Fase ini digunakan oleh naskah garapan Matt Lieberman (The Addams Family, Scoob!) dan Zak Penn (turut serta menulis Ready Player One yang mengusung konsep setipe), guna merealisasikan impian banyak gamers, yakni hidup dalam gim (terutama Grand Theft Auto). Bebas berbuat sesuka hati, tidak bisa mati, punya segudang item, pun bila butuh uang, kita tinggal menjalankan misi atau memukuli pejalan kaki. 

Gagasan di atas melahirkan aksi-aksi kreatif nan menggelitik. Beberapa humor meta diselipkan, termasuk sebuah ide brilian di klimaks (you'll know when you see it). Pengarahan Levy makin mematangkan konsepnya, karena ia paham betul apa daya tarik utama premisnya: aksi energetik sarat visual variatif kaya warna. 

Free Guy sangat menghibur, tetapi kekuatan utamanya terletak pada hati. Di samping elemen fantastisnya, kisah film ini amat membumi. Banyak dari kita pernah merasa hampa, kala menyadari dunia tidak cuma berputar mengitari kita. Jangankan karakter utama, pendukung pun bukan. Sebatas figuran dalam semesta luas yang eksistensinya tidak signifikan. 

Karena itu, mudah mendukung Guy. Free Guy menggugah emosi melalui proses sang protagonis mengatasi krisis eksistensi, selepas menyadari kalau dia berhak menentukan langkahnya sendiri. Pun tidak banyak bintang Hollywood kelas A seperti Reynolds, yang berkarisma, tapi juga memancarkan aura "pria sehari-hari". 

Pada era dominasi pahlawan super seperti sekarang, Guy si pria biasa berpakaian biru malah jadi jagoan favorit saya. Selain penokohan serta akting yang membuatnya relatable, motivasi perjuangannya juga murni. Apalagi kalau bukan cinta. Tapi bukan cinta yang membutakan, melainkan cinta yang membuka mata, menyadarkan soal berharganya diri kita. Sebuah cinta yang ketimbang mengekang, justru membebaskan. 

Klimaksnya jadi luar biasa menyentuh, meski penggambaran seluruh umat manusia di dunia menonton pertarungan Guy agak berlebihan (alasan saya mengurungkan niat memberi nilai sempurna). Jika hanya bisa memilih satu dari film-film yang tayang di bioskop minggu ini, pastikan pilihan itu jatuh pada Free Guy. Sudah waktunya kita mengingat lagi cara bersenang-senang, sambil kembali belajar menghargai diri sendiri, pula mencintai. 

THOR: RAGNAROK (2017)

Plot-wise, Thor: Ragnarok punya cerita tipis. Ini bukan intrik politik layaknya The Winter Soldier, bukan drama transformasi karakter serupa Iron Man, bukan pula shakesperian soal perebutan tahta kerajaan macam Thor pertama meski hal itu memegang peranan penting dalam konflik utama. Ragnarok adalah komedi yang bersembunyi di balik spectacle seharga $180 juta. Kelompok oposisi MCU akan senang hati mencaci bersenjatakan pernyataan "tiada kesan mengancam di filmnya". Karena di Ragnarok yang sejatinya mengandung kisah kelam, canda tawa selalu dikedepankan.

Kali ini Thor (Chris Hemsworth) mesti menghentikan Ragnarok, yakni "akhir segalanya", serta menghadapi Hela (Cate Blanchett), Dewi Kematian yang berusaha merebut tahta Asgard. Tentu perjalanan sang Dewa Petir tak mudah. Selain Mjolnir-nya dihancurkan oleh Hela, dia juga terdampar di Planet Sakaar yang dikuasai The Grandmaster (Jeff Goldblum), dan terpaksa mengikuti kontes ala Gladiator melawan Hulk (Mark Ruffalo). Lagi-lagi tipu daya Loki (Tom Hiddleston) pun ikut menghalangi. Di antaranya, sutradara Taika Waititi masih sempat menghadirkan adegan Thor melihat penis Hulk sampai istilah "devil's anus" bagi suatu portal antar dimensi.
Fakta bahwa Thor: Ragnarok setia bercanda walau diisi hancurnya senjata si jagoan, tokoh Dewi Kematian yang melakukan pembantaian, dan kiamat, justru membuatnya spesial. Perlu disadari, dunia tempat kita tinggal sekarang tak lagi asing dengan semua itu, dan Waititi bersama Eric Pearson selaku penulis naskah seolah menyediakan penonton tempat berlindung berupa dunia fantasi di mana sederet masalah tadi bisa diselesaikan, bahkan ditertawakan. Meski sulit disangkal keputusan tersebut melucuti bobot Hela, sebatas menjadikannya villain menghibur berkat pesona Blanchett daripada sosok penebar ancaman dahsyat.

Komedinya memang pantas jadi menu utama. Alasan mengapa alumni sinema independen macam Waititi maupun James Gunn cocok menahkodai film Marvel tak lain kreativitas mereka melontarkan lelucon. Di tangan Waititi, nyaris segala situasi dan karakter punya kebodohan, tak terkecuali wanita setangguh Valkyrie (disokong penampilan gemilang Tessa Thompson) yang kegemaran mabuknya kerap menghasilkan tingkah jenaka. Sisanya adalah gelaran slapstick tepat waktu sampai anomali berupa sifat kekanakan Hulk, atau Korg (diperankan Waititi sendiri) dengan tubuh besar nan kokoh dari batu tetapi baik hati pula bersuara "lembut". Beberapa cameo pun dimanfaatkan sebaik mungkin, mulai Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang ilmu sihirnya merepotkan Thor dan Loki, hingga sosok kejutan pada suatu drama panggung di Asgard.
Chris Hemsworth yang selama ini bagai terkekang, terkubur daya tarik Loki di dua film pertama kini terfasilitasi potensi komikalnya. Hemsworth akhirnya bersinar di filmnya sendiri, menghadirkan Thor yang di satu waktu perkasa menghantam ratusan anak buah Surtur, tapi di kesempatan lain memancing tawa saat memohon-mohon supaya rambutnya tak dipangkas. Hebatnya, Thor tidak berakhir sebagai produsen tawa saja, sebab Ragnarok sukses melakukan hal penting yang gagal dicapai pendahulunya termasuk dua installment Avengers, yaitu mematenkan Thor sebagai "Dewa Petir" alih-alih "Dewa Martil". Sesuai hakikat babak pamungkas sebuah trilogi, Ragnarok menyempurnakan perjalanan protagonisnya.

Terdapat kekhawatiran Ragnarok berusaha terlampau keras meniru Guardians of the Galaxy. Benar warna mencolok tampil dominan namun penggunaannya berbeda. Dibantu sinematografi Javier Aguirresarobe, warna vibrant plus tata artistik out-of-this-world Waititi pakai demi mengolah nuansa fantasi bercampur sci-fi 80-an ala Flash Gordon di mana pemandangan naga terbang di langit jingga (dan ungu) jadi hal biasa. Waititi bersenang-senang menggarap adegan berbalut musik synth catchy garapan Mark Mothersbaugh (sebenarnya bisa lebih ditonjolkan) juga Immigrant Song-nya Led Zeppelin yang tak ubahnya cue bagi aksi keren yang segera menghentak. Alangkah bijaknya, kita selaku penonton turut tenggelam dalam kesenangan serupa tanpa menagih keseriusan maupun kekelaman yang tidak wajib ada.