Tampilkan postingan dengan label Eric Bana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Eric Bana. Tampilkan semua postingan

REVIEW - CHIP 'N DALE: RESCUE RANGERS

Saya terlalu menganggap remeh film ini, sehingga baru menontonnya hampir sebulan pasca perilisan. Mengira hanya bakal jadi satu lagi hibrida live-action/animasi untuk anak (not a bad thing, but also not my cuppa tea), Chip 'n Dale: Rescue Rangers justru sebuah tontonan kreatif yang mengingatkan pada Who Framed Roger Rabbit (1988), baik karena pilihan medium maupun elemen misteri dalam alurnya. 

Puluhan tahun pasca perpecahan yang mengakhiri serial populer mereka, Chip 'n Dale: Rescue Rangers (1989-1990), Chip (John Mulaney) dan Dale (Andy Samberg) bertemu lagi, saat sahabat mereka, Monty (Eric Bana), menghilang. Berdasarkan info dari polisi sekaligus penggemar mereka, Ellie (karakter live action, diperankan KiKi Layne), Monty diculik oleh sosok misterius bernama Sweet Pete.

Jelas ini merupakan reboot bagi serial lawasnya. Tapi mengingat alergi berlebihan generasi sekarang pada reboot (dan remake...dan sekuel, dsb.), naskah buatan Dan Gregor dan Doug Mand secara cerdik menyembunyikan intensi tersebut dengan teknik meta. Sepanjang film, Dale yang masih bermimpi membangkitkan karirnya, mengajak Chip, yang alih profesi sebagai penjual asuransi, untuk me-reboot serial mereka. Mungkin Dale adalah perwujudan Walt Disney, sedangkan Chip mewakili penonton.

Penulisan meta bak tameng yang menangkis kesan "tidak keren", karena ada kesadaran bahwa suatu hal tidak keren. Bukan cuma tentang reboot. Soal karakter animasi yang dituntut bernyanyi rap agar terasa "kekinian", hingga tendensi aransemen ulang lagu klasik yang dibawakan oleh popstar ternama, semua disentil. Akhirnya semua itu tetap dilakukan, namun sentuhan meta menggiring penonton menjauhi pemikiran, "Ah klise!". 

Tidak semua humornya berhasil memancing tawa. Terkait penghantaran humor meta, Shrek dan seri The Lego Movie masih jadi panutan dalam hal kreativitas, sementara Chip 'n Dale: Rescue Rangers masih berada di taraf "memperlihatkan". Biar demikian, melihat cuplikan adegan Batman vs. E.T., juga kemunculan Ugly Sonic (Tim Robinson), tetap menyenangkan.

Salah satu poin paling kreatif milik alurnya adalah modus operandi Sweet Pete, yang menculik para bintang serial kartun masa lalu, kemudian "mengoperasi" fisik mereka agar bisa membuat film bootleg. Bagi yang belum familiar dengan fenomena mockbuster macam ini, bisa mencari judul-judul seperti Chop Kick Panda, Ratatoing, Izzie's Way Home, dan lain-lain. 

Fluiditas bentuk bagi para tokoh animasi adalah gagasan brilian. Dale misalnya, yang menjalani "operasi CGI" untuk merekonstruksi tubuhnya dari animasi 2D tradisional menjadi 3D (seperti nasib banyak karakter animasi lawas yang dimodernisasi di dunua nyata). Hal itu pun membuka kesempatan bagi Akiva Schaffer selaku sutradara, guna menyusun banyak shot animasi unik. Lihat ketika Chip dan Dale mendatangi apartemen Monty atas permintaan polisi. Di satu titik, dalam satu frame, Schaffer menggabungkan karakter 2D, CGI, claymation, dan puppet. 

Selain teknik meta, Chip 'n Dale: Rescue Rangers juga menjustifikasi status reboot-nya melalui narasi mengenai "bintang masa lalu". Hilangnya popularitas terasa menyakitkan bagi Chip dan Dale. Sewaktu identitas Sweet Pete terungkap pun narasi tersebut turut mencuat. Seolah filmnya berkata, "Kami melakukan ini bukan atas nama uang, melainkan demi mereka yang telah terlupakan". Tentu kenyatannya berbeda, tapi artinya film ini tak lalai memberi nyawa dan hati bagi karakternya. 

(Disney+ Hotstar)

KING ARTHUR: LEGEND OF THE SWORD (2017)

King Arthur of Camelot. Demikian figur legendaris Kerajaan Inggris itu jamak disebut. Figur yang bukan saja tak diketahui pasti kapan eksistensinya, pun apakah ia benar-benar nyata atau cerita rakyat belaka. Ambiguitas tersebut dimanfaatkan benar oleh Guy Ritchie bersama Lionel Wigram dan Joby Harold untuk merangkai kisah fantasi berisi penyihir (karakter reguler mitologi Raja Arthur), siluman ular (atau belut?), sampai gajah dan ular raksasa. Bagus tidaknya layak diperdebatkan, tapi satu hal pasti, King Arthur: Legend of the Sword  yang rencananya merupakan film pertama dari enam seri  bukan tipikal suguhan medieval bergaya ortodoks. 

Film dibuka oleh serbuan penyihir bernama Mordred (Rob Knighton) terhadap kastil Camelot yang memberi garansi pengalaman menonton maksimal di layar raksasa (IMAX, Sphere X). Raja Uther Pendragon (Eric Bana) bersenjatakan pedang Excalibur sanggup meruntuhkan pasukan Mordred, meski tanpa diketahui, ancaman sesungguhnya datang dari ambisi kudeta sang adik, Vortigern (Jude Law). Pendragon tewas, Excalibur hilang, dan Vortigern naik tahta. Sampai beberapa tahun kemudian pedang itu muncul lagi bersama kabar keberadaan darah daging Pendragon, Arthur (Charlie Hunnam) yang selama ini hidup sebagai rakyat biasa di suatu rumah bordil. 
Bagaimana Guy Ritchie beserta segala gaya rock and roll-nya bersanding dengan nuansa masa lalu khas medieval? Sekilas kontradiktif, tapi toh Warner Bros. sepertinya memang bertujuan menghasilkan middle ages blockbuster bagi generasi millennial. Basa-basi Shakesperean dibuang jauh bersama penjabaran tumbuh kembang Arthur dari bocah pewaris tahta terbuang jadi pria begajulan jago berkelahi. Ritchie merangkum rentang masa belasan tahun itu ke dalam montage ditemani iringan musik industrial gubahan Daniel Pemberton yang cakap menggabungkan musik folk Britania Raya dann dentuman elektronik, hingga konsisten menghembuskan tenaga bagi tiap adegan. 

Keputusan di atas jelas meniadakan babak penting pengembangan karakter, namun King Arthur: Legend of the Sword memang cuma punya satu tujuan: terlihat asyik. Dan memang benar, film ini gemar mengumbar gaya asyik, bahkan untuk perbincangan sederhana Arthur dengan pasukan kerajaan yang dibungkus lontaran kalimat cepat, perpindahan adegan lincah (kalau bukan ngebut), plus comedic manner, kombinasi yang mengingatkan akan masa keemasan awal karir Ritchie. Jadi jangan harapkan pula ketepatan unsur sejarah, sebab ini adalah film ber-setting sekitar abad keenam atau kelima di mana para tokohnya mengucapkan "fuck" atau "dance floor". 
Kemudian tercipta masalah yang serba salah. Gaya Ritchie efektif hanya di beberapa kemunculan awal, berikutnya berujung repetitif nan melelahkan. Namun tanpanya, film kehilangan daya akibat bergantung pada cerita pun tokoh-tokoh medioker yang mudah terlupakan. Mencapai pertengahan durasi kala konflik mulai memanas, penulisan dialog tajam Ritchie hilang tak berbekas. Karakternya bertingkah terlampau serius, termasuk Arthur yang perlahan kehilangan aura bad boy, padahal Charlie Hunnam terbukti piawai menangani karakterisasi tersebut. Ketika bertarung, tak ada interaksi atau celotehan tokoh di mana mereka sekedar menebas pedang ke sana kemari. Hambar. 

Keengganan mengendurkan urat tatkala konflik tereskalasi memang logis tapi bak mengkhianati tujuan awal filmnya yang tak mempedulikan akal sehat termasuk soal pengembangan karakter atas nama hiburan mengasyikkan. Setidaknya Ritchie masih memiliki visi jelas soal kemasan "seenaknya". Meski akhirnya ditutup oleh klimaks penuh CGI yang secara intensitas pula kreativitas justru paling lemah dibanding gelaran aksi-aksi sebelumnya, King Arthur: Legend of the Sword masih dua jam spectacle sepintas lalu yang layak coba. Bagai mabuk, anda mungkin lupa mayoritas poin di dalamnya begitu usai, namun ingat kalau baru saja menghabiskan waktu yang menyenangkan. Karena kapan lagi kita mendapati pengalaman trippy Raja Arthur berhalusinasi, melihat monster di penjuru hutan?