Tampilkan postingan dengan label Guy Ritchie. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Guy Ritchie. Tampilkan semua postingan

REVIEW - WRATH OF MAN

Wrath of Man takkan meraup keuntungan besar di Box Office, bahkan di era normal sekalipun. Tapi di Indonesia, cukup dengan memasang wajah Jason Statham di poster, rasanya pandemi pun tak kuasa menahan terisinya kursi-kursi bioskop. Penonton kita memang memuja Statham (lebih tepatnya aksi yang menjanjikan baku tembak tanpa henti, sehingga film kelas B milik Bruce Willis dan Nicolas Cage masih sangat menjual). 

Sehingga saat remake film Prancis berjudul Cash Truck (2004) ini membombardir studio dengan desingan peluru pada klimaksnya, harga tiket sudah terbayar lunas. Sebaliknya, sebagian kecil penonton yang datang karena nama Guy Ritchie, mungkin bertanya-tanya, mengapa third act-nya cuma diisi "endless shots of people shooting guns", seolah sang sutradara kehabisan gaya.

Padahal "gaya" merupakan identitas Guy Ritchie, dan baru dua tahun lalu ia kembali ke akar melalui The Gentlemen yang keren itu. Jangan salah, bukan berarti Wrath of Man buruk. Kekhasan Ritchie tetap dapat ditemukan di sana-sini, dan seringkali jadi keunggulan. Tapi sulit menampik kesan, kalau filmnya dibuat oleh "Guy Ritchie yang berusaha keras menjadi Guy Ritchie yang disukai publik". Bisa dilihat dari bagaimana naskah yang ditulisnya bersama Ivan Atkinson dan Marn Davies, menghantarkan "foul-mouthed witty banter" kegemaran Ritchie, yang ingin sekali terdengar unik, menggelitik, dan edgy, namun lupa bahwa agar mendapat dampak tersebut, percakapannya harus menarik diikuti, atau lebih baik lagi, berguna memperkuat penokohan (tentu saya tidak mengharapkan poin kedua datang dari seorang Guy Ritchie).

Selepas sekuen pembuka berupa aksi perampokan berujung maut, kita berkenalan dengan Harry Hill alias H (Jason Statham), karyawan baru perusahaan truk penjual jasa pengantaran uang tunai. Tiap minggu uang yang dibawa berada di kisaran ratusan juta dollar, sehingga mereka pun kerap diincar perampok (termasuk yang kita lihat di awal film). Saat bertugas dengan Bullet (Holt McCallany) dan Boy Sweat (Josh Hartnett), giliran truk H jadi sasaran. Mengejutkan semua pihak, H yang lulus tes dengan nilai mepet, sanggup menghabisi seluruh perampok seorang diri. 

Bisa ditebak bahwa H menyimpan rahasia, dan untuk mengurai kebenaran tentang dirinya, Wrath of Man mengajak kita mengarungi alur non-linier. Sekali lagi, "sangat Guy Ritchie". Alurnya melompat maju tiga bulan, mundur lima bulan, maju tiga minggu, dan seterusnya. Memusingkan bila berusaha mengikuti angka yang muncul di layar, tapi percayalah, itu tidak perlu. Jangka waktu hanya pernak-pernik. Terpenting, kita cukup tahu peristiwa mana yang terjadi lebih dulu, dan itu tidak sulit. 

Harus diakui teknik bercerita itu mampu menjaga daya tarik alur, mengubah kisah klise seputar balas dendam (yang tentu saja tak memiliki bobot emosi signifikan mengingat ini karya Ritchie), menjadi tontonan dinamis berbekal beberapa twist. Tidak ketinggalan, adegan pembukanya dimunculkan berulang kali dalam sudut pandang berbeda-beda. Perspektif yang fokus pada H, berfungsi menjelaskan motivasi sang protagonis sekaligus memberi efek kejut, tetapi penuturan ulang secara detail melalui sudut pandang para perampok termasuk Jan (Scott Eastwood), tidak mempunyai tujuan signifikan, kecuali untuk menambal alur yang amat tipis dan bisa diselesaikan hanya dalam 60 menit. 

Tapi seperti telah disebutkan, meski beberapa kekhasan Ritchie di sini bak upaya mengulangi masa kejayaan yang telah lalu, di saat bersamaan, pendekatan stylish-nya turut jadi nilai lebih. Termasuk judulnya, Wrath of Man memiliki beberapa title card berisi kalimat-kalimat seperti "Scorched Earth" dan "Bad Animals, Bad", yang seluruhnya terdengar bagai versi edgy dari kisah-kisah Shakesperean. Musik gubahan Christopher Benstead yang hampir tidak pernah berhenti sepanjang durasi, memunculkan kesan serupa. Kesan bahwa ini merupakan tragedi, di mana amarah, balas dendam, dan kekerasan, tak ubahnya aksi puitis. 

Karena itu pula, sewaktu akhirnya pembalasan terlaksana, Ritchie mengambil risiko dengan tak mengemasnya di nada tinggi (walau terjadi pasca baku tembak berkepanjangan), melainkan menekankan pada emosi personal (baca: duka dan amarah) karakternya. Serupa sang sutradara, Statham jelas bukan figur yang identik dengan sensitivitas, namun kombinasi keduanya memberi jaminan soal presentasi aksi badass nan bergaya.

THE GENTLEMEN (2019)

Mickey Pearson (Matthew McConaughey) sang Raja ganja di Inggris hendak pensiun dan menjual bisnisnya. Tapi The Gentlemen bukan potret seorang gangster yang tengah mencari kedamaian. Tidak ada kedamaian di sini, tidak ada upaya menggali sisi kemanusiaan dari para kriminal. Bukan pula mengenai benturan kekuasaan antar generasi gangster maupun perenungan tentang kematian yang menggelayuti pelaku dunia hitam, sebab The Gentlemen menandai kembalinya Guy Ritchie ke “akarnya” melalui suguhan komedi/kriminal bergaya yang melambungkan namanya dahulu.

Jika familiar dengan filmografi sang sutradara/penulis naskah, anda tentu tahu bahwa substansi tidak seberapa diperhatikan. Kisahnya dibuka saat Mickey berjalan memasuki bar, meminum bir, melakukan panggilan telepon, lalu seseorang yang wajahnya tak diperlihatkan berdiri di belakangnya, menodongkan senjata, dan layar menampilkan cipratan darah di gelas bir. Apa yang terjadi?

Jawaban atas pertanyaan tersebut takkan didapat secara instan. Tidak sebelum kita menyaksikan peristiwa-peristiwa liar yang diceritakan oleh Fletcher (Hugh Grant), seorang detektif swasta, kepada Raymond (Charlie Hunnam), tangan kanan Mickey. Fletcher disewa oleh Big Dave (Eddie Marsan), editor tabloid Daily Print, yang menyimpan dendam, sehingga ingin menjatuhkan Mickey dengan cara mengungkap rahasianya. Bukannya melaporkan hasil temuan pada Big Dave, Fletecher justru menawarkan itu pada Raymond dengan harga £20 juta.

Fletcher menceritakan seluruh temuannya, dan kita pun dibawa mengikuti perjalanan panjang yang membentang dari paparan masa lalu Mickey, sampai intrik-intrik yang melibatkan para pengincar kekuasaan dunia gelap perdagangan mariyuana. Ada Matthew Berger (Jeremy Strong) si milyuner Amerika Serikat yang berniat membeli semua lahan mariyuana Mickey, Dry Eye (Henry Golding) si anggota gangster Cina yang penuh ambisi, hingga seorang pelatih tinju tanpa nama (Colin Farrell) yang kebetulan terseret akibat ulah murid-muridnya.

Dalam merangkai naskahnya, Ritchie bermain-main menggunakan Fletcher selaku unreliable narrator yang gemar memalsukan cerita hanya karena iseng atau memperseru situasi. Tentu sebenarnya Ritchie yang ingin memperseru situasi. Tapi berkat penokohan Fletcher, mudah bagi kita menerima keliaran narasinya. Mudah menerima kala rasio aspek layar berubah agar tampak bak film zaman dulu atau ketika segelintir humor meta dilontarkan Fletcher. Mudah juga menerima saat beberapa kejadian diralat dan ternyata hanya rekaan yang dia pakai untuk menambah bumbu.

The Gentlemen memang kaya akan bumbu. Bumbu berupa ciri sang sutradara, yang meliputi: gerak lambat, penyuntingan kilat, dan banyak twist yang tak perlu repot-repot kita pikirkan logika serta kepentingannya, karena sekali lagi, hal-hal semacam esensi bukan budaya film-film Guy Ritchie. Budaya film-film Guy Ritchie adalah keseruan sarat machismo keren para gentlemen yang sekilas nampak bermartabat dengan setelan jas necis yang sesungguhnya adalah topeng penutup kebengisan.

Dampaknya, sewaktu adegan aksi (yang secara mengejutkan kuantitasnya tidak seberapa) atau pameran gaya Ritchie tak mengisi layar, dinamika dan daya tarik filmnya turut mengendur. Ritchie bukan seorang pencerita mumpuni, alhasil sewaktu gaya itu dilucuti, pacing-nya melemah, seolah The Gentlemen kehilangan daya. Pertanyaannya, seberapa sering itu terjadi? Untungnya tidak terlalu, mengingat elemen-elemen lain turut mengulurkan bantuan.

Selain barisan musik asyik yang tak pernah absen dari judul-judul Ritchie, performa para pemainnya mengibur lewat keberhasilan menghidupkan image jajaran “penjahat brutal berkelas”. McConaughey, Hunnam, dan Farrell menyimpan hewan buas di balik ketenangan mereka. Hewan buas yang lebih sering dilepaskan dari kandang oleh Golding dalam peran yang berlawanan dengan sosok pria kharismatik baik-baik yang mulai identik dengan dirinya. Begitu pun Grant. Selalu menyenangkan melihat Grant melawan stereotip. Sebaliknya, selalu menyenangkan melihat Ritchie tidak berusaha mengubah image dalam berkarya.

ALADDIN (2019)

Aladdin versi baru ini, meski belum semagis animasi originalnya, sekali lagi membuktikan bahwa reputasi buruk yang didapat suatu film akibat materi promosi tidak selalu mencerminkan kualitas asli produknya. Siapa sangka Guy Ritchie (Snatch, Sherlock Holmes, King Arthur: Legend of the Sword) berhasil menyajikan tontonan hangat seputar memperjuangkan kebebasan sekaligus live action remake terlucu milik Disney.

Cerita soal kebebasan memang sudah menjadi dasar sejak versi animasinya. Kebebasan “tikus jalanan” untuk bermimpi, kebebasan wanita dari kekangan tradisi, kebebasan jin dari keharusan melayani. Tanpa perlu menyaksikan film aslinya, anda tentu bisa menebak jika segala kebebasan tersebut bakal didapat. Dan jika anda ingin tahu nasib Genie (Will Smith) pasca lepas dari lampu ajaib, adegan pembuka film ini menyimpan jawabannya, yang turut berperan menghasilkan dampak emosional di penghujung kisah.

Pertama kali menyaksikan Aladdin (1992), saya sedikit terkejut. Berekspektasi melihat cerita seorang pencuri yang menemukan lampu ajaib tempat tinggal jin sakti pengabul harapan, peristiwa itu justru baru terjadi begitu melewati sepertiga durasi. Seolah khawatir penonton masa kini datang dengan ekspektasi serupa, film ini memutuskan menggulirkan alur secepat mungkin, khususnya pada paruh awal.

Beberapa fase pengembangan dipotong dan/atau dipaksa menyatu satu sama lain sehingga terasa bagaikan rekap. Mendadak kita bertemu Puteri Jasmine (Naomi Scott) yang sedang menyamar guna melihat langsung kehidupan rakyat Agrabah, menyaksikan pertemuannya dengan Aladdin (Mena Massoud), tumbuhnya benih cinta di antara mereka, dan tidak lama berselang, kita tiba di momen saat Aladdin memasuki Cave of Wonders atas suruhan Jafar (Marwan Kenzari).

Guy Ritchie—yang gemar memamerkan gaya—seolah tak tertarik menyentuh babak introduksi, enggan berhenti menginjak pedal gas. Biarpun keputusan itu merusak aliran cerita, minimal Ritchie berhasil menebusnya lewat keberhasilan menerjemahkan gaya parkour khas elemen aksi Aladdin (juga merupakan daya tarik gimnya di PlayStation) ke media live action. Jagoan kita lompat dari tembok ke tembok, atap ke atap, dan memanfaatkan tenda-tenda di pasar layaknya trampolin. Bakal sempurna anda Ritchie tak tergoda mengimplementasikan teknik fast moton nihil substansi di beberapa titik.

Tapi selepas Aladdin bertemu Genie yang menjanjikannya tiga permintaan untuk dikabulkan, film ini mulai menemukan pijakan. Perjalanannya lucu. Sangat lucu. Memang ada batasan-batasan yang menyulitkan live action mencapai level imajinasi setingkat medium animasi khususnya terkait beragam kemampuan ajaib Genie, namun Will Smith selaku sosok yang paling banyak dicemooh sebelum film dirilis, sukses menebar banyak tawa.

Tentu ia tidak seberwarna Robin Williams, tapi siapa yang bisa? Absurditas karakter Genie bisa saja memproduksi situasi cringey, tapi Smith punya cukup talenta guna menyulap absurditas menjadi komedi berkualitas. Smith bahkan memberi kita momen paling menyentuh sepanjang film, dengan memperlihatkan satu kelebihan live action yang sukar ditandingi animasi, yaitu keberadaan bobot dramatik melalui mata aktor.

Sedangkan Mena Massoud, sebagai sosok kedua paling dicemooh setelah Smith, juga merupakan protagonis yang bukan saja ahli menghibur lewat kebolehan memerankan kecanggungan pencuri miskin yang berpura-pura menjadi pangeraan, pula cukup likeable sehingga memudahkan kita mendukung perjuangannya melawan tatapan sebelah mata orang-orang dan merebut hati Jasmine.

Selaku adaptasi, naskah buatan Guy Ritchie bersama John August (Charlie’s Angels, Corpse Bride, Dark Shadows) dan Vanessa Taylor (Divergent, The Shape of Water) tentu melakukan beberapa perubahan, dan perubahan terbaik terletak pada keputusan Aladdin mengangkat tema relevan soal women’s empowerment dalam cerita tentang Jasmine. Sang Puteri tak hanya menolak perjodohan, ia pun ingin menjadi Sultan. Jasmine percaya ia memiliki kapasitas memadahi sebagai pengayom rakyat.

Di satu titik, Jafar menyebut bahwa Jasmine semestinya cukup dipandang dan tak perlu berusaha agar didengar. Pernyataan yang mencerminkan bagaimana banyak masyarakat memandang kelayakan wanita selaku pemimpin. Scott memancarkan cukup gravitas tanpa harus tampil kaku, menghidupkan Jasmine baru yang lebih kokoh, termasuk dalam penampilan emosional yang menyelamatkan nomor musikal Speechless.

Speechless, selaku lagu baru di jajaran soundtrack, adalah nomor medioker dengan lirik terlampau sederhana yang lebih cocok terdengar dari film seperti High School Musical ketimbang dongeng macam Aladdin. Pengadeganannya pun tak kalah medioker akibat kekurangan sentuhan artistik, berbeda dengan adegan musikal lain yang memperoleh keuntungan dari sentuhan bergaya Guy Ritchie, termasuk lantunan ikonik A Whole new World yang tetap mengandung romantisme memadahi supaya penonton mempercayai mekarnya asmara di hati Aladdin dan Jasmine

Mayoritas aspek yang awalnya dipandang remeh sanggup mematahkan keraguan, sayangnya tidak dengan Jafar, si antagonis membosankan yang tak pernah cukup “licin” atau intimidatif. Dibanding “saudara animasinya”, Marwan bagaikan penjahat kemarin sore. Dinamikanya dengan Iago (Alan Tudyk) pun lemah, tatkala si burung makaw bermulut busuk hadir kurang bernyawa, khususnya bila disandingkan dengan Abu yang menampilkan jangkauan ekspresi lebih luas.

Maybe this new “Aladdin” won’t takes us to a whole new world, but its world has enough laughs, hearts, and hopes to be a perfect getaway destination from an exhausting nowadays reality.

KING ARTHUR: LEGEND OF THE SWORD (2017)

King Arthur of Camelot. Demikian figur legendaris Kerajaan Inggris itu jamak disebut. Figur yang bukan saja tak diketahui pasti kapan eksistensinya, pun apakah ia benar-benar nyata atau cerita rakyat belaka. Ambiguitas tersebut dimanfaatkan benar oleh Guy Ritchie bersama Lionel Wigram dan Joby Harold untuk merangkai kisah fantasi berisi penyihir (karakter reguler mitologi Raja Arthur), siluman ular (atau belut?), sampai gajah dan ular raksasa. Bagus tidaknya layak diperdebatkan, tapi satu hal pasti, King Arthur: Legend of the Sword  yang rencananya merupakan film pertama dari enam seri  bukan tipikal suguhan medieval bergaya ortodoks. 

Film dibuka oleh serbuan penyihir bernama Mordred (Rob Knighton) terhadap kastil Camelot yang memberi garansi pengalaman menonton maksimal di layar raksasa (IMAX, Sphere X). Raja Uther Pendragon (Eric Bana) bersenjatakan pedang Excalibur sanggup meruntuhkan pasukan Mordred, meski tanpa diketahui, ancaman sesungguhnya datang dari ambisi kudeta sang adik, Vortigern (Jude Law). Pendragon tewas, Excalibur hilang, dan Vortigern naik tahta. Sampai beberapa tahun kemudian pedang itu muncul lagi bersama kabar keberadaan darah daging Pendragon, Arthur (Charlie Hunnam) yang selama ini hidup sebagai rakyat biasa di suatu rumah bordil. 
Bagaimana Guy Ritchie beserta segala gaya rock and roll-nya bersanding dengan nuansa masa lalu khas medieval? Sekilas kontradiktif, tapi toh Warner Bros. sepertinya memang bertujuan menghasilkan middle ages blockbuster bagi generasi millennial. Basa-basi Shakesperean dibuang jauh bersama penjabaran tumbuh kembang Arthur dari bocah pewaris tahta terbuang jadi pria begajulan jago berkelahi. Ritchie merangkum rentang masa belasan tahun itu ke dalam montage ditemani iringan musik industrial gubahan Daniel Pemberton yang cakap menggabungkan musik folk Britania Raya dann dentuman elektronik, hingga konsisten menghembuskan tenaga bagi tiap adegan. 

Keputusan di atas jelas meniadakan babak penting pengembangan karakter, namun King Arthur: Legend of the Sword memang cuma punya satu tujuan: terlihat asyik. Dan memang benar, film ini gemar mengumbar gaya asyik, bahkan untuk perbincangan sederhana Arthur dengan pasukan kerajaan yang dibungkus lontaran kalimat cepat, perpindahan adegan lincah (kalau bukan ngebut), plus comedic manner, kombinasi yang mengingatkan akan masa keemasan awal karir Ritchie. Jadi jangan harapkan pula ketepatan unsur sejarah, sebab ini adalah film ber-setting sekitar abad keenam atau kelima di mana para tokohnya mengucapkan "fuck" atau "dance floor". 
Kemudian tercipta masalah yang serba salah. Gaya Ritchie efektif hanya di beberapa kemunculan awal, berikutnya berujung repetitif nan melelahkan. Namun tanpanya, film kehilangan daya akibat bergantung pada cerita pun tokoh-tokoh medioker yang mudah terlupakan. Mencapai pertengahan durasi kala konflik mulai memanas, penulisan dialog tajam Ritchie hilang tak berbekas. Karakternya bertingkah terlampau serius, termasuk Arthur yang perlahan kehilangan aura bad boy, padahal Charlie Hunnam terbukti piawai menangani karakterisasi tersebut. Ketika bertarung, tak ada interaksi atau celotehan tokoh di mana mereka sekedar menebas pedang ke sana kemari. Hambar. 

Keengganan mengendurkan urat tatkala konflik tereskalasi memang logis tapi bak mengkhianati tujuan awal filmnya yang tak mempedulikan akal sehat termasuk soal pengembangan karakter atas nama hiburan mengasyikkan. Setidaknya Ritchie masih memiliki visi jelas soal kemasan "seenaknya". Meski akhirnya ditutup oleh klimaks penuh CGI yang secara intensitas pula kreativitas justru paling lemah dibanding gelaran aksi-aksi sebelumnya, King Arthur: Legend of the Sword masih dua jam spectacle sepintas lalu yang layak coba. Bagai mabuk, anda mungkin lupa mayoritas poin di dalamnya begitu usai, namun ingat kalau baru saja menghabiskan waktu yang menyenangkan. Karena kapan lagi kita mendapati pengalaman trippy Raja Arthur berhalusinasi, melihat monster di penjuru hutan?