Tampilkan postingan dengan label Daniel Pemberton. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Daniel Pemberton. Tampilkan semua postingan
ALL THE MONEY IN THE WORLD (2017)
Rasyidharry
J. Paul Getty (Christopher Plummer) tak bergeming, teguh pada keputusannya menolak membayar uang tebusan bagi penculik cucunya, Paul Getty III (Charlie Plummer), meski mendapat tekanan berbagai pihak termasuk sang menantu, Gail (Michelle Williams). Sutradara Ridley Scott, kukuh pada keputusan melakukan pengambilan gambar ulang demi menendang Kevin Spacey dari film pasca tertimpa kasus pelecehan seksual, meski hanya punya waktu sembilan hari yang bagi banyak orang adalah misi bunuh diri. Baik Getty maupun Scott yakin akan keputusan mereka karena menyimpan satu modal penting: pengalaman.
Pengalaman Scott yang telah 40 tahun berkecimpung di industri film, selain nampak dari caranya menangani masalah di balik layar, terlihat juga dari hasil di atas layar. All the Money in the World, selaku adaptasi buku Painfully Rich: The Outrageous Fortunes and Misfortunes of the Heirs of J. Paul Getty karya John Pearson, dikemas lewat ketepatan pacing dan dinamika. Scott menguasai betul dasar-dasar bercerita. Kapan alur harus dibawa berlari, kapan berjalan perlahan, kapan diam sejenak untuk memberi penonton kesempatan mencerna fakta.
Semua soal kematangan, yang mana turut dimiliki Plummer, sehingga persiapan mepet tak menghalanginya memberi performa yang bagi banyak aktor mungkin memerlukan waktu panjang untuk mendalami peran. Di tangan Plummer, Getty bagai medan magnet kuat yang menarik segala atensi tatkala mengisi layar. Dialah taipan minyak sukses sekaligus orang terkaya kala itu (1973) yang bersedia menawar selama satu jam untuk mendapatkan patung murahan dan menjabat tangan sang putera layaknya rekan bisnis setelah berpisah bertahun-tahun ketimbang memeluk hangat. Beberapa dari penonton (termasuk saya) mungkin akan iseng bertanya dalam hati, “apakah Getty mempunyai gudang tempat ia berenang di kolam uang logam?”.
Sewaktu Paul diculik, dan para penculik meminta tebusan $17 juta, Getty cuma tertawa di hadapan awak media sambil menyatakan enggan membayar. Lalu masuklah Gail yang coba membujuk mertuanya agar mau mengesampingkan keserakahan demi sang cucu. Ketika usaha tersebut sia-sia, dibantu oleh Fletcher Chase (Mark Wahlberg) selaku penasihat Getty plus mantan anggota CIA serta kepolisian, Gail coba mencari cara sendiri guna menyelamatkan Paul. Gail menolak hancur. Ketegaran yang malah memancing opini negatif media. Menurut salah satu wartawan, seorang ibu semestinya menangisi nasib putera yang diculik.
Tapi Gail enggan bersikap sebagaimana ekspektasi umum. Dia melawan ekspektasi dan berani bertindak seorang diri. Keberanian yang terpancar dari tatapan menyengat dan selorohan sinis Williams. Mata sang aktris bicara begitu banyak. Serupa filmnya yang tidak pernah meledak-ledak namun mengikat melalui investigasi dan studi karakter, Williams mengekspresikan setumpuk rasa tanpa luapan besar. Obrolan Gail dengan Fletcher di penghujung film menyiratkan setumpuk interpretasi. Apakah ia mengingkan lelaki itu menetap? Apakah ia diam-diam jatuh cinta?
Di luar investigasi, intensitas All the Money in the World bersumber dari ajakan untuk penonton mempertanyakan intensi Getty sesungguhnya. Benarkah ia sekedar kikir ataukah tengah menjalankan permainan pikiran terselubung? Inilah teka-teki sesungguhnya, yang hadir sambil diselimuti musik megah nan misterius buatan Daniel Pemberton. All the Money in the World merupakan sajian yang dikemas memakai gaya dasar minim terobosan. Dan Scott begitu menguasai dasar, sehingga film ini tersaji sedemikian solid. Tidak mendobrak batas, tidak pula meninggalkan banyak cacat.
Januari 18, 2018
Bagus
,
Charlie Plummer
,
Christopher Plummer
,
Crime
,
Daniel Pemberton
,
Mark Wahlberg
,
Michelle Williams
,
REVIEW
,
Ridley Scott
,
Thriller
KING ARTHUR: LEGEND OF THE SWORD (2017)
Rasyidharry
King Arthur of Camelot. Demikian figur legendaris Kerajaan Inggris itu jamak disebut. Figur yang bukan saja tak diketahui pasti kapan eksistensinya, pun apakah ia benar-benar nyata atau cerita rakyat belaka. Ambiguitas tersebut dimanfaatkan benar oleh Guy Ritchie bersama Lionel Wigram dan Joby Harold untuk merangkai kisah fantasi berisi penyihir (karakter reguler mitologi Raja Arthur), siluman ular (atau belut?), sampai gajah dan ular raksasa. Bagus tidaknya layak diperdebatkan, tapi satu hal pasti, King Arthur: Legend of the Sword yang rencananya merupakan film pertama dari enam seri bukan tipikal suguhan medieval bergaya ortodoks.
Film dibuka oleh serbuan penyihir bernama Mordred (Rob Knighton) terhadap kastil Camelot yang memberi garansi pengalaman menonton maksimal di layar raksasa (IMAX, Sphere X). Raja Uther Pendragon (Eric Bana) bersenjatakan pedang Excalibur sanggup meruntuhkan pasukan Mordred, meski tanpa diketahui, ancaman sesungguhnya datang dari ambisi kudeta sang adik, Vortigern (Jude Law). Pendragon tewas, Excalibur hilang, dan Vortigern naik tahta. Sampai beberapa tahun kemudian pedang itu muncul lagi bersama kabar keberadaan darah daging Pendragon, Arthur (Charlie Hunnam) yang selama ini hidup sebagai rakyat biasa di suatu rumah bordil.
Bagaimana Guy Ritchie beserta segala gaya rock and roll-nya bersanding dengan nuansa masa lalu khas medieval? Sekilas kontradiktif, tapi toh Warner Bros. sepertinya memang bertujuan menghasilkan middle ages blockbuster bagi generasi millennial. Basa-basi Shakesperean dibuang jauh bersama penjabaran tumbuh kembang Arthur dari bocah pewaris tahta terbuang jadi pria begajulan jago berkelahi. Ritchie merangkum rentang masa belasan tahun itu ke dalam montage ditemani iringan musik industrial gubahan Daniel Pemberton yang cakap menggabungkan musik folk Britania Raya dann dentuman elektronik, hingga konsisten menghembuskan tenaga bagi tiap adegan.
Keputusan di atas jelas meniadakan babak penting pengembangan karakter, namun King Arthur: Legend of the Sword memang cuma punya satu tujuan: terlihat asyik. Dan memang benar, film ini gemar mengumbar gaya asyik, bahkan untuk perbincangan sederhana Arthur dengan pasukan kerajaan yang dibungkus lontaran kalimat cepat, perpindahan adegan lincah (kalau bukan ngebut), plus comedic manner, kombinasi yang mengingatkan akan masa keemasan awal karir Ritchie. Jadi jangan harapkan pula ketepatan unsur sejarah, sebab ini adalah film ber-setting sekitar abad keenam atau kelima di mana para tokohnya mengucapkan "fuck" atau "dance floor".
Kemudian tercipta masalah yang serba salah. Gaya Ritchie efektif hanya di beberapa kemunculan awal, berikutnya berujung repetitif nan melelahkan. Namun tanpanya, film kehilangan daya akibat bergantung pada cerita pun tokoh-tokoh medioker yang mudah terlupakan. Mencapai pertengahan durasi kala konflik mulai memanas, penulisan dialog tajam Ritchie hilang tak berbekas. Karakternya bertingkah terlampau serius, termasuk Arthur yang perlahan kehilangan aura bad boy, padahal Charlie Hunnam terbukti piawai menangani karakterisasi tersebut. Ketika bertarung, tak ada interaksi atau celotehan tokoh di mana mereka sekedar menebas pedang ke sana kemari. Hambar.
Keengganan mengendurkan urat tatkala konflik tereskalasi memang logis tapi bak mengkhianati tujuan awal filmnya yang tak mempedulikan akal sehat termasuk soal pengembangan karakter atas nama hiburan mengasyikkan. Setidaknya Ritchie masih memiliki visi jelas soal kemasan "seenaknya". Meski akhirnya ditutup oleh klimaks penuh CGI yang secara intensitas pula kreativitas justru paling lemah dibanding gelaran aksi-aksi sebelumnya, King Arthur: Legend of the Sword masih dua jam spectacle sepintas lalu yang layak coba. Bagai mabuk, anda mungkin lupa mayoritas poin di dalamnya begitu usai, namun ingat kalau baru saja menghabiskan waktu yang menyenangkan. Karena kapan lagi kita mendapati pengalaman trippy Raja Arthur berhalusinasi, melihat monster di penjuru hutan?
Mei 10, 2017
Charlie Hunnam
,
Cukup
,
Daniel Pemberton
,
Eric Bana
,
Fantasy
,
Guy Ritchie
,
Joby Harold
,
Jude Law
,
Lionel Wigram
,
REVIEW
,
Rob Knighton
Langganan:
Postingan
(
Atom
)