Tampilkan postingan dengan label Ersa Mayori. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ersa Mayori. Tampilkan semua postingan
MARIPOSA (2020)
Rasyidharry
Seperti sempat saya singgung di
ulasan Teman tapi Menikah 2, penonton
kita sedang jatuh hati pada adaptasi Wattpad bertema romansa remaja yang
membawa ciri-ciri seperti judul “asing”, gombalan unik (baca: absurd), dan tipikal
bad boy yang cenderung brengsek
ketimbang keren. Mariposa, yang
diangkat dari kisah buatan Luluk HF, sebenarnya
turut mengusung formula serupa, tapi pendekatan ringan lewat sentuhan humor dan
kemasan artistik yang diberi perhatian, membuatnya unggul dibanding banyak
kompatriotnya.
Acha (Adhisty Zara) menyukai teman
sekolahnya, Iqbal (Angga Yunanda). Tapi seperti sudah disinggung di atas, tentu
saja Iqbal tidak membalas cinta Acha, bersikap dingin bahkan sedikit kasar
padanya. Iqbal sangat kaku. Kekakuan yang dipicu tuntutan tinggi sang ayah
(Ariyo Wahab), agar Iqbal selalu jadi nomor satu di bidang akademis, termasuk
menjuarai olimpiade sains tingkat nasional. Tujuannya adalah memperoleh
beasiswa untuk berkuliah di Inggris. Iqbal punya alasan kuat menghindari urusan
percintaan. Kondisi tersebut berlawanan dengan keluarga Acha. Sang ibu (Ersa Mayori), yang seorang Army (penggemar BTS) sekaligus pengagum hal-hal berbau budaya populer Korea Selatan, ibarat sahabat bagi Acha, yang bisa ia ajak berbagi banyak hal termasuk tentang cinta.
Pun meski sesekali kelewatan,
penolakan Iqbal sebenarnya bisa cukup dipahami. Obsesi Acha sebenarnya sering
kelewatan. Dia selalu mengikuti Iqbal, terus menghubunginya, bersikap seolah
keduanya berpacaran. Penanganan keliru dapat menjadikan Acha karakter creepy, namun Zara adalah figur likeable yang mampu memberi kepolosan,
sehingga bentuk obsesinya bisa dijustifikasi sebagai kenaifan polah cinta
monyet remaja.
Berlangsung selama hampir dua jam
(117 menit), Mariposa mengalami
stagnansi ketika kisahnya sebatas tersusun atas repetisi-repetisi situasi
ketika Acha menggoda Iqbal hanya untuk menerima respon dingin. Jangan pula
berharap ada eksplorasi mendalam mengenai metafora metamorfosis ulat jadi
kupu-kupu (“mariposa” adalah Bahasa Spanyol yang berarti “kupu-kupu”)
yang sejatinya cuma gimmick untuk
membuai target pasar bocah/remaja awal. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
Alim Sudio selaku penulis naskah adaptasinya.
“Perbaikan” yang dilakukan adalah
memperlakukan romantikanya tidak terlalu serius, melalui selipan
humor-humor segar. Tengok adegan di perpustakaan, atau sekuen menggelitik
tentang “perjalanan kue keju Belanda”. Alhasil, walau ceritanya tidak banyak
berprogres dan memiliki durasi cukup panjang, Mariposa takkan terasa melelahkan. Apalagi visualnya cukup
memanjakan mata, melalui penggunaan warna-warna pastel (khususnya kombinasi
biru-merah muda) pada seragam dan properti serta pencahayaan lembut.
Selain stagnansi kisah, muncul juga
masalah perihal pembangunan intensitas di babak akhir yang menyoroti
pelaksanaan olimpiade. Menyulap aktivitas mengerjakan soal tertulis jadi
pemandangan menegangkan bukan perkara mudah, dan pengarahan Fajar Bustomi belum
berhasil mencapai titik itu. Dan sewaktu lomba memasuki babak rebutan,
pemakaian teknik quick cut guna
meningkatkan dinamika justru kerap membuat pusing kepala.
Beruntung Mariposa menyimpan konklusi yang berhasil menjadi puncak emosi.
Berpengalaman mengarahkan trilogi Dilan, Fajar tahu cara menciptakan momen menggemaskan berisi pengakuan cinta ala
remaja, yang juga menyentuh hati berkat penampilan heartful Zara. Aktris muda ini memang tidak bisa dipandang remeh.
Maret 13, 2020
Alim Sudio
,
Angga Yunanda
,
Ariyo Wahab
,
Cukup
,
Ersa Mayori
,
Fajar Bustomi
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Romance
,
Zara JKT48
Langganan:
Postingan
(
Atom
)