Tampilkan postingan dengan label Ken Nolan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ken Nolan. Tampilkan semua postingan
ONLY THE BRAVE (2017)
Rasyidharry
Pada era di mana banyak penjahat kemanusiaan menggenggam kekuasaan seperti sekarang, segala bentuk heroisme, tanpa peduli oleh siapa atau sekecil apa, patut diceritakan dan dirayakan. Only the Brave, yang menandai peralihan sutradara Joseph Kosinski dari gelaran fiksi ilmiah (Tron: Legacy, Oblivion) menuju paparan kepahlawanan lebih membumi termasuk salah satunya. Mengangkat kisah nyata tentang pemadam kebakaran hutan Granite Mountain Hotshots kala berjuang menaklukkan api di Yarnell pada 2013, film ini adalah penghormatan menggugah yang tak lupa memanusiakan objeknya.
Dipimpin oleh Eric Marsh (Josh Brolin), Granite Mountain Hotshots mengawali karir mereka dari trainee yang diremehkan, sampai akhirnya berkesempatan membuktikan kapasitas dan mendapat status elit (Hotshots). Turut bergabung belakangan adalah Brendan "Donut" McDonough (Miles Teller), mantan pecandu yang berniat memperbaiki diri pasca sang kekasih mengandung anaknya. Para pria pemberani ini memang tak sendiri. Keluarga, dari kekasih, istri, anak, orang tua, setia berdiri di samping memberi dukungan. Ini bukan saja soal memadamkan api, juga tentang orang-orang terkasih.
Itu sebabnya 133 menit durasi tidak cuma diisi aksi memadamkan api yang terlihat meyakinkan berkat tata lokasi apik plus CGI tepat guna meski hanya punya bujet $38 juta juga drama intim terkait keluarga, dengan penempatan fokus untuk Donut dan Eric, yang hidup berdua bersama istrinya, Amanda (Jennifer Connelly). Khususnya hubungan Eric-Amanda, naskah karya Ken Nolan (Black Hawk Down, Transformers: The Last Knight) dan Eric Warren Singer (American Hustle) cermat membangun konflik secara natural. Progres bergerak dari harmoni sepasang suami istri menuju perbedaan pandangan pemicu perdebatan yang disusun bertahap melalui rangkaian pembicaraan.
Akting memegang kunci keberhasilan interaksi. Melihat Brolin si pemimpin tangguh di lapangan bertukar dialog dengan Connelly yang menunjukkan kekuatan seorang wanita mandiri layaknya memasuki ruang personal yang mengikat. Demikian pula ketika dua aktor penuh kematangan, Brolin dan Jeff Bridges menghadirkan aliran perbincangan nikmat. Miles Teller dengan kelembutan non-verbal seperti saat memeluk sang buah hati ditambah luapan emosi yang menyesakkan dada di penghujung film berhasil mengimbangi seniornya. Begitu pula Taylor Kitsch sebagai MacKenzie beberapa kali memancing tawa, membuktikan ia punya jangkauan akting lebih luas.
Solidnya departemen akting dan naskah menutupi fakta bahwa Kosinski belum cukup jago menangani kehangatan situasi dalam drama, apalagi ketika terdapat selipan humor. Beberapa pengadeganan canggung hingga transisi kasar yang menyebabkan kurang lembutnya perpindahan tone. Untungnya, mencapai pertengahan lubang-lubang di atas tak lagi muncul. Narasi bergerak lancar menyatukan sensitivitas kisah kasih keluarga dan kepahlawanan sambil sesekali diselingi gelak tawa penyegar suasana. Kita dibuat mengenal betul para tokoh utama, yang mana jadi bekal menjelang klimaks.
Baik untuk penonton yang telah mengetahui konklusi kejadian nyatanya maupun yang belum, third act film ini sungguh mengobrak-abrik emosi. Selain kepedulian pada karakter, akhirnya penyutradaraan Kosinski menemukan taji, perlahan membangun ketegangan ketika misi pemadaman api di Yarnell yang awalnya dipandang mudah mulai mencuatkan satu demi satu rintangan bagi Granite Mountain Hotshots. Puncaknya yakni satu shot pasca kebakaran berlalu, yang berkat sinematografi Claudio Miranda (Life of Pi, Oblivion), mampu mencabik-cabik perasaan. Sebagaimana jasa Granite Mountain Hotshots yang selalu dikenang, shot tersebut takkan mudah hilang dari ingatan. Heartbreaking.
Oktober 21, 2017
Bagus
,
Biography
,
Claudio Miranda
,
Eric Warren Singer
,
Jeff Bridges
,
Jennifer Connelly
,
Joseph Kosinski
,
Josh Brolin
,
Ken Nolan
,
Miles Teller
,
REVIEW
,
Taylor Kitsch
TRANSFORMERS: THE LAST KNIGHT (2017)
Rasyidharry
Suatu ketika saya membaca wawancara suatu majalah film dengan Michael Bay. Disebutkan bahwa menikmati gelaran eksplosi sang sutradara bagai menjual jiwa pada setan. Penonton tahu filmnya buruk ditinjau dari standar sinematik namun tak kuasa menolak dan akhirnya menerima kegembiraan yang dirasa. Istilah umumnya "guilty pleasure". Saya kurang setuju. Benar Bay bukan jagoan pembangun tensi layaknya Cameron atau ahli mengawinkan aksi dengan hati seperti Spielberg. Tapi ia diberi talenta yang didukung passion dan kecintaan. Talenta berupa menyajikan epic cinema berbasis ledakan "cantik". Bayhem (begitu gayanya disebut) adalah soal spektakel yang saking bombastisnya jadi terasa dramatis, poin yang tidak semua sutradara blockbuster punya.
The Last Knight menawarkan formula familiar, dan mencapai installment kelima seri Transformers memang enggan ke mana-mana. Pasca tease menarik di konklusi Age of Extinction saat Optimus Prime lepas landas menuju Cybertron toh kisahnya tetap berpijak di Bumi, menyoroti invasi robot yang hendak menabrakkan Cybertron ke planet ini (tak jauh beda dibanding Dark of the Moon). Pembuka menjanjikan kala kita diajak ke era medieval menyaksikan Raja Arthur bersama Merlin si penyihir dan 12 Kesatria Meja Bundar berperang dibantu para Transformers pun bertahan sejenak saja. Sekedar prolog, eksposisi singkat bagi cerita selanjutnya di masa kini. Padahal melihat naga robot berkepala sukses mengundang decak kagum sekaligus bukti Transformers bisa bekerja dengan baik di setting waktu dan tempat non-kontemporer.
Cerita kembali berpusat di Cade Yeager (Mark Wahlberg) yang kini menetap di junkyard penampung Autobots sementara Optimus pergi. Di tengah penelusuran terkait makin banyaknya robot mendarat di Bumi, sesosok Transformers sekarat memberi Yeager sebuah jimat. Tanpa dia tahu, benda itu menggiringnya ke rahasia ribuan tahun mengenai eksistensi robot dan manusia. Bersama Sir Edmund Burton (Anthony Hopkins) sang pemimpin organisasi rahasia, mekanik cilik pemberani bernama Izabella (Isabela Moner), Viviane (Laura Haddock), Profesor dari Oxford, dan tentunya Autobots, Yeager memperjuangkan keselamatan Bumi. Perjuangan berujung semakin berat karena "pengkhianatan" Optimus Prime.
Tuturan bahwa tokoh legendaris semisal Einstein, Galileo, dan Wright Bersaudara tergabung dalam organisasi rahasia yang menyembunyikan keberadaan Transformers, juga keterlibatan robot pada peristiwa sejarah (kematian Hitler misalnya) hanya jadi bumbu penyedap. Menarik di awal kemudian dilupakan. Proses Yeager dan Viviane memecahkan teka-teki soal tongkat Merlin yang bak diambil dari salah satu chapter The Da Vinci Code pun bukan konflik pintar, meski setidaknya menstimulus otak penonton berproses, memancing gejolak naik-turun alur yang lebih menggigit ketimbang sepenuhnya "hit and run" macam film-film sebelumnya. The Last Knight memang penuh pernak-pernik kurang substansif tapi memperkaya warna. Sebutlah pembuatan tokoh Cogman dan Sqweeks selaku "tiruan" C-3PO dan R2-D2 dari Star Wars.
Pergantian penulis dari Ehren Kruger menjadi trio Art Marcum, Matt Holloway, dan Ken Nolan mungkin urung menambah bobot, namun sukses memperbaiki kelemahan terkait komedi. Kita ingat betul Revenge of The Fallen dan Dark of the Moon dirusak oleh lelucon menyebalkan, berlebihan nan dipaksakan di waktu tak tepat. The Last Knight bisa menghadirkan beberapa tawa berkat dosis humor secukupnya, entah berbentuk banter karakter maupun situasi absurd (yang sesungguhnya klise) kala Cogman mendadak memainkan musik dramatis mengiringi pembicaraan. Sayangnya, Bay kurang cakap meramu momen komedik. Timing menyelipkan kesunyian tiba-tiba sering meleset, begitu pula transisi kasar antar adegan yang kerap melemahkan daya bunuh humor.
Penampilan jajaran cast turut membaik. Setelah meraba-raba di Age of Extinction, sekarang Wahlberg maksimal melakoni peran sebagai leading hero di antara kepungan robot-robot raksasa, seutuhnya menghapus memori buruk bernama Shia LaBeouf. Walau bukan performa kelas Oscar, Hopknis nampak jelas bersenang-senang di sini. Lalu tatkala Isabela Moner memamerkan kapasitas sebagai bintang muda potensial, Laura Haddock akhirnya mengobati kehilangan atas Megan Fox. Selain paras serupa, sewaktu Rosie Huntington-Whiteley dan Nicola Peltz sekedar berusaha tampak cantik, Haddock memiliki sensual presence tinggi. Haddock dan Wahlerg pun saling mengimbangi, menciptakan interaksi raunchy yang jauh lebih bernyawa dibanding duo tokoh utama lain franchise ini.
Tidak perlu mempertanyakan eksekusi aksi Michael Bay. Ledakan bombastic artistic dengan staging yang dipikir masak-masak atau penggunaan slow-motion tepat guna sehingga aksi Autobots makin badass adalah alat pacu kegembiraan yang hanya bisa diimpikan banyak kompatriotnya sesama blockbuster filmmaker. Hanya ada satu minus, di mana intensitas gagal mencapai titik maksimum akibat set-piece acap kali berlangsung terlampau singkat. Bukan sepenuhnya kekeliruan Bay (the anticlimactic third act was his fault though), sebab terburu-burunya naskah merangkum konklusi ikut jadi penyebab. Tengok resolusi konflik seputar Optimus sebagai contoh. Kekurangan tersebut masih termaafkan, apalagi sensibiltas visual Bay dalam melukiskan massive landscape tetap terjaga. Salah satu momen menampilkan pertarungan Autobots melawan Decepticon di tengah padang rumput hijau dengan Stonehenge sebagai pusat, api bergelora di sana-sini, sementara di angkasa Cybertron berukuran raksasa ikut melatari. What a chaotic beatuy.
Juni 22, 2017
Action
,
Anthony Hopkins
,
Art Marcum
,
Isabela Moner
,
Ken Nolan
,
Laura Haddock
,
Lumayan
,
Mark Wahlberg
,
Matt Holloway
,
Michael Bay
,
REVIEW
,
Science-Fiction
Langganan:
Postingan
(
Atom
)