Tampilkan postingan dengan label Kim Tae-ri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kim Tae-ri. Tampilkan semua postingan

REVIEW - ALIENOID

Walau bukan satu-satunya faktor, keberhasilan The Roundup menjadi film Korea Selatan pertama yang menembus 10 juta penonton sejak 2019 (terakhir dicapai Parasite), jelas berperan membangkitkan lagi geliat produk lokal di bioskop sana pasca pandemi. Setelahnya, selama empat bulan, empat judul sukses mendapatkan sejuta penonton, termasuk Alienoid yang melakukannya dalam tujuh hari (tercepat ketiga sepanjang 2022). 

Alienoid datang di saat yang tepat. Sulit membayangkan film dengan biaya produksi mencapai 40 juta won (untuk sementara merupakan angka terbesar di 2022), dengan cerita luat biasa ambisius sampai harus dipecah menjadi dua bagian, dilempar ke bioskop pada kwartal pertama 2022. Kini sudah tiba saatnya penonton disuguhi blockbuster penuh bintang serta CGI, soal petualangan menembus waktu berlatar invasi alien. 

Seambisius apa Alienoid? Kisahnya mengambil dua latar waktu yang berjarak cukup jauh, yakni 2022 dan 1380. Choi Dong-hoon selaku sutradara sekaligus penulis naskah membangun dunia di mana alien memakai otak manusia sebagai penjara guna mengurung para kriminal. Manusia takkan sadar otaknya disusupi, dan kelak saat mereka mati, alien yang dikurung pun ikut mati. 

Tapi layaknya penjara biasa, narapidana tentu berusaha kabur. Di situlah Guard (Kim Woo-bin) berperan. Dibantu asistennya, yakni robot bernama Thunder (disuarakan Kim Dae-myung), Guard memburu tahanan yang kabur, baik di masa kini maupun masa lampau. Pada sebuah misi di abad 14, Thunder menyelamatkan bayi yang sebatang kara, lalu membawanya ke tahun 2022. Konflik pelik timbul kala alien yang terkurung di tubuh Moon Do-seok (So Ji-sub) berusaha kabur dengan bantuan pengikutnya. 

Upaya Choi Dong-hoon membangun konsep dunia yang cukup berani (kalau tak mau dibilang "aneh") pantas diapresiasi. Begitu pula deretan ambisi lain yang bertujuan agar Alienoid tampil sebagai "blockbuster sejati", salah satunya pemakaian CGI. Hasilnya solid, tentu dengan catatan, jangan dibandingkan dengan kreasi Hollywood. 

Choi Dong-hoon tak ragu menyajikan baku hantam antar karakter yang total dibuat memakai efek komputer. Mungkin perihal desain yang agak mengganjal, sebab acap kali terlalu mengingatkan ke desain lebih populer. Wujud asli Guard dengan kemampuannya menembakkan sinar dari telapak tangan tampak bak Iron Man, sedangkan alien yang jadi lawannya seperti modifikasi Deadshot. 

Cerita kedua mengambil latar 1380, berpusat pada Mureuk (Ryu Jun-yeol), seorang penyihir tao yang terlibat perburuan sebuah pedang legendaris. Perburuan itu mempertemukannya dengan Lee Ahn (Kim Tae-ri), wanita misterius yang dianggap mampu menembakkan petir. 

Selain kuantitas, latar 1380 juga unggul secara kualitas. Choi Dong-hoon mengangkat lagi hal yang pernah diangkatnya lewat Jeon Woo-chi: The Taoist Wizard (2009), yaitu tentang para penyihir taoist berkekuatan sakti. Mureuk misalnya, bisa memanggil dua siluman kucing dari dalam kipas miliknya. Sementara duo Heug-seol (Yum Jung-ah) dan Cheong-woon (Jo Woo-jin) mencuri perhatian melalui setumpuk peralatan ajaib mereka. Dunia Alienoid pun jadi makin berwarna. Makin unik. 

Latar 1380 juga lebih menghibur berkat jajaran pemainnya. Ryu Jun-yeol piawai menangani humor, begitu juga Yum Jung-ah dan Jo Woo-jin yang rutin jadi scene stealers, sedangkan Kim Tae-ri makin menggantung pedang anggar, menggantinya dengan sepucuk pistol, guna menguatkan statusnya sebagai action hero yang dapat diandalkan. 

Ambisi Choi Dong-hoon jadi keunggulan Alienoid, tapi secara bersamaan turut memunculkan kelemahan. Elemen plot film ini sebenarnya tidak sebegitu banyak, namun gaya penceritaan yang dipakai membuatnya terasa lebih rumit dari kelihatannya. Melalui dua latar waktunya, Choi Dong-hoon memaksa membangun misteri berdasarkan sesuatu yang sesungguhnya tak perlu dijadikan misteri, dan itu terasa melelahkan. Membuat filmnya serumit mungkin rasanya memang jadi tujuan sang sutradara. Hitung berapa kali racun digunakan, untuk membuat masalah sederhana jadi lebih sulit diselesaikan.

Tapi apa pun kekurangan Alienoid, semua dibayar lunas oleh third act yang memaksimalkan konsep dunia ajaib buatan Choi Dong-hoon. Kim Tae-ri dan Ryu Jun-yeol akhirnya total beraksi, di tengah parade jurus serta alat-alat absurd yang tak jarang mengingatkan pada bahasa visual khas Stephen Chow (walau tentu saja Alienoid masih jauh lebih "normal"). Antusiasme terhadap film kedua tahun depan pun berhasil dibangun, yang kemungkinan bakal menempatkan Min Kae-ae (Lee Hanee) sebagai figur sentral setelah di film pertama ini lebih banyak menggoda (dan digoda) Guard.

REVIEW - SPACE SWEEPERS

Pastilah muncul banyak keluhan soal naskah Space Sweepers. Khususnya tentang alur yang sebatas pengulangan medioker dari elemen-elemen formulaik khas genre sci-fi/space opera. Saya tidak menyangkal. Kelemahan tersebut benar adanya. Tapi bagaimana Space Sweepers, sebagai film blockbuster luar angkasa pertama Korea Selatan yang cuma dibekali $24 juta (angka ini bahkan tidak cukup membiayai installment terbaru Annabelle), mampu memposisikan dirinya tidak jauh di belakang judul-judul ratusan juta dollar milik Hollywood, jelas wajib diapresiasi.

Pada tahun 2092, Bumi sudah tidak layak ditinggali, sehingga manusia harus mengungsi ke luar angkasa, menghuni surga ciptaan pebisnis yang gemar "bermain Tuhan", namun hanya orang kaya saja yang berhak menempati surga tersebut, sedangkan rakyat miskin dibiarkan menunggu ajal di "bawah". Entah sudah berapa ratus film memakai premis serupa. Kebanyakan penonton tentu sudah hafal di luar kepala, bagaimana kisah semacam itu bermula, berpuncak, lalu berakhir, termasuk segala twist di dalamnya. Naskah buatan sutradara Jo Sung-hee (A Werewolf Boy) bersama Yoon Seung-min dan Yoo-kang Seo-ae memang tidak berusaha memodifikasi formula di atas.

Lalu selain visual, apa daya tarik filmnya, sehingga durasi sepanjang 136 menit bisa dijustifikasi. Sebagaimana film Korea kebanyakan, jawabannya adalah "karakter". Sineas "Negeri Ginseng" memang jagonya melahirkan tokoh-tokoh berwarna, tidak peduli selemah apa pun penceritaannya. Protagonis kita bernama Tae-ho. Diperankan oleh Song Joong-ki, yang belakangan terus berusaha melepas citra "pretty boy" baik di layar lebar maupun televisi, Tae-ho tidak pernah menyerah mencari puterinya yang hilang di angkasa.

Tae-ho merupakan salah satu kru Victory, sebuah pesawat pengumpul sampah yang dipimpin oleh Kapten Jang (Kim Tae-ri). Sang kapten memberi Tae-ri kesempatan memamerkan pesona lainnya, memerankan sosok pemabuk minim tanggung jawab, tapi dengan kacamata hitam ditambah gestur juga tatapan penuh kepercayaan diri, Kapten Jang menjadi karakter paling keren di sini. Lalu ada Tiger Park (Jin Seon-kyu), mantan bos gangster dengan persona "muka sekuriti hati Hello Kitty", dan sebuah robot bernama Bubs, yang hidup berkat pengisian suara gemilang dari Yoo Hae-jin. Bubs punya daya tarik lain. Di film space opera perdana mereka, Korea Selatan yang identik dengan paham konservatif, nyatanya berani memasukkan karakter yang menentang sekat-sekat gender.

Meski naskahnya tak cukup kreatif untuk bisa menuliskan kalimat-kalimat memorable, seluruh jajaran pemain sanggup menyulap obrolan yang di atas kertas membosankan, jadi sebuah hiburan, tiap kali mereka berinteraksi. Konflik utama hadir tatkala kru Victory menemukan Dorothy (Park Ye-rin), robot humanoid yang walau dari luar nampak bak bocah biasa, dipercaya bisa memicu kehancuran massal. Dorothy menjadi incaran UTS, perusahaan pencipta suaka bagi umat manusia di luar angkasa, yang dimiliki James Sullivan (Richard Armitage). 

Ketika muncul tokoh bocah di film post-apocalyptic, besar kemungkinan ia adalah awal baru bagi kehidupan umat manusia, baik secara metaforikal, atau literal. Dorothy termasuk yang kedua. Dia sanggup membuat bunga (dan segala jenis tumbuhan) mekar dalam sekejap. Semua karena robot nano di tubuh Dorothy berkomunikasi dengan partikel nano lain. Bagaimana bisa? Rupanya para ilmuwan tak bisa menjelaskannya. Dengan kata lain, penulis naskah film ini melakukan simplifikasi terhadap kekuatan Dorothy, yang nantinya bakal sering dipakai sebagai alat menyelesaikan masalah secara mudah.

Terkait spektakel, penyutradaraan Sung-hee masih tergolong mentah. Beberapa kali, caranya mengemas momen-momen wajib space opera, misalnya saat pesawat sang protagonis terbang meliuk-liuk menghindari sampah luar angkasa maupun serangan musuh, menyulitkan penonton untuk memahami apa yang sedang terjadi. Hasilnya, intensitas acap kali gagal mencapai potensi. Tapi Sung-hee mampu mewujudkan tujuan utama Space Sweepers, yakni sajian visual megah. Semuanya megah, entah lanskap luar angkasa dengan segala isinya, hingga kelab malam di mana stan DJ memancarkan sinar elektrik masif. Visi yang sukses terwujud, juga berkat kualitas CGI mumpuni, biarpun bermodalkan angka yang hanya cukup membayar basic salary Robert Downey Jr. di Avengers: Endgame. Saya siap menantikan persembahan besar sinema Korea Selatan berikutnya.



Available on NETFLIX

1987: WHEN THE DAY COMES (2017)

Represi pemerintah terhadap media, persekusi pemegang kekuasaan terhadap rakyat sipil oposisi, hingga dalih pemberantasan antek komunis selaku kambing hitam dalam upaya membungkam pihak yang kritis. Kita di Indonesia telah familiar akan semua itu, sehingga saat banyak kisah menyeruak dan sederet karakter keluar-masuk dalam 1987: When the Day Comes, rasanya tidak sulit mencerna garis besar peristiwanya. Bahkan sekalipun naskah buatan Kim Kyung-chan kerepotan menangani skala ambisius filmnya, kita takkan tersesat jauh. Karena kita sudah hafal, sampai dibuat muak oleh modus operandi di atas.

Filmnya dibuka lewat tragedi yang acap kali terjadi dalam sebuah upaya revolusi, khususnya yang menyertakan pemuda sebagai tulang punggung. Mahasiswa sekaligus aktivis bernama Park Jong-chul (Yeo Jin-goo) tewas akibat penyiksaan keji kala diinterogasi pasca terlibat dalam demonstrasi menentang rezim diktator Presiden Chun Doo-hwan. Komisaris Park (Kim Yoon-seok) bertugas menutupi fakta tersebut, menyatakan bahwa Jong-chul, yang ditangkap karena pro-komunis, tewas akibat serangan jantung ketika interogasi. Demi menghindari autopsi, jenazah Jong-chul akan dikremasi tanpa persetujuan keluarga.
Di sinilah perlawanan mulai terjadi. Jaksa Choi (Ha Jung-woo) menolak memberi izin kremasi. Choi adalah tipikal protagonis populer sinema Korea. Bermoral, menjunjung tinggi aturan, walau kerap bersikap semaunya. 1987: When the Day Comes semestinya bertahan memberi sorotan utama pada Choi yang dimainkan dengan penuh energi oleh Ha Jung-woo. Alih-alih demikian, ambisi tinggi membawa kisahnya melebar, melompat ke tokoh-tokoh lain, dari reporter Yoon Sang-sam (Lee Hee-joon), sipir Han Byung-yong (Yoo Hae-jin) dan keponakannya, Yeon-hee (Kim Tae-ri), hingga nama-nama yang tidak bisa saya sebutkan karena gagal terekam di memori. Bahkan halaman Wikipedia tak membantu mengingat. 

Jaksa Choi menarik karena tingkah serampangannya. Byung-yong relatable berkat kebolehan Hae-jin mewakili sisi rakyat sipil yang tidak berdaya di hadapan penguasa layaknya kita. Sang keponakan mudah mencuri hati sebab Tae-ri menyuntikkan keceriaan di antara situasi mencekam filmnya. Di pihak berlawanan, Kim Yoon-seok tampil begitu intimidatif. Karakter lainnya urung bernasib sama. Kurang berkesan, dan sejatinya tanpa sumbangan signifikan untuk alur. Berniat mengambil cakupan perspektif seluas mungkin (rakyat, mahasiswa, aktivis, jurnalis, aparat, politikus), 1987: When the Day Comes melangkah menuju kerumitan tak perlu.
Berbagai dialog penjelas cukup membantu mengatasi kerumitan benang kusut kisahnya tetapi tak membantu mengikat perasaan dengan jajaran tokohnya. Padahal dalam beberapa kesempatan, sutradara Jang Joon-hwan berhasil memunculkan komponen khas sinema Korea Selatan, yakni luapan emosional yang otentik. Seperti kita tahu bersama, film Korea jago menumpahkan air mata menyayat, seolah sutradara dan aktor Negeri Ginseng paham betul tangis seperti apa yang efektif menusuk hati penonton. 

1987: When the Day Comes mampu menjungkalkan Along with the Gods: The Two Worlds dari singgasana puncak Box Office Korea Selata setelah tiga minggu bertahta. Prestasi ini menandakan betapa penonton di sana merasa terikat akan perjuangan merubuhkan kediktatoran para penjahat kemanusiaan. Perjuangan itu ditutup melalui shot yang menghadirkan paralel dengan adegan pamungkas Les Misérables-nya Tom Hooper, selaku sesama film tentang revolusi. Sebuah pilihan visual tepat, berbeda dengan momen cringey tatkala imagery Kristus dipakai untuk menggambarkan Kim Jeong-nam laksana mesias. Api yang disulut film ini tidak membara sebesar keinginan pembuatnya.