Tampilkan postingan dengan label Song Joong-ki. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Song Joong-ki. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SPACE SWEEPERS

Pastilah muncul banyak keluhan soal naskah Space Sweepers. Khususnya tentang alur yang sebatas pengulangan medioker dari elemen-elemen formulaik khas genre sci-fi/space opera. Saya tidak menyangkal. Kelemahan tersebut benar adanya. Tapi bagaimana Space Sweepers, sebagai film blockbuster luar angkasa pertama Korea Selatan yang cuma dibekali $24 juta (angka ini bahkan tidak cukup membiayai installment terbaru Annabelle), mampu memposisikan dirinya tidak jauh di belakang judul-judul ratusan juta dollar milik Hollywood, jelas wajib diapresiasi.

Pada tahun 2092, Bumi sudah tidak layak ditinggali, sehingga manusia harus mengungsi ke luar angkasa, menghuni surga ciptaan pebisnis yang gemar "bermain Tuhan", namun hanya orang kaya saja yang berhak menempati surga tersebut, sedangkan rakyat miskin dibiarkan menunggu ajal di "bawah". Entah sudah berapa ratus film memakai premis serupa. Kebanyakan penonton tentu sudah hafal di luar kepala, bagaimana kisah semacam itu bermula, berpuncak, lalu berakhir, termasuk segala twist di dalamnya. Naskah buatan sutradara Jo Sung-hee (A Werewolf Boy) bersama Yoon Seung-min dan Yoo-kang Seo-ae memang tidak berusaha memodifikasi formula di atas.

Lalu selain visual, apa daya tarik filmnya, sehingga durasi sepanjang 136 menit bisa dijustifikasi. Sebagaimana film Korea kebanyakan, jawabannya adalah "karakter". Sineas "Negeri Ginseng" memang jagonya melahirkan tokoh-tokoh berwarna, tidak peduli selemah apa pun penceritaannya. Protagonis kita bernama Tae-ho. Diperankan oleh Song Joong-ki, yang belakangan terus berusaha melepas citra "pretty boy" baik di layar lebar maupun televisi, Tae-ho tidak pernah menyerah mencari puterinya yang hilang di angkasa.

Tae-ho merupakan salah satu kru Victory, sebuah pesawat pengumpul sampah yang dipimpin oleh Kapten Jang (Kim Tae-ri). Sang kapten memberi Tae-ri kesempatan memamerkan pesona lainnya, memerankan sosok pemabuk minim tanggung jawab, tapi dengan kacamata hitam ditambah gestur juga tatapan penuh kepercayaan diri, Kapten Jang menjadi karakter paling keren di sini. Lalu ada Tiger Park (Jin Seon-kyu), mantan bos gangster dengan persona "muka sekuriti hati Hello Kitty", dan sebuah robot bernama Bubs, yang hidup berkat pengisian suara gemilang dari Yoo Hae-jin. Bubs punya daya tarik lain. Di film space opera perdana mereka, Korea Selatan yang identik dengan paham konservatif, nyatanya berani memasukkan karakter yang menentang sekat-sekat gender.

Meski naskahnya tak cukup kreatif untuk bisa menuliskan kalimat-kalimat memorable, seluruh jajaran pemain sanggup menyulap obrolan yang di atas kertas membosankan, jadi sebuah hiburan, tiap kali mereka berinteraksi. Konflik utama hadir tatkala kru Victory menemukan Dorothy (Park Ye-rin), robot humanoid yang walau dari luar nampak bak bocah biasa, dipercaya bisa memicu kehancuran massal. Dorothy menjadi incaran UTS, perusahaan pencipta suaka bagi umat manusia di luar angkasa, yang dimiliki James Sullivan (Richard Armitage). 

Ketika muncul tokoh bocah di film post-apocalyptic, besar kemungkinan ia adalah awal baru bagi kehidupan umat manusia, baik secara metaforikal, atau literal. Dorothy termasuk yang kedua. Dia sanggup membuat bunga (dan segala jenis tumbuhan) mekar dalam sekejap. Semua karena robot nano di tubuh Dorothy berkomunikasi dengan partikel nano lain. Bagaimana bisa? Rupanya para ilmuwan tak bisa menjelaskannya. Dengan kata lain, penulis naskah film ini melakukan simplifikasi terhadap kekuatan Dorothy, yang nantinya bakal sering dipakai sebagai alat menyelesaikan masalah secara mudah.

Terkait spektakel, penyutradaraan Sung-hee masih tergolong mentah. Beberapa kali, caranya mengemas momen-momen wajib space opera, misalnya saat pesawat sang protagonis terbang meliuk-liuk menghindari sampah luar angkasa maupun serangan musuh, menyulitkan penonton untuk memahami apa yang sedang terjadi. Hasilnya, intensitas acap kali gagal mencapai potensi. Tapi Sung-hee mampu mewujudkan tujuan utama Space Sweepers, yakni sajian visual megah. Semuanya megah, entah lanskap luar angkasa dengan segala isinya, hingga kelab malam di mana stan DJ memancarkan sinar elektrik masif. Visi yang sukses terwujud, juga berkat kualitas CGI mumpuni, biarpun bermodalkan angka yang hanya cukup membayar basic salary Robert Downey Jr. di Avengers: Endgame. Saya siap menantikan persembahan besar sinema Korea Selatan berikutnya.



Available on NETFLIX

THE BATTLESHIP ISLAND (2017)

Salah satu adegan The Battleship Island memperlihatkan Kang-ok (Hwang Jung-min) dan puterinya, So-hee (Kim Su-an) bernyanyi sambil menari di tengah gelap malam, hanya diterangi sorot lampu jalan. Ruang dan waktu seolah hanya milik berdua, ayah dan anak yang saling berbagi kasih sayang. Dalam letupan blockbuster, sensitivitas demikian yang menunjukkan kepekaan sutradara bermain rasa keberadaannya makin langka. Ryoo Seung-wan (Veteran, The Berlin File) jelas menyertakan segenap perasaan kala merangkai tiap keping film ini, entah kehangatan drama ayah-anak lewat momen manis dan jenaka, atau semangat membara bak didasari luka masa lalu sebuah bangsa yang belum seutuhnya sembuh.

Judulnya merujuk pada Pulau Hashima, pusat tambang batu bara Jepang yang terletak 15 kilometer dari Nagasaki, dan beroperasi dari 1887 sampai 1974. Bentuknya menyerupai kapal perang, dilengkapi tembok kokoh mengitari pulau. The Battleship Island mengambil masa saat pendudukan Jepang terhadap Korea memasuki babak akhir, tepatnya tahun 1945 jelang Perang Dunia II usai. Ratusan warga Korea dipaksa bekerja di Hashima, diperlakukan tak manusiawi. Tanpa prosedur keamanan, para lelaki hanya mengenakan helm serta kain ala kadarnya yang menutupi bagian bawah tubuh. Ancaman gas bocor dan tambang runtuh enggan dipedulikan. Sedangkan wanita jadi hiburan pemuas nafsu. Dan tidak sedikitpun upah diterima. 
Kang-ok, seorang musisi yang bersama rekan-rekan satu band dan sang puteri, So-hee, berharap mendapat hidup lebih baik di Jepang. Malang, mereka tertipu dan berakhir sebagai budak di Hashima. Ada pula Choi Chil-sung (So Ji-sub) si gangster, lalu Park Moo-young (Song Joong-ki), anggota gerakan kemerdakaan Korea yang mengemban misi menyelamatkan seorang pejuang veteran. Misi Park inilah yang nanti memicu pergolakan besar di Hashima. Walau terinspirasi kondisi nyata, konflik maupun tokoh dalam naskah buatan Ryoo Seung-wan sepenuhnya fiksi. Perlawanan rakyat, peperangan di tengah laut, elemen prison break, semua rekaan. Sebuah skenario "what if" selaku surat cinta bagi masa lalu yang bukan saja berisi empati, pun api perjuangan membara. 

Melalui The Battleship Island Ryoo membuktikan versatilitas sebagai sutradara, khususnya dalam ranah blockbuster paket lengkap yang mampu merasuki beragam ruang emosi penonton: drama menyentuh hati, humor penggelak tawa, aksi bombastis pemacu adrenalin yang juga kaya rasa. Kolaborasi Ryoo bersama sinematografer Lee Mo-gae menghasilkan gambar-gambar sempurna mewakili tiap perasaan dari kehangatan tarian Kang-ok dan So-hee seperti telah dideskripsikan paragraf pembuka, keseraman berbagai siksaan yang diterima rakyat Korea (wanita yang digelindingkan di ranjang paku jadi hal paling menyakitkan), sampai pemandangan menggetarkan saat bendera matahari terbit dibentangkan lalu dirobek. 
Jika Song Joong-ki sebagai Park adalah otak yang pandai berkalkulasi, So Ji-sub melalui machismo kelas satu miliknya merupakan otot, maka Hwang Jung-min dan Kim Su-an adalah hati film ini, perekat ikatan penonton dengan narasi. Bersama keduanya kita tertawa, bersama keduanya kita menangis. Kekuatan terbesar Hwang bersumber dari mata plus senyum yang di satu kesempatan mengekspresikan kekonyolan, lalu di kesempatan berikutnya menyiratkan kasih tulus luar biasa kuat. Begitu pula Kim. Kita akan tergelak menyaksikan bocah 11 tahun ini penuh kekesalan merespon tingkah ayahnya, tapi siapa tidak luluh melihat tangisnya jatuh? 

Tiada momen percuma sepanjang 132 menit durasi roller coaster aneka emosi ini. Ryoo Seung-wan pun piawai membangun atmosfer tak mengenakan hasil suasana kumuh setting hingga kekerasan menyakitkan. Semisal perkelahian di kamar mandi yang amat kasar, brutal, memancing ngilu tiap tubuh membentur lantai keramik. Puncaknya klimaks pertempuran 30 menit terakhir yang enggan berhenti menggedor jantung, menyesakkan dada dari detik ke detik. Kamera bergerak dinamis, bagai terbang bebas mencakup tiap sudut peperangan, musik menghentak gubahan Adam Klemens setia mengiringi, sedangkan naskah Ryoo kerap menyelipkan one liners bernada perjuangan yang sukses membakar hati. Pada titik ini kita telah terkoneksi dengan para tokohnya, alhasil mendapati usaha mati-matian mereka, bahu-membahu bertaruh nyawa demi keselamatan bersama memunculkan dampak emosional yang tak pernah putus sepanjang klimaks bergulir. One of the most epic action sequence in years. The Battleship Island sendiri adalah blockbuster modern sempurna.