Tampilkan postingan dengan label Kyle Chandler. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kyle Chandler. Tampilkan semua postingan

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS (2019)

Godzilla: King of the Monsters adalah produk langka yang berhasil menangkap dualitas monster raksasa melalui caranya menyoroti garis pemisah tipis antara dewa agung sesembahan manusia dan makhluk pembawa kehancuran dunia. Elemen yang direalisasikan oleh sutradara Michael Dougherty (Trick ‘r Treat, Krampus) menggunakan penceritaan visual, menjadikannya suatu pencapaian spesial.

Saya tak ragu menyebut ini sebagai “film monster sempurna”, dan bersedia menyematkan rating lebih tinggi kalau bukan karena ditempatkannya deretan karakter manusia bodoh nan membosankan (beberapa juga menyebalkan) di tengah drama tanpa nyawa. Ada Dr. Emma Russell (Vera Farmiga), ahli paleobiologi sekaligus anggota Monarch, yang tinggal bersama sang puteri, Madison (Millie Bobby Brown), setelah berpisah dengan suaminya, Mark (Kyle Chandler) pasca kematian putera bungsu mereka pada peristiwa lima tahun lalu, tatkala para Titan menampakkan diri untuk kali pertama di hadapan umat manusia. Apabila Vera menjadikan pekerjaan sebagai eskapisme, Mark memilih menenggelamkan diri dalam alkohol.

Emma sedang berusaha mengembangkan teknologi untuk mengontrol Godzilla beserta belasan “Titan” lain yang berhibernasi di berbagai penjuru dunia. Monarch berniat memakai alat buatan Emma guna menjadikan Godzilla rekan, atau “tuan” jika meminjam sebutan Dr. Serizawa (Ken Watanabe). Tapi rencana itu berantakan ketika sekelompok eco-terrorist yang ingin menggunakan alat tersebut guna membangunkan seluruh Titan, berharap hewan-hewan raksasa itu bakal mengembalikan tatanan alam dan menyembuhkan Bumi.

Sederhananya, mereka merencanakan genosida. Serupa rencana Thanos, hanya saja jauh lebih bodoh. Apakah para teroris ini sungguh berpikir monster-monster itu akan berhenti menghancurkan dunia beserta populasi manusia. Pengembangan karakter Emma pun menjadikannya tak kalah bodoh. Dia dimaksudkan menjadi sosok penuh dilema yang tetap memiliki faktor pemancing simpati, bukan ilmuwan gegabah miskin logika. Madison lebih cerdas, tapi naskah buatan Dougherty dan Zach Shields (Krampus) gagal menumbuhkan kedekatan akibat jarang mengajak kita mengunjungi ruang personal karakternya.

Hal penolong dalam alur justru muncul dari mitologi kuno mengenai asal muasal tiap Titan yang sesekali dibahas sebagai selingan. Bukan bentuk pembangunan dunia yang solid apalagi pintar, tapi setidaknya menyenangkan untuk disimak, menghadirkan obrolan lebih berwarna dibanding dramanya. Rasanya seperti mendengar dongeng, namun alih-alih peri bersayap, dongeng satu ini diramaikan oleh naga berkepala tiga, pteranodon bertubuh layaknya bebatuan gunung, dan ngengat raksasa yang bercahaya bak malaikat.

Sekalinya para kaiju bertemu—yang pastinya takkan menampilkan mereka bergandengan tangan dalam harmoni—film ini mempersembahkan kekacauan yang bakal membuat penggemar kaiju bersorak, bahkan bukan mustahil terisak. Berbeda dengan film pertamanya, Godzilla: King of the Monsters lebih royal dan total, sulit membayangkan bagaimana Godzilla vs. Kong, yang bertindak selaku klimaks seri MonsterVerse tahun depan mampu menandinginya.

Sekuen aksinya—diiringi musik bombastis  gubahan Bear McCreary (Step Up 3D, 10 Cloverfield Lane) yang dapat pula memancarkan sense of wonder kala dipakai menggambarkan keagungan monster—masih sering menghindari siraman cahaya matahari, tapi kali ini bukan wujud “kekikiran”, melainkan bertujuan memberi atmosfer apokaliptik. Khususnya saat invasi Monster Zero alias King Ghidorah membuat langit gelap, dinaungi awan hitam pekat, badai ganas, hingga kilatan halilintar. Tambahkan detail kecil seperti pesawat-pesawat yang jatuh bagai hujan api dari langit, Godzilla: King of the Monsters memperlihatkan seperti apa akhir dunia.

Jika King Ghidorah dan Rodan—yang meratakan seisi kota hanya dengan melayang di atasnya setelah beberapa waktu sebelumnya memuntahkan lava dari gunung berapi—mewakili sisi “iblis” monster, maka Godzilla dan Mothra merupakan perlambang dewa. Mothra, dikenal sebagai “Queen of the Monsters”, terbang bersama pendaran cahaya cantik yang otomatis membuat orang-orang tunduk karena dikuasai kekaguman, sedangkan Godzilla “Sang Raja” memaksa semua makhluk berlutut di hadapan kekuatan tanpa tanding miliknya.

Sekuen pertarungannya riuh dan kacau, namun Dougherty memastikan penonton bisa membedakan kekhasan masing-masing monster. Rodan dengan manuver akrobatiknya, Mothra dengan kecepatan dan kaki-kaki runcing yang siap menusuk lawan, sambaran listrik King Ghidorah, hingga hantaman masif Godzilla, bertemu, menciptakan bentrokan brutal di mana kita bisa melihat raksasa terbakar, tercabik, bahkan termutilasi. Kalau anda mencintai monster raksasa, film ini mendekati surga sinema.

GAME NIGHT (2018)

Game Night adalah film yang lucu. Game Night adalah film yang gila. Game Night adalah film yang penuh kejutan. Game Night adalah film yang penuh kejutan gila nan lucu. Berapa komedi high profile Hollywood mampu memenuhi deskripsi di atas? Tidak banyak. Pada era modern—di mana komedi arus utama kerap terlalu malas sementara perwakilan ranah indie yang dielu-elukan terkadang sibuk melontarkan kritik hingga lupa melucu—The Hangover (2009) dan Horrible Bosses (2011) masuk kriteria tersebut. Secara (tidak) kebetulan, duo sutradara Game Night, John Francis Daley dan Jonathan Goldstein, adalah orang-orang di balik terciptanya naskah film yang disebut belakangan.

Max (Jason Bateman) dan Annie (Rachel McAdams) merupakan pasangan suami istri penggila permainan. Keduanya selalu menyikapi permainan secara serius layaknya kompetisi, termasuk saat menggelar game night yang dilakukan tiap akhir minggu bersama beberapa sahabat. Tapi malam permainan kali ini berbeda. Brooks (Kyle Chandler), saudara kandung Max yang lebih tampan juga kaya—superioritas itu membuat Max tertekan sampai kualitas spermanya menurun—tengah berkunjung lalu mengusulkan untuk meningkatkan tantangan permainan. Rupanya ada perusahaan yang menawarkan jasa permainan peran interaktif bertema misteri.
Saya selalu bersemangat dan sedikit intens kala memainkan cluedo, jadi saya tak sulit membayangkan antusiasme para tokohnya saat permainan serupa (seolah) dibawa ke dunia nyata. Begitu antusias, mereka tidak menyadari saat penculikan sungguhan terjadi di depan mata, mengira itu bagian dari skenario semata. Filmnya sendiri butuh waktu guna merambat naik, tapi sekalinya menghentak Game Night enggan menginjak pedal rem dan saya pun enggan malam permainan ini cepat berakhir.

Balutan komedi hitamnya digelar total tanpa menahan diri, sehingga cipratan darah maupun kematian brutal pun membentuk situasi menggelitik. Salah satu peristiwa berdarah adalah ketika Annie tidak sengaja menembak tangan Max. Berbekal peralatan seadanya—namun berharga mahal—yang ia beli di minimarket, Annie berusaha merawat luka sang suami. Komedi medioker hanya bakal memakai ekspresi kesakitan dan jijik aktornya. Game Night, berbekal kreativitas pembuatnya, turut memanfaatkan suara decit mainan. Saya takkan mengungkap detail, intinya film ini memadukan beragam elemen untuk memancing kelucuan, termasuk tata suara, baik bersumber dari properti atau pemain.
Komedi verbal, lelucon bertabur referensi, slapstick, visual gag, silahkan pilih. Film ini punya semuanya. Daley dan Goldstein cerdik menempatkan timing pula memilih shot penguat komedi. Mereka tahu kapan kesunyian mendadak selaku punchline mesti muncul, juga sudut kamera seperti apa untuk membungkus kesunyian tersebut. Saya sibuk menghadapi serbuan tawa sampai tidak sempat menduga twist yang tiba-tiba menyergap. Game Night memang penuh kejutan, baik terkait alur, comic timing, perilaku karakter yang menghasilkan situasi lucu nan bodoh tak terduga, hingga unsur-unsur kreatif lain termasuk balutan aksi yang di luar dugaan tampil seru. Bahkan Liam Neeson takkan sanggup men-tackle pesawat serapi Max dan Annie.

Jason Bateman dan Rachel McAdams menjalin chemistry solid, saling mengisi, saling menimpali lelucon.  Bateman lucu, tapi menyaksikan McAdams, sebagai sosok yang sepanjang karirnya lebih jarang berperan dalam kekonyolan komedi, justru lebih menyenangkan dan menyegarkan. Menari-nari sembari memainkan pistol, memamerkan keterkejutan dengan level “telepon genggam ketinggalan” ketika menyaksikan seseorang tewas dengan butal tersedot jet pesawat, McAdams jelas tampak bersenang-senang. Begitu juga saya.