Tampilkan postingan dengan label Vera Farmiga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Vera Farmiga. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE CONJURING: THE DEVIL MADE ME DO IT

James Wan membuat Saw, yang akhirnya menjadi waralaba menguntungkan, meski tanpanya di kursi penyutradaraan, kualitas sekuelnya cenderung menurun. James Wan membuat Insidiousyang akhirnya menjadi waralaba menguntungkan, meski tanpanya di kursi penyutradaraan, kualitas sekuelnya cenderung menurun. Pasti anda sudah memahami polanya.

The Conjuring pun serupa. Deretan spin-off-nya (kecuali Annabelle: Creation yang brilian) gagal menyamai pencapaian dua installment seri utamanya, yang masuk di jajaran horor modern paling mengesankan. Tapi kini tiba waktunya Wan melepas ciptaannya (lagi). Michael Chaves (The Curse of La Llorona), sementara Wan sibuk menyiapkan Malignant (rilis bulan September), yang bisa saja mengawali lahirnya waralaba baru. Sejarah pun terulang lagi, sebagaimana paragraf pembuka tulisan ini.

Wan "cuma" mendapat kredit "story by", untuk naskah buatan David Leslie Johnson-McGoldrick (The Conjuring 2, Aquaman), yang kembali mengangkat salah satu pengalaman mistis Ed Warren (Patrick Wilson) dan Lorraine Warren (Vera Farmiga). Tepatnya pembunuhan yang dikenal sebagai kasus "Devil Made Me Do It" yang terjadi pada 1981, di mana sang tersangka, Arne Cheyenne Johnson (Ruairi O'Connor), mengaku berada di bawah kendali setan kala membunuh. Sejarah mencatat, itulah kali pertama di pengadilan Amerika Serikat, alasan "kerasukan setan" dipakai tersangka guna menyangkal segala tuduhan.

Di awal, kita mengetahui bahwa yang kerasukan adalah David (Julian Hilliard), adik dari kekasih Arne, Debbie (Sarah Catherine Hook). Ed dan Lorraine melakukan pengusiran setan, yang malah berujung kekacauan, tatkala setan berpindah ke tubuh Arne. Berikutnya seperti sudah ditulis di atas, Arne melakukan pembunuhan, menyangkal dengan alasan kerasukan, sedangkan Ed dan Lorraine menjalankan investigasi guna membuktikan eksistensi setan di pengadilan.

Meski filmnya tidak lebih banyak menerapkan unsur courtroom drama (proses pembuktian hal mistis di depan hakim dan juri terdengar menarik), naskah karya Johnson-McGoldrick masih punya cukup amunisi berupa penyelidikan suami-istri Warren, supaya 112 menit durasinya bukan sebatas kompilasi jump scare. The Conjuring: The Devil Made Me Do It benar-benar mempunyai cerita. Ada misteri yang mampu menjaga atensi penonton, meski kemudian, semakin jauh bergulir, alurnya semakin hilang arah. Perihal pembuktian kalau Arne tidak bersalah seolah dilupakan, sepenuhnya beralih ke pola generik tentang "mengalahkan kekuatan jahat demi menyelamatkan nyawa seseorang".

Perubahan terbesar film ini dibanding dua pendahulunya justru terletak pada cara melempar teror. Seperti biasa, tiap seri The Conjuring selalu melabeli diri sebagai "kasus terseram dan/atau paling berbahaya yang pernah Ed dan Lorraine hadapi". Kali ini, pernyataan tersebut bukan hiperbola semata, sebab secara esensi, memang betul. Karena di sini, lawan utama mereka adalah manusia, dan kejahatan manusia dapat lebih berbahaya dibanding setan mana pun. 

Itu pula mengapa tidak muncul figur hantu ikonik seperti sebelumnya. Terornya mengutamakan "apa yang dilakukan" ketimbang "siapa". Apakah hasilnya lebih mengerikan? Sayangnya tidak. Level Chaves masih jauh di bawah Wan. Beberapa jump scare cukup mengejutkan, namun tak sampai benar-benar menggedor jantung. Penyebabnya tak lain desain set piece yang berantakan. Entah terlalu gelap, amera bergoyang terlampau kencang, atau kekacauan dalam kontinuitas sebuah sekuen. Bukannya takut, saya lebih sering dibuat kebingungan mencerna suatu peristiwa. Begitu pula soal build-up. Chaves belum begitu piawai membangun antisipasi penonton.

Minimal Chaves mempresentasikan adegan eksorsis dengan solid (walau rekaman suara pengusiran setan nyata yang dilakukan Ed dan Lorraine, yang diperdengarkan saat kredit, lebih menyeramkan). Intensitas mampu dijaga, sembari karakternya melakukan gerakan-gerakan "tidak manusiawi", yang mana merupakan kekhasan film bertema eksorsis. Tidak lupa, Chaves menyelipkan beberapa nod untuk The Exorcist (1973).

The Conjuring: The Devil Made Me Do It mempertahankan spirit yang diletakkan film kedua (dan berlanjut di Annabelle Comes Home), yakni romansa Ed dan Lorraine. Baik motivasi maupun resolusi yang diambil, didasari cinta keduanya. Kualitas teror boleh mengalami penurunan, namun keberhasilan menjaga semangat dasar tersebut, menjaga film ketiga ini dari kerusakan total. Biarpun tanpa Wan di kursi sutradara, kita mesti was-was menantikan kelanjutan seri ini. 

ANNABELLE COMES HOME (2019)

Kita sudah melihat asal-usul boneka Annabelle di film pertama yang hancur lebur, lalu mempelajari asal-usul dari asal-usul tersebut melalui keseruan Anabelle: Creation. Masih adakah cerita tersisa untuk dituturkan? Jawabannya “tidak”. Annabelle Comes Home yang membawa kita kembali ke zaman modern membuktikan itu, dengan nyaris sepenuhnya mengesampingkan plot demi deretan set pieces horor, yang untungnya, lumayan solid walau kurang berkesan.

“Annabelle adalah suar bagi para roh”, demikian ucap Lorraine (Vera Farmiga) kepada sang suami, Ed (Patrick Wilson), sebelum mengurung si boneka di balik kotak kaca suci, yang menandakan bahwa film ini mengambil latar segera setelah adegan pembuka The Conjuring. Kalimat Lorraine menjadi pondasi sutradara sekaligus penulis naskah Gary Dauberman dalam menggerakkan filmnya. Sehingga, begitu Annabelle keluar dari kurungannya, ada alasan mengapa barisan monster ikut berseliweran. Trik sederhana, dangkal, namun cukup cerdik.

Tapi siapa yang cukup bodoh untuk berinisiatif mengeluarkan Annabelle? Semua berawal saat Ed dan Lorraine mesti meninggalkan sang puteri, Judy (Mckenna Grace) di bawah pengawasan Mary Ellen (Madison Iseman), selama mereka bekerja di luar kota. Ikut hadir pula Daniela (Katie Sarife), sahabat Mary yang menyimpan penasaran besar terhadap aktivitas supernatural Keluarga Warren. Ya, Daniela bertanggung jawab atas terlepasnya Annabelle bersama lusinan roh jahat lain.

Tanpa menjustifikasi atau mengurangi tingkat kebodohannya, tindakan Daniela itu bisa dipahami ketika Dauberman menyelipkan latar belakang tragis pada karakternya, yang berpotensi menginjeksi elemen drama menyentuh andai Daniela diposisikan sebagai tokoh utama tunggal. Setidaknya berdua bersama Judy yang jadi korban perisakan karena profesi orang tuanya. Sementara Mary urung diberikan porsi memadai.

Begitu Annabelle menghilang dari kotaknya, demikian pula plot film ini. Set piece demi set piece saling menyusul atau hadir secara simultan dalam konsep yang mengingatkan kepada seri film Goosebumps ketika monster-monster “koleksi” tokoh utamanya kabur dan menebar teror (trivia: Madison Iseman bermain di Goosebumps 2: Haunted Halloween). Ada hantu pengantin yang mengayunkan pisau, iblis bertanduk, manusia serigala, hingga The Ferryman yang terinspirasi sosok Charon dari mitologi Yunani.

Memiliki desain menarik, saya yakin jajaran monster baru di atas bakal kesulitan menandingi status ikonik seniornya seperti Valak dan tentunya Annabelle. Penyebabnya sederhana, yaitu kemunculan ala kadarnya. Beberapa jump scare—yang muncul menyusul build up yang kerap terlampau lama—memang efektif meningkatkan denyut jantung sesaat, namun miskin kreativitas, sebatas menampakkan wajah hantu secara tiba-tiba.

Kurangnya kreativitas turut menciptakan antiklimaks di momen puncak tatkala Annabelle Comes Home gagal memanfaatkan banyaknya jumlah hantu. Bahkan teror si boneka terkutuk ditutup dengan cara yang malas. Tapi saya percaya Dauberman menyimpan banyak ide cemerlang (jangan lupa, dialah penulis Annabelle: Creation dan It). Terbukti, sewaktu dipaksa memutar otak lebih keras guna menampilkan teror tanpa penampakan, beberapa situasi menarik berhasil diproduksi, misalnya momen menegangkan yang melibatkan layar televisi.

Annabelle Comes Home tidak seseram, seseru, maupun selucu Creation, tapi memiliki paparan drama yang meski kecil, cukup baik perihal menggerakkan rasa. Berkat penokohan likeable ditambah penampilan solid khususnya dari Mckenna Grace, Katie Sarife, dan Vera Farmiga yang mumpuni menghantarkan emosi, kalimat-kalimat singkat (“Life goes on, somehow”, “He was the boyfriend”, etc.) bisa terkesan hangat, pedih, manis, pahit. Beraneka rasa.

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS (2019)

Godzilla: King of the Monsters adalah produk langka yang berhasil menangkap dualitas monster raksasa melalui caranya menyoroti garis pemisah tipis antara dewa agung sesembahan manusia dan makhluk pembawa kehancuran dunia. Elemen yang direalisasikan oleh sutradara Michael Dougherty (Trick ‘r Treat, Krampus) menggunakan penceritaan visual, menjadikannya suatu pencapaian spesial.

Saya tak ragu menyebut ini sebagai “film monster sempurna”, dan bersedia menyematkan rating lebih tinggi kalau bukan karena ditempatkannya deretan karakter manusia bodoh nan membosankan (beberapa juga menyebalkan) di tengah drama tanpa nyawa. Ada Dr. Emma Russell (Vera Farmiga), ahli paleobiologi sekaligus anggota Monarch, yang tinggal bersama sang puteri, Madison (Millie Bobby Brown), setelah berpisah dengan suaminya, Mark (Kyle Chandler) pasca kematian putera bungsu mereka pada peristiwa lima tahun lalu, tatkala para Titan menampakkan diri untuk kali pertama di hadapan umat manusia. Apabila Vera menjadikan pekerjaan sebagai eskapisme, Mark memilih menenggelamkan diri dalam alkohol.

Emma sedang berusaha mengembangkan teknologi untuk mengontrol Godzilla beserta belasan “Titan” lain yang berhibernasi di berbagai penjuru dunia. Monarch berniat memakai alat buatan Emma guna menjadikan Godzilla rekan, atau “tuan” jika meminjam sebutan Dr. Serizawa (Ken Watanabe). Tapi rencana itu berantakan ketika sekelompok eco-terrorist yang ingin menggunakan alat tersebut guna membangunkan seluruh Titan, berharap hewan-hewan raksasa itu bakal mengembalikan tatanan alam dan menyembuhkan Bumi.

Sederhananya, mereka merencanakan genosida. Serupa rencana Thanos, hanya saja jauh lebih bodoh. Apakah para teroris ini sungguh berpikir monster-monster itu akan berhenti menghancurkan dunia beserta populasi manusia. Pengembangan karakter Emma pun menjadikannya tak kalah bodoh. Dia dimaksudkan menjadi sosok penuh dilema yang tetap memiliki faktor pemancing simpati, bukan ilmuwan gegabah miskin logika. Madison lebih cerdas, tapi naskah buatan Dougherty dan Zach Shields (Krampus) gagal menumbuhkan kedekatan akibat jarang mengajak kita mengunjungi ruang personal karakternya.

Hal penolong dalam alur justru muncul dari mitologi kuno mengenai asal muasal tiap Titan yang sesekali dibahas sebagai selingan. Bukan bentuk pembangunan dunia yang solid apalagi pintar, tapi setidaknya menyenangkan untuk disimak, menghadirkan obrolan lebih berwarna dibanding dramanya. Rasanya seperti mendengar dongeng, namun alih-alih peri bersayap, dongeng satu ini diramaikan oleh naga berkepala tiga, pteranodon bertubuh layaknya bebatuan gunung, dan ngengat raksasa yang bercahaya bak malaikat.

Sekalinya para kaiju bertemu—yang pastinya takkan menampilkan mereka bergandengan tangan dalam harmoni—film ini mempersembahkan kekacauan yang bakal membuat penggemar kaiju bersorak, bahkan bukan mustahil terisak. Berbeda dengan film pertamanya, Godzilla: King of the Monsters lebih royal dan total, sulit membayangkan bagaimana Godzilla vs. Kong, yang bertindak selaku klimaks seri MonsterVerse tahun depan mampu menandinginya.

Sekuen aksinya—diiringi musik bombastis  gubahan Bear McCreary (Step Up 3D, 10 Cloverfield Lane) yang dapat pula memancarkan sense of wonder kala dipakai menggambarkan keagungan monster—masih sering menghindari siraman cahaya matahari, tapi kali ini bukan wujud “kekikiran”, melainkan bertujuan memberi atmosfer apokaliptik. Khususnya saat invasi Monster Zero alias King Ghidorah membuat langit gelap, dinaungi awan hitam pekat, badai ganas, hingga kilatan halilintar. Tambahkan detail kecil seperti pesawat-pesawat yang jatuh bagai hujan api dari langit, Godzilla: King of the Monsters memperlihatkan seperti apa akhir dunia.

Jika King Ghidorah dan Rodan—yang meratakan seisi kota hanya dengan melayang di atasnya setelah beberapa waktu sebelumnya memuntahkan lava dari gunung berapi—mewakili sisi “iblis” monster, maka Godzilla dan Mothra merupakan perlambang dewa. Mothra, dikenal sebagai “Queen of the Monsters”, terbang bersama pendaran cahaya cantik yang otomatis membuat orang-orang tunduk karena dikuasai kekaguman, sedangkan Godzilla “Sang Raja” memaksa semua makhluk berlutut di hadapan kekuatan tanpa tanding miliknya.

Sekuen pertarungannya riuh dan kacau, namun Dougherty memastikan penonton bisa membedakan kekhasan masing-masing monster. Rodan dengan manuver akrobatiknya, Mothra dengan kecepatan dan kaki-kaki runcing yang siap menusuk lawan, sambaran listrik King Ghidorah, hingga hantaman masif Godzilla, bertemu, menciptakan bentrokan brutal di mana kita bisa melihat raksasa terbakar, tercabik, bahkan termutilasi. Kalau anda mencintai monster raksasa, film ini mendekati surga sinema.

THE COMMUTER (2018)

Sebagai whodunit, The Commuter punya destinasi yang telah nampak bahkan sebelum karakter utamanya melangkahkan kaki memasuki kereta menuju perjalanan panjang yang memaksanya berpacu dengan waktu. Kita cuma perlu memberi sedikit perhatian terhadap detail remeh sambil memasang kecurigaan. Tapi whodunit bukan melulu soal twist mengejutkan. Proses yang mengandung unsur “5W 1H” merupakan komponen penting, kalau bukan yang terpenting. Sayangnya, itu pun gagal dipenuhi oleh film kolaborasi keempat Liam Neeson dan sutradara Jaume Collet-Serra ini.

Neeson memerankan Michael MacCauley, karyawan perusahaan asuransi jiwa yang rutin menaiki kereta saat berangkat dan pulang kerja. Alhasil, ia pun mengenal beberapa orang sesama komuter, begitu pula sebaliknya. Tentu ia bukan pria tua sembarangan. Michael adalah mantan polisi. Sang aktor masih bisa diandalkan menjadi action hero. Fisiknya mungkin tak lagi prima melakoni adegan perkelahian, namun wibawanya membuat penonton percaya Neeson bisa melakukan semuanya. Malang bagi Michael, ketangguhan yang dimiliki tak kuasa menghindarkannya dari pemecatan.
Di tengah perjalanan pulang, tatkala rasa gamang karena mesti menceritakan pemecatan itu pada istrinya ketika tanggungan membayar iuran kuliah putera mereka sedang menghantui, Michael didatangi oleh Joanna (Vera Farmiga). Joanna menawarkan $100 ribu untuk Michael, asalkan ia bersedia memakai pengetahuannya tentang para komuter guna mencari sosok misterius bernama Prynne yang tak semestinya berada di atas kereta. Kenapa harus Michael? The Commuter menawarkan jawaban yang sekilas masuk akal tapi jika ditilik lebih lanjut, meninggalkan kejanggalan.

Kalau saya memiliki cukup uang, akses, dan kekuasaan untuk mengendalikan aparat dan menyabotase kereta, takkan sulit melenyapkan apalagi menemukan seseorang. Tidak perlu repot-repot menempuh langkah kompleks yang peluang keberhasilannya tak seberapa. Collet-Serra jelas mengidolakan Alfred Hitchcock. Sejak Unknown, filmnya melibatkan unsur teror ruang sempit, identitas rahasia, atau karakter “wrong man in the wrong place”. Di berbagai film tersebut Collet-Serra bekerja sama dengan penulis berlainan, kecuali Ryan Engle yang menulis The Commuter dan Non-Stop. Lalu bagaimana bisa seluruhnya menyimpan permasalahan serupa? Rasanya kalimat “jodoh tidak ke mana” memang benar adanya.
Karya sang sutradara acap kali lemah di konklusi. Seperti The Shallow, The Commuter melompat menuju klimaks bombastis pasca menghabiskan durasi membangun misteri. Tidak keliru. Collet-Serra hendak membuat Hitchcockian modern yang menggabungkan misteri dan aksi dahsyat. Tapi klimaks The Commuter, yang menerapkan CGI berkualitas medioker, urung menyimpan ketegangan. Penonton urung diajak merasakan kecemasan layaknya sebuah momen sewaktu Michael nyaris terlindas kereta api. Adegan tersebut efektif, karena memberi penekanan akan bahaya yang dialami si tokoh, sedangkan klimaksnya lalai. 

Skenario milik Byron Willinger, Philip de Blasi, dan Ryan Engle kurang mumpuni membagi fase, kapan mesti menebar pertanyaan, kapan mesti membagi jawaban sedikit demi sedikit. Naskahnya menggantungkan tanda tanya untuk penonton jawab tanpa memiliki teka-teki menarik untuk memancing antusiasme mencari jawaban.  Jaume Collet-Serra jelas diberkahi visi memadahi dalam hal meramu aksi. Dia hanya harus mencari pasangan penulis naskah yang tepat.