Tampilkan postingan dengan label Millie Bobby Brown. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Millie Bobby Brown. Tampilkan semua postingan

REVIEW - GODZILLA VS. KONG

Godzilla vs. Kong punya segala plus-minus film kaiju modern, dengan keunggulan terbesarnya adalah keberhasilan memenuhi janji yang telah diutarakan sejak 2014, ketika Godzilla membuka waralaba MonsterVerse. Janji bahwa, tatkala mayoritas film berlabel "versus" cenderung ragu memberi jawaban definitif, kedua monster ini bakal saling baku hantam hingga muncul satu pemenang. Well, sort of. Konklusinya tetap mencoba bersikap adil, tapi paling tidak, setelah melalui 103 menit durasinya, anda bisa menjawab pertanyaan soal siapa yang lebih kuat di antara Godzilla dan Kong.

Kenapa Kong tidak terlibat di Godzilla: King of the Monsters (2019), padahal seperti judulnya, di situ terjadi pertarungan besar yang menentukan siapa raja para monster? Rupanya Dr. Ilene Andrews (Rebecca Hall) beserta tim, menyembunyikan Kong di suatu ekosistem buatan, guna melindunginya dari serangan Godzilla. Dr. Ilene mempunyai puteri angkat bernama Jia (Kaylee Hottle), penduduk asli Skull Island yang menjadi yatim piatu pasca bencana alam merenggut nyawa orang tuanya. Timbul ikatan batin antara Kong dan Jia, yang memungkinkannya berkomunikasi dengan sang monster. 

Sementara, setelah tiga tahun, Godzilla mendadak melancarkan serangan kepada manusia, yang membuat CEO Apex (perusahaan yang mengkhususkan diri pada "masalah Titan"), Walter Simmons (Demián Bichir), mengirim geolog Monarch, Dr. Nathan Lind (Alexander Skarsgård), mencari lokasi asal para Titan, yang dipercaya menyimpan sumber tenaga untuk melindungi umat manusia dari Godzilla. 

Jika ada satu janji yang gagal dipenuhi, itu adalah pemberian fokus mutlak kepada monster. Sebab lagi-lagi, jajaran karakter manusia membosankan, lebih mendominasi. Bahkan naskah buatan Eric Pearson (Thor: Ragnarok, Black Widow) dan Max Borenstein (Godzilla, Kong: Skull Island) memaksa memberi porsi bagi Madison (Millie Bobby Brown), dengan alasan, sebagai advokat yang berjuang membersihkan nama baik Godzilla. Yeah, sure. Like Godzilla cares about his reputation. 

Betul bahwa penonton perlu memahami alasan Godzilla kembali berubah dari pelindung menjadi ancaman bagi manusia. Tapi peran itu bisa diberikan pada karakter lain (yang jumlahnya sudah cukup banyak), alih-alih menambah subplot tak substansial, yang makin melemahkan intensitas film ketika adu jotos dua monster tengah absen. Selain tidak penting, Madison, bersama temannya, Josh (Julian Dennison), dan Bernie (Brian Tyree Henry), podcaster khusus konspirasi teori soal Titan, juga jadi alasan puncak pertarungan berakhir prematur, pula sedikit antiklimaks. 

Daripada mencari alasan agar para manusia punya tugas untuk dilakukan, mengapa tidak meluangkan waktu mengeksplorasi mitologi saja? Di pertengahan cerita, filmnya sempat membawa kita dalam petualangan menuju "sisi lain bumi". Menuju dunia dengan desain visual fantastis nan imajinatif tempat Titan berasal. Sayangnya perjalanan itu berakhir mengecewakan, karena tak sedikitpun menjabarkan mitologi mengenai Titan. Ya, Pearson dan Borenstein merasa perlu menambah subplot tentang usaha membersihkan nama baik Godzilla, namun tidak dengan legenda menarik seputar monster-monsternya.

Walau perbaikan naskah dapat mengangkat kualitas keseluruhan film, Godzilla vs. Kong bakal baik-baik saja selama adegan aksinya memuaskan. Di sinilah Adam Wingard, selepas kegagalan beruntun di Blair Witch (2016) dan Death Note (2017), sukses mengembalikan reputasi sebagai salah satu sutradara Hollywood paling menjanjikan. Biarpun Godzilla dan Kong baru beradu sewaktu durasi menginjak sekitar 40 menit, pun jika ditotal cuma ada tiga sekuen aksi masif (sekuen ketiga selaku klimaks sejatinya perpanjangan sekuen kedua), eksekusi Wingard membuatnya amat memuaskan.

Diiringi musik bombastis gubahan Junkie XL, segala macam metode pertarungan dikerahkan oleh Wingard, baik tangan kosong maupun memakai senjata (termasuk atomic breath milik Godzilla). Meski menyajikan pertempuran antar raksasa, kameranya bergerak dinamis, ditambah beberapa penempatan unik. Misalnya saat kamera ditaruh di kokpit pesawat yang sedang lepas landas, sementara di belakangnya, Kong nampak beraksi, memberi kesan imersif, seolah penonton berada di tengah medan laga. 

Godzilla vs. Kong juga mampu menengahi preferensi penonton mengenai latar waktu. Ada yang menyukai siang hari karena semua detail pertarungan terlihat, ada pula yang memilih malam gelap demi kesan apocalyptic. Film ini memiliki keduanya. Bahkan klimaksnya berlangsung di kedua latar waktu. Seperti sempat saya singgung di atas, momen puncaknya berakhir prematur dan sedikit antiklimaks (entah kenapa kedua penulis merasa perlu "membantu" mengakhiri pertarungan), tapi tak menutup fakta bahwa Wingard mampu melahirkan salah satu "threesome" (ya, bukan cuma melibatkan dua monster) paling epik di layar lebar.


Available on HBO MAX & CINEMAS

REVIEW - ENOLA HOLMES

Women are never to be entirely trusted—not the best of them”, ucap Sherlock Holmes dalam novel The Sign of the Four (1890). Tidak perlu riset mendalam untuk menyimpulkan bahwa Sherlock bukan pembela kesetaraan. Bagaimana jadinya, jika ia memiliki adik perempuan yang mewarisi pemikiran feminisme ibu mereka, pula tidak kalah dalam urusan deduksi dibanding sang detektif ternama? Gagasan menarik itu mendasari Enola Holmes, yang mengadaptasi seri novel The Enola Holmes Mysteries (tepatnya buku pertama, The Case of the Missing Marquess) karya Nancy Springer.

Seperti namanya yang merupakan kebalikan dari kata “alone”, Enola (Millie Bobby Brown) tumbuh seorang diri, sementara kedua kakaknya, Mycroft (Sam Claflin) dan Sherlock (Henry Cavill) telah angkat nama dalam karir masing-masing. Ibunya yang eksentrik, Eudoria (Helena Bonham Carter), mengajari Enola untuk hidup mandiri, membekalinya dengan segala ilmu, baik pengetahuan dari buku-buku maupun latihan bela diri. Hingga tepat di ulang tahunnya yang ke-16, Enola mendapati sang ibu menghilang.

Niat Enola mencari ibunya menemui rintangan saat kedua kakaknya pulang, khususnya dari kengototan Mycroft untuk mengirimnya ke sekolah kepribadian, agar Enola menjadi “wanita bermartabat” sehingga mudah mencari suami. Bagaimana dengan Sherlock? Dibanding dua perwujudan terbaru yang paling dikenal publik (versi Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch), Sherlock milik Henry Cavill cenderung hangat, ramah, berpikiran lebih terbuka soal gender, dan less-psychotic. Beberapa kali ia membela, bahkan menolong Enola. Bukan sosok Sherlock terbaik, dengan penggambaran yang disederhanakan, namun jelas paling cocok bagi target pasar young adult film ini.

Naskah buatan Jack Thorne (Wonder, The Secret Garden) mengandung formula-formula pokok (baca: keklisean) film bertema empowerment dari arus utama: protagonis wanita yang ingin bebas sehingga dianggap liar, pria kolot yang meyakini kalau wanita harus penuh sopan santum sekaligus menganggap feminisme merupakan bentuk kegilaan, tokoh wanita yang turut melanggengkan pola pikir kuno tersebut, hingga benih romansa yang melibatkan pria pendukung kesetaraan gender. Pria itu adalah seorang Viscount Tewkesbury muda (Louis Partridge) yang kabur dari rumah.

Selain mencari keberadaan ibunya, kini Enola juga harus melindungi Tewkesbury dari kejaran pembunuh (Burn Gorman) yang entah dikirim oleh siapa. Terciptalah kisah mengenai proses remaja perempuan mengenal kerasnya dunia luar, dan mesti berjuang dengan menerapkan segala yang ibunya ajarkan. Sebuah drama keluarga, sebuah kisah dua perempuan.

Lega rasanya melihat Millie Bobby Brown (juga menjadi salah satu produser film ini) tak terjebak dalam stereotip perannya di Stranger Things. Penampilannya bertenaga, menggelitik sebagai karakter yang kerap “menembus dinding keempat”, juga meyakinkan sebagai detektif cerdas. Kecerdasan yang bukan cuma berlaku di urusan memecahkan misteri, pula membuatnya mampu mengubah simbol-simbol seksisme menjadi hal yang menguntungkannya.

Perjalanan Enola mengumpulkan keping-keping petunjuk (mayoritas berbentuk permainan kata) menyenangkan diikuti, apalagi ketika Harry Bradbeer, yang melakoni debut penyutradaraannya, menerapkan beberapa gaya visual unik. Menghibur. Setidaknya di paruh pertama, sebelum filmnya kehilangan sense of urgency memasuki pertengahan durasi. Tanpa kejutan, dan seiring berjalannya waktu, jumlah pertanyaan yang memancing rasa penasaran makin berkurang. Enola berhasil mengungguli semua orang, baik laki-laki atau perempuan. Tapi apakah ia sungguh-sungguh memecahkan kasusnya? Jawabannya “tidak”. Alhasil, biarpun menyajikan petualangan menyenangkan selaku pembuka franchise potensial, elemen empowering milik Enola Holmes tak begitu memuaskan.


Available on NETFLIX

GODZILLA: KING OF THE MONSTERS (2019)

Godzilla: King of the Monsters adalah produk langka yang berhasil menangkap dualitas monster raksasa melalui caranya menyoroti garis pemisah tipis antara dewa agung sesembahan manusia dan makhluk pembawa kehancuran dunia. Elemen yang direalisasikan oleh sutradara Michael Dougherty (Trick ‘r Treat, Krampus) menggunakan penceritaan visual, menjadikannya suatu pencapaian spesial.

Saya tak ragu menyebut ini sebagai “film monster sempurna”, dan bersedia menyematkan rating lebih tinggi kalau bukan karena ditempatkannya deretan karakter manusia bodoh nan membosankan (beberapa juga menyebalkan) di tengah drama tanpa nyawa. Ada Dr. Emma Russell (Vera Farmiga), ahli paleobiologi sekaligus anggota Monarch, yang tinggal bersama sang puteri, Madison (Millie Bobby Brown), setelah berpisah dengan suaminya, Mark (Kyle Chandler) pasca kematian putera bungsu mereka pada peristiwa lima tahun lalu, tatkala para Titan menampakkan diri untuk kali pertama di hadapan umat manusia. Apabila Vera menjadikan pekerjaan sebagai eskapisme, Mark memilih menenggelamkan diri dalam alkohol.

Emma sedang berusaha mengembangkan teknologi untuk mengontrol Godzilla beserta belasan “Titan” lain yang berhibernasi di berbagai penjuru dunia. Monarch berniat memakai alat buatan Emma guna menjadikan Godzilla rekan, atau “tuan” jika meminjam sebutan Dr. Serizawa (Ken Watanabe). Tapi rencana itu berantakan ketika sekelompok eco-terrorist yang ingin menggunakan alat tersebut guna membangunkan seluruh Titan, berharap hewan-hewan raksasa itu bakal mengembalikan tatanan alam dan menyembuhkan Bumi.

Sederhananya, mereka merencanakan genosida. Serupa rencana Thanos, hanya saja jauh lebih bodoh. Apakah para teroris ini sungguh berpikir monster-monster itu akan berhenti menghancurkan dunia beserta populasi manusia. Pengembangan karakter Emma pun menjadikannya tak kalah bodoh. Dia dimaksudkan menjadi sosok penuh dilema yang tetap memiliki faktor pemancing simpati, bukan ilmuwan gegabah miskin logika. Madison lebih cerdas, tapi naskah buatan Dougherty dan Zach Shields (Krampus) gagal menumbuhkan kedekatan akibat jarang mengajak kita mengunjungi ruang personal karakternya.

Hal penolong dalam alur justru muncul dari mitologi kuno mengenai asal muasal tiap Titan yang sesekali dibahas sebagai selingan. Bukan bentuk pembangunan dunia yang solid apalagi pintar, tapi setidaknya menyenangkan untuk disimak, menghadirkan obrolan lebih berwarna dibanding dramanya. Rasanya seperti mendengar dongeng, namun alih-alih peri bersayap, dongeng satu ini diramaikan oleh naga berkepala tiga, pteranodon bertubuh layaknya bebatuan gunung, dan ngengat raksasa yang bercahaya bak malaikat.

Sekalinya para kaiju bertemu—yang pastinya takkan menampilkan mereka bergandengan tangan dalam harmoni—film ini mempersembahkan kekacauan yang bakal membuat penggemar kaiju bersorak, bahkan bukan mustahil terisak. Berbeda dengan film pertamanya, Godzilla: King of the Monsters lebih royal dan total, sulit membayangkan bagaimana Godzilla vs. Kong, yang bertindak selaku klimaks seri MonsterVerse tahun depan mampu menandinginya.

Sekuen aksinya—diiringi musik bombastis  gubahan Bear McCreary (Step Up 3D, 10 Cloverfield Lane) yang dapat pula memancarkan sense of wonder kala dipakai menggambarkan keagungan monster—masih sering menghindari siraman cahaya matahari, tapi kali ini bukan wujud “kekikiran”, melainkan bertujuan memberi atmosfer apokaliptik. Khususnya saat invasi Monster Zero alias King Ghidorah membuat langit gelap, dinaungi awan hitam pekat, badai ganas, hingga kilatan halilintar. Tambahkan detail kecil seperti pesawat-pesawat yang jatuh bagai hujan api dari langit, Godzilla: King of the Monsters memperlihatkan seperti apa akhir dunia.

Jika King Ghidorah dan Rodan—yang meratakan seisi kota hanya dengan melayang di atasnya setelah beberapa waktu sebelumnya memuntahkan lava dari gunung berapi—mewakili sisi “iblis” monster, maka Godzilla dan Mothra merupakan perlambang dewa. Mothra, dikenal sebagai “Queen of the Monsters”, terbang bersama pendaran cahaya cantik yang otomatis membuat orang-orang tunduk karena dikuasai kekaguman, sedangkan Godzilla “Sang Raja” memaksa semua makhluk berlutut di hadapan kekuatan tanpa tanding miliknya.

Sekuen pertarungannya riuh dan kacau, namun Dougherty memastikan penonton bisa membedakan kekhasan masing-masing monster. Rodan dengan manuver akrobatiknya, Mothra dengan kecepatan dan kaki-kaki runcing yang siap menusuk lawan, sambaran listrik King Ghidorah, hingga hantaman masif Godzilla, bertemu, menciptakan bentrokan brutal di mana kita bisa melihat raksasa terbakar, tercabik, bahkan termutilasi. Kalau anda mencintai monster raksasa, film ini mendekati surga sinema.