Tampilkan postingan dengan label Lil Rel Howery. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lil Rel Howery. Tampilkan semua postingan

REVIEW - FREE GUY

Berlatarkan dunia gim video, Free Guy bisa saja cuma berakhir sebagai parade easter eggs atau ajang berjualan IP. Tapi rupanya karya terbaru Shawn Levy (Night at the Museum, Real Steel, Date Night) ini justru jadi film paling menyenangkan, paling kreatif, juga paling menyentuh tahun ini. Di balik pernak-pernik permainannya, ada kisah sarat makna. Kisah tentang kemerdekaan individu. Tentang rasa cinta, baik kepada orang lain maupun diri sendiri.

Guy (Ryan Reynolds) adalah pegawai bank dengan rutinitas monoton, di kota bernama Free City,. Selalu memakai kemeja berwarna biru yang sama, membeli kopi yang sama, mengucapkan kalimat yang sama (Don't have a good day. Have a great day!). Bukan repetisi biasa, sebab ada keanehan. Seluruh warga Free City termasuk Guy, tidak terganggu oleh kekacauan yang tiap hari pecah. Baku tembak, ledakan, pertempuran, dan lain-lain, seolah pemandangan yang lumrah. Bahkan, walau dalam sehari bank tempat Guy bekerja bisa dirampok berkali-kali, ia dan Buddy (Lil Rel Howery), sahabatnya yang mengisi pos sekuriti, bersikap santai. 

Anomali itu terjadi karena Free City adalah kota dalam gim video berjudul Free City, yang diproduksi perusahaan milik Antwan (Taika Waititi). Guy dan warga lain merupakan NPC (Non-Player Character), sehingga tidak punya free will. Mereka hidup sesuai peran serta pola masing-masing. Hingga akhirnya Guy jatuh hati pada Molotovgirl, karakter milik Millie (Jodie Comer). Millie sendiri bermain Free City guna mencari source code buatannya dan Keys (Joe Keery), yang dicuri Antwan. 

Guy tidak seketika menyadari identitasnya, namun melalui arahan Millie, ia pelan-pelan belajar "naik kelas, mulai terlibat aktif dalam gim, alih-alih berdiam diri layaknya NPC biasa. Fase ini digunakan oleh naskah garapan Matt Lieberman (The Addams Family, Scoob!) dan Zak Penn (turut serta menulis Ready Player One yang mengusung konsep setipe), guna merealisasikan impian banyak gamers, yakni hidup dalam gim (terutama Grand Theft Auto). Bebas berbuat sesuka hati, tidak bisa mati, punya segudang item, pun bila butuh uang, kita tinggal menjalankan misi atau memukuli pejalan kaki. 

Gagasan di atas melahirkan aksi-aksi kreatif nan menggelitik. Beberapa humor meta diselipkan, termasuk sebuah ide brilian di klimaks (you'll know when you see it). Pengarahan Levy makin mematangkan konsepnya, karena ia paham betul apa daya tarik utama premisnya: aksi energetik sarat visual variatif kaya warna. 

Free Guy sangat menghibur, tetapi kekuatan utamanya terletak pada hati. Di samping elemen fantastisnya, kisah film ini amat membumi. Banyak dari kita pernah merasa hampa, kala menyadari dunia tidak cuma berputar mengitari kita. Jangankan karakter utama, pendukung pun bukan. Sebatas figuran dalam semesta luas yang eksistensinya tidak signifikan. 

Karena itu, mudah mendukung Guy. Free Guy menggugah emosi melalui proses sang protagonis mengatasi krisis eksistensi, selepas menyadari kalau dia berhak menentukan langkahnya sendiri. Pun tidak banyak bintang Hollywood kelas A seperti Reynolds, yang berkarisma, tapi juga memancarkan aura "pria sehari-hari". 

Pada era dominasi pahlawan super seperti sekarang, Guy si pria biasa berpakaian biru malah jadi jagoan favorit saya. Selain penokohan serta akting yang membuatnya relatable, motivasi perjuangannya juga murni. Apalagi kalau bukan cinta. Tapi bukan cinta yang membutakan, melainkan cinta yang membuka mata, menyadarkan soal berharganya diri kita. Sebuah cinta yang ketimbang mengekang, justru membebaskan. 

Klimaksnya jadi luar biasa menyentuh, meski penggambaran seluruh umat manusia di dunia menonton pertarungan Guy agak berlebihan (alasan saya mengurungkan niat memberi nilai sempurna). Jika hanya bisa memilih satu dari film-film yang tayang di bioskop minggu ini, pastikan pilihan itu jatuh pada Free Guy. Sudah waktunya kita mengingat lagi cara bersenang-senang, sambil kembali belajar menghargai diri sendiri, pula mencintai. 

GET OUT (2017)

(Review mungkin mengandung spoiler)
Selain menakut-nakuti, banyak filmmaker memanfaatkan medium horor untuk menyampaikan kisah atau pesan tertentu. Sebutlah Alien (pemerkosaan/seks), The Babadook (kecemasan), It Follows (penyakit menular seksual), dan sebagainya. Semua dilakukan tanpa melupakan hakikat utama genre tersebut. Di permukaan, Get Out selaku debut penyutradaraan Jordan Peele terkesan biasa, menebar kengerian lewat keanehan situasi yang dialami karakternya. Tapi menilik lebih dalam, naskahnya (juga ditulis oleh Peele) turut menjabarkan satir sosial terkait isu rasisme, tepatnya soal perlakuan kulit putih terhadap kulit hitam. Menjadi spesial tatkala tiap sisi, termasuk komedi yang membesarkan namanya, sanggup Peele rangkai secara seimbang.

Fotografer kulit hitam bernama Chris (Daniel Kaluuya) adalah kekasih dari Rose (Alison Williams), seorang gadis kulit putih. Saat tiba waktunya mengunjungi orang tua sang kekasih di akhir pekan, Chris khawatir apabila warna kulitnya dipermasalahkan. Nyatanya orang tua Rose, Dean (Bradley Whitford) dan Missy (Catherine Keener) menyambutnya baik. Walau demikian, Chris mulai merasa ada kejanggalan begitu melihat sikap dua pelayan kulit hitam di sana, Walter (Marcus Henderson) dan Georgina (Betty Gabriel). Ada apa dengan keduanya? Rahasia apa yang tersimpan di sana? Bermacam tanya itu takkan sulit dijawab. Bahkan sejak opening bila anda jeli mengaitkan poin-poinnya.
Horor/thriller seputar karakter atau lingkungan janggal telah bertebaran dan Get Out memang tidak memberi inovasi dalam presentasi misterinya. Peele mengikuti pola standar, bersabar menggerakkan alur di dua pertiga awal durasi, perlahan menambah tensi seiring observasi protagonis terhadap kondisi sekitar. Jika anda sudah kerap menyantap sajian serupa daya kejut film ini takkan seberapa. Jangan harap dihantam unpredictable twist ala-Shyamalan. Namun kelokan alur bukan semata-mata soal "seberapa mengejutkan". Pertanyaan yang diajukan semestinya "perlukah?" dan "sesuaikah dengan keseluruhan cerita atau datang mendadak selaku tipuan kosong?". Mengenai hal-hal itu, Peele melakukan tugasnya dengan baik.

Peele jeli menanam benih-benih, sehingga sewaktu tiba di ujung penceritaan, tercipta satu skema besar utuh yang menjawab beragam pertanyaan sekaligus menjelaskan perilaku tokoh-tokohnya. Sedangkan cerdiknya penyutradaraan membuat Get Out menjauhi keklisean jump scare berisik. Tetap banyak usaha menghentak jantung penonton, namun triknya tidak murahan. Peele berhasil memancing ketakutan nyata, bukan rasa terkejut sesaat yang cepat luntur walau progresi alur bertahap (baca: lumayan pelan) membuat daya cengkeram filmnya urung hadir secara instan. Kuncinya terletak pada timing, staging, juga pemakaian musik/efek suara. 
Tatkala teror sering datang di waktu tak terduga, pengadeganan Peele begitu apik membangun atmosfer creepy bersenjatakan kesederhanaan macam tatapan sunyi dari kerumunan. Kedua aspek ini disempurnakan oleh efektifnya musik dipakai. Selain penggunaan nomor klasik Run Rabbit Run, Michael Abels sang penata musik menyajikan pula alunan mencekam berbalut bisikan lirih yang bakal mengendap di ingatan pasca film usai. Peele memanfaatkan musik seperlunya, bahkan beberapa teror terbaik muncul ketika keheningan tiba-tiba menyeruak. Saya bisa merasakan ketegangan menghinggapi seisi studio, mendiamkan penonton lewat kesunyian mencekik. Kalau ada kalimat terlontar, itu akibat menyadari ketidakberesan yang seketika hadir.

Jangan lupa ini adalah karya Jordan Peele yang bersama rekannya, Keegan-Michael Key membuat Key & Peele, sebuah serial komedi sketsa televisi yang di beberapa segmen memparodikan horor. Humor segar mengiringi Get Out, dan hebatnya tanpa berujung permasalahan tonal shift. Sebabnya, komedi tak asal masuk, melainkan khusus dilontarkan oleh scene stealer bernama Rod (Lil Rel Howery), petugas TSA (Transportation Security Administration) sekaligus sahabat Chris yang selalu heboh, bicara semaunya termasuk melontarkan teori gila soal budak seks. Penonton pun paham, tatkala Rod tampil itu saatnya tergelak. Sebaliknya saat ia tidak menghiasi layar, waktunya kembali "menyalakan" mode serius. Kejelasan pembagian porsi ini sukses meniadakan inkonsistensi tone
Sebagaimana biasa, Peele menyelipkan alegori tentang rasisme. Pernyataan utamanya adalah bahwa kulit putih selaku pemegang kekuatan dan kekuasaan berniat mengendalikan kulit hitam. Mereka menyatakan bersedia menerima perbedaan tapi hanya di mulut, sementara hati dan perbuatannya tetap meneriakkan diskriminasi. Keramahan bertabur senyum tak ubahnya topeng luar agar kaum kulit hitam terbuai tutur kata manis dan kehidupan nyaman, tanpa sadar tengah dikontrol, dilucuti kebebasannya. Peele cerdik memposisikan pesan-pesan terselubung itu, bersinkronisasi dengan unsur horor sehingga urung menimbulkan distraksi. Di samping isu rasial, Get Out dapat dilihat pula sebagai horor seputar pengalaman pertama mengunjungi calon mertua (which is scary indeed).

Get Out bak dibuat berdasarkan semangat segala sesuatu bisa ditertawakan tanpa menghilangkan keseriusan di dalamnya. Selain hibrida horor-komedi, pergerakan misterinya bagai diambil dari obrolan santai penuh canda ketika orang kulit hitam membicarakan perlakuan buruk kulit putih pada mereka. Mulai diskriminasi sosial hingga pada level yang terdengar berlebihan dan mustahil macam omongan Rod soal penculikan untuk dijadikan budak seks. Konteksnya bercanda, namun didasari realita, dipicu rasa jengah pula takut akibat kekejaman berkepanjangan. Get Out sukses menggambarkan itu, menuturkan satir sosial dengan gaya ringan tapi tetap menusuk.