Tampilkan postingan dengan label Natalie Morales. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Natalie Morales. Tampilkan semua postingan

REVIEW - LANGUAGE LESSONS

Pemanfaatan teknis "seadanya" identik dengan horor. Gaya found footage di Cannibal Holocaust (1980) dan The Blair Witch Project (1999), hingga penggunaan aplikasi zoom kala pandemi menghambat industri dalam Host (2020). Judul-judul di atas bukan yang pertama memakai gaya/medium masing-masing, tapi jelas masuk jajaran paling populer. Kesederhanaan yang menghasilkan realisme memang membantu menciptakan kengerian pada horor. 

Tapi realisme tentu tidak melulu soal ketakutan. Diproduksi selama fase lockdown berbekal aplikasi Zoom, Language Lessons mengangkat wajah lain realisme yang disebut "interaksi manusia". Seperti judulnya, debut penyutradaraan Natalie Morales (membuat satu lagi film bagus, Plan B, secara nyaris bersamaan) ini mengetengahkan aktivitas les bahasa dua karakternya.

Adam (Mark Duplass) mendapat kejutan dari sang suami, Will (Desean Terry), berupa les Bahasa Spanyol selama 100 minggu. Gurunya adalah Cariño (Natalie Morales), yang bertempat tinggal di Kosta Rika (Adam ada di Oakland). Meski sempat ragu, pasca pertemuan perdana yang dengan cepat berubah dari canggung ke hangat, Adam bersedia mengikuti kelas via Zoom tiap Senin pagi. 

Bukan kelas konvensional, sebab ketimbang proses belajar-mengajar biasa, keduanya lebih banyak mengobrol santai (dalam Bahasa Spanyol tentu saja). Alih-alih guru-murid, Adam dan Cariño lebih seperti teman. Lalu sebuah tragedi menimpa Adam, pun seiring waktu kita mengetahui bahwa Cariño juga menyimpan masalahnya sendiri. 

Ditulis naskahnya oleh Morales dan Duplass, satu poin menarik dari alur Language Lessons adalah pertemuan seminggu sekali protagonisnya. Kita dibawa menyaksikan bagaimana seminggu dapat mengubah segalanya. Kebahagiaan dapat berubah jadi kesedihan, memiliki berganti kehilangan, hubungan pun bisa merenggang. Dari situ karakternya belajar menghargai hidup, sedangkan alurnya menemukan cara menyuntikkan ketidakpastian dan kejutan. 

Gagasannya adalah, penonton cuma tahu apa yang tokohnya tahu tentang satu sama lain, sehingga jeda seminggu itu (atau beberapa hari, karena ada kalanya mereka berkomunikasi di luar kelas) punya dampak besar. Eksekusinya mungkin tak sempurna, karena sesekali kita masih melihat karakternya beraktivitas selepas panggilan usai walau cuma sejenak. Tapi itu sebatas retak kecil di konsep yang sama sekali tak mengurangi dampak emosi.

Membawakan naskah yang dirumuskan bersama, memudahkan Duplass dan Morales mengekspresikan rasa secara nyata. Realis. Natural. Sejak menit-menit awal, hati saya sudah tercuri oleh chemistry mereka. Sejalan dengan kenaturalan tersebut, filmnya pun tak menyuapi penonton. Kita diajak mengobservasi. 

Terselip satu nilai penting soal komunikasi dalam cara Adam menyikapi masalah Cariño. Ketika menyadari ada yang tak beres, Adam sebatas mengetuk, bukan membuka paksa "pintu" Cariño, sembari membuka lebar "pintunya" sendiri. Adam mengamati, mengobservasi, lalu memproses apa yang Cariño alami, serta bagaimana ia harus memberi respon. Berkat penampilan kuat Duplass, lewat matanya kita bisa merasakan kepedulian nyata dari Adam. 

Ending-nya membuat saya tersenyum lebar. Sangat lebar. Di titik itulah karakternya lulus dari kelas bahasa. Bukan Bahasa Spanyol, tapi bahasa yang jauh lebih universal. Bahasa yang tak terpisahkan negara, suku, budaya, atau zona waktu. Bahasa itu bernama "kemanusiaan". 

(Klik Film)

REVIEW - PLAN B

Plan B berada sejalur dengan film seperti Booksmart (2019), Unpregnant (2020), atau serial televisi Never Have I Ever. Protagonis seorang gadis remaja outsider yang mendampakan pria populer, sahabat setia yang bersikap peduli setan pada dunia, canggungnya hubungan seks pertama, gadis kulit putih populer selaku pesaing cinta. Terdengar klise. 

Di tangan Natalie Morales sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, Plan B ibarat perjalanan, di mana kita singgah di beberapa checkpoint familier. Bagaimana cara kita tiba di tiap checkpoint, itu yang tak terduga. 

Sunny (Kuhoo Verma) adalah remaja keturunan India yang asing akan hal-hal seputar seks. Mungkin salah satunya karena buruknya pendidikan di sekolah. Di sebuah kelas biologi, sang guru mempertontonkan video edukasi lawas yang menyamakan alat reproduksi wanita dengan mobil. "Wanita mesti menjaga keperawanan, sebab tidak ada pria yang mau menaiki mobil bekas". Begitu pesannya. Pantas saja Sunny membuka buku biologi cuma saat bermasturbasi memakai gambar anatomi tubuh pria. 

Hanya Lupe (Victoria Moroles) yang mau menjadi teman protagonis kita. Berlawanan dengan Sunny, Lupe adalah remaja pemberontak. Rambut dicat, hidung ditindik, lipstik hitam mewarnai bibirnya yang gemar menghisap vape ganja. Lupe menyarankan Sunny untuk menggelar pesta di rumah, guna menarik perhatian Hunter (Michael Provost), si pujaan hati. Pesta dimulai, Sunny mabuk, lalu kehilangan keperawanan. 

Sayang, seks perdana itu tidak sesuai harapan Sunny. Bahkan kini dia dihantui kekhawatiran bakal hamil. Jadilah Sunny, ditemani Lupe, melakoni perjalanan guna mendapatkan plan b alias pil kontrasepsi darurat. Perjalanan yang terkesan mudah, namun tentu saja sebuah road trip membawa karakternya menemui beragam rintangan, termasuk pertemuan dengan berbagai sosok unik. 

Semakin sedikit anda tahu soal "apa" dan "siapa" semakin baik, sebab Morales menyuguhkan beragam skenario supaya perjalanan familier ini penuh tikungan. Peristiwa yang memicu Sunny berpikir bahwa dirinya berpotensi hamil, hingga pertengkarannya dengan sang sahabat (yang seolah wajib dimiliki film semacam ini sebagai transisi second dan third act), semua hadir secara tidak terduga. Dan terpenting, lucu. Terutama sosok Lupe. 

Menyaksikannya di sini, saya yakin karir Victoria Moroles akan segera meroket, minimal di sirkuit indie dan festival. Penampilannya lucu, natural, pun tak terjebak dalam gaya stereotipikal karakter remaja pemberontak (penulisan Morales turut berjasa besar di sini), yang dentik dengan kesan angsty serta gaya akting deadpan. Moroles lebih ekspresif dan hangat.

Sedangkan Verma menampilkan kenaifan yang dapat dipahami. Wajar bila Sunny setakut itu menghadapi seks. Dia produk masyarakat konservatif, yang memandang tabu segala bentuk seksualitas atas nama moral. Suatu tatanan sosial yang sebenarnya amat menyudutkan wanita. Siapa yang paling dirugikan oleh video edukasi ngawur di atas? Wanita. Siapa yang paling dirugikan saat penjualan pil kontrasepsi dipersulit? Wanita. 

Kita melihat ketakutan yang berbeda saat pria dan wanita dihadapkan pada risiko kehamilan. Si pria mengkhawatirkan dosa, yang akhirnya terobati karena meyakini bahwa Tuhan itu pengampun. Sebaliknya, bila kehamilan sungguh terjadi, yang bakal paling vokal menghakimi si wanita adalah publik, yang pastinya tidak murah hati layaknya Tuhan. Apa yang bagi pria adalah gempa, bagi wanita bisa jadi akhir dunia. 

Memperbaiki sistem pendidikan adalah faktor utama, tapi tentu memakan waktu lama. Plan B, lewat paruh akhirnya yang menyentuh, menawarkan solusi awal yang lebih sederhana, namun efektif. Solusi itu terletak di tangan orang tua. Kalimat dari ayah Lupe (Jacob Vargas), sempurna merangkumnya. "It's not my job to judge you, but it's my job to be your dad no matter what".


Available on HULU

STUBER (2019)

Di tengah kurangnya asupan film bagus (sejak The Lion King belum sekalipun saya memberi penilaian positif), saya tak menempatkan ekspektasi tinggi terhadap Stuber, mengingat belakangan, buddy action comedy bermutu semakin jarang. Sampai Dave Bautista dan Kumail Nanjiani datang, memperlihatkan bagaimana semestinya sub-genre satu ini diperlakukan.

Victor (Dave Bautista) adalah polisi tangguh yang terobsesi meringkus bandar narkoba bernama Tedjo (Iko Uwais). Obsesi itu merenggangkan hubungannya dengan sang puteri, Nicole (Natalie Morales). Bahkan Victor melupakan malam pameran karya seni Nicole, lalu menjadwalkan operasi lasik beberapa jam sebelumnya, membuat penglihatannya terganggu sepanjang hari. Berusaha memastikan kehadiran ayahnya, Nicole memaksa Victor mengunduh Uber.

Seperti kita ketahui bersama, kedatangan Victor bakal terganggu. Gangguan itu berbentuk laporan dari seorang informan bahwa malam itu Tedjo akan melakukan transaksi. Akibat kondisi mata yang tak memungkinkannya menyetir, Victor pun memesan Uber. Di situlah ia bertemu Stu (Kumail Nanjiani), sopir Uber yang susah payah mempertahankan rating empat, sebab kurang dari itu, ia akan kehilangan pekerjaan.

Stu tidak kalah buru-buru. Selepas mengakhiri hubungan dengan pacarnya, Becca (Betty Gilbin), gadis yang diam-diam Stu cintai, memintanya datang untuk berhubungan seks (sambil mabuk dan menonton When Harry Met Sally). Intinya, Becca ingin menjadikan Stu pelampiasan. Sebuah bumper. Sial bagi Stu, ini bukan perjalanan bintang lima mulus sebagaimana dia harapkan.

Alih-alih melesat menuju rumah Becca, Stu terjebak bersama Victor dalam satu hari gila penuh baku tembak, kejar-kejaran mobil, dan mayat-mayat bergelimpangan. Karena kondisi penglihatan Victor tengah memburuk, kebutuhannya akan bantuan Stu jadi suatu hal logis. Setidaknya, elemen itu bisa meminimalisir rasa janggal di benak penonton, karena keduanya sama-sama terpaksa, tidak berdaya, dan tak punya opsi lain.

Buddy movie wajib punya dua protagonis dengan kepribadian berlawanan, dan Stuber memenuhi itu, bahkan menjadikan perbedaan mereka jalan menyentil konsep maskulinitas. Bagi Victor laki-laki tidak boleh menangis, hatinya mesti sekeras batu, dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan. Sebaliknya, Stu adalah sosok sensitif yang cenderung mengandalkan otak, pula percaya jika laki-laki berhak meneteskan air mata.

Naskah karya Tripper Clancy (Four Against the Bank, Hot Dog) belum maksimal memanfaatkan ciri menarik para protagonis, di mana Stuber cenderug menggambarkan gesekan mereka lewat adu mulut repetitif nan seadanya, ketimbang gambaran kreatif saat Victor dan Stu saling mengisi lewat keunggulan masing-masing, semisal saat Stu membantu Dave menggali informasi dengan cara “menyiksa” seorang penjahat.

Daya bunuh humornya juga terpengaruh, karena perihal mengocok perut pun filmnya main aman. Leluconnya minim kegilaan pendukung premis “kacaunya”, pula tak seberapa segar selaku pemicu tawa-tawa tak terduga. Untung ada Dave dan Kumail. Kunci sukses keduanya terletak di keengganan tampak konyol secara berlebih. Bahkan mereka bak tidak sedang melawak, tapi menunjukkan respon wajar kala dua orang terjebak dalam situasi yang sukar dipercaya. Khususnya Kumail. Didasari kebutuhan membangun dinamika, tokoh utama buddy comedy wajib diisi satu figur serius dan seorang “badut”, dan saya lelah melihat para badut bersikap seolah mereka adalah manusia terbodoh di dunia. Kumail berbeda. Stu histerikal, namun sesuai kondisi dan situasi.

Satu elemen lagi yang menghalangi Stuber menjadi “perjalanan bintang lima” adalah adegan aksinya. Baku hantam komedik Stu melawan Victor di pusat perbelanjaan memang percampuran sempurna aksi dengan komedi, namun selain itu, gampang dilupakan. Koreografi garapan Iko (memadukan bela dirinya dan street fighting brutal milik Dave) dilemahkan oleh penyutradaraan Michael Dowse (FUBAR, Goon, What If) yang terjangkit penyakit  quick cuts dan close up”. Bicara soal Iko, meski hanya diberi screen time pada sekuen pembuka dan klimaks, tidak seperti Triple Threat, Stuber menghormati sang aktor, di mana kehadirannya berpengaruh, pun ia berkesempatan membuat Dave Bautista babak belur.