Tampilkan postingan dengan label Tripper Clancy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tripper Clancy. Tampilkan semua postingan

STUBER (2019)

Di tengah kurangnya asupan film bagus (sejak The Lion King belum sekalipun saya memberi penilaian positif), saya tak menempatkan ekspektasi tinggi terhadap Stuber, mengingat belakangan, buddy action comedy bermutu semakin jarang. Sampai Dave Bautista dan Kumail Nanjiani datang, memperlihatkan bagaimana semestinya sub-genre satu ini diperlakukan.

Victor (Dave Bautista) adalah polisi tangguh yang terobsesi meringkus bandar narkoba bernama Tedjo (Iko Uwais). Obsesi itu merenggangkan hubungannya dengan sang puteri, Nicole (Natalie Morales). Bahkan Victor melupakan malam pameran karya seni Nicole, lalu menjadwalkan operasi lasik beberapa jam sebelumnya, membuat penglihatannya terganggu sepanjang hari. Berusaha memastikan kehadiran ayahnya, Nicole memaksa Victor mengunduh Uber.

Seperti kita ketahui bersama, kedatangan Victor bakal terganggu. Gangguan itu berbentuk laporan dari seorang informan bahwa malam itu Tedjo akan melakukan transaksi. Akibat kondisi mata yang tak memungkinkannya menyetir, Victor pun memesan Uber. Di situlah ia bertemu Stu (Kumail Nanjiani), sopir Uber yang susah payah mempertahankan rating empat, sebab kurang dari itu, ia akan kehilangan pekerjaan.

Stu tidak kalah buru-buru. Selepas mengakhiri hubungan dengan pacarnya, Becca (Betty Gilbin), gadis yang diam-diam Stu cintai, memintanya datang untuk berhubungan seks (sambil mabuk dan menonton When Harry Met Sally). Intinya, Becca ingin menjadikan Stu pelampiasan. Sebuah bumper. Sial bagi Stu, ini bukan perjalanan bintang lima mulus sebagaimana dia harapkan.

Alih-alih melesat menuju rumah Becca, Stu terjebak bersama Victor dalam satu hari gila penuh baku tembak, kejar-kejaran mobil, dan mayat-mayat bergelimpangan. Karena kondisi penglihatan Victor tengah memburuk, kebutuhannya akan bantuan Stu jadi suatu hal logis. Setidaknya, elemen itu bisa meminimalisir rasa janggal di benak penonton, karena keduanya sama-sama terpaksa, tidak berdaya, dan tak punya opsi lain.

Buddy movie wajib punya dua protagonis dengan kepribadian berlawanan, dan Stuber memenuhi itu, bahkan menjadikan perbedaan mereka jalan menyentil konsep maskulinitas. Bagi Victor laki-laki tidak boleh menangis, hatinya mesti sekeras batu, dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan. Sebaliknya, Stu adalah sosok sensitif yang cenderung mengandalkan otak, pula percaya jika laki-laki berhak meneteskan air mata.

Naskah karya Tripper Clancy (Four Against the Bank, Hot Dog) belum maksimal memanfaatkan ciri menarik para protagonis, di mana Stuber cenderug menggambarkan gesekan mereka lewat adu mulut repetitif nan seadanya, ketimbang gambaran kreatif saat Victor dan Stu saling mengisi lewat keunggulan masing-masing, semisal saat Stu membantu Dave menggali informasi dengan cara “menyiksa” seorang penjahat.

Daya bunuh humornya juga terpengaruh, karena perihal mengocok perut pun filmnya main aman. Leluconnya minim kegilaan pendukung premis “kacaunya”, pula tak seberapa segar selaku pemicu tawa-tawa tak terduga. Untung ada Dave dan Kumail. Kunci sukses keduanya terletak di keengganan tampak konyol secara berlebih. Bahkan mereka bak tidak sedang melawak, tapi menunjukkan respon wajar kala dua orang terjebak dalam situasi yang sukar dipercaya. Khususnya Kumail. Didasari kebutuhan membangun dinamika, tokoh utama buddy comedy wajib diisi satu figur serius dan seorang “badut”, dan saya lelah melihat para badut bersikap seolah mereka adalah manusia terbodoh di dunia. Kumail berbeda. Stu histerikal, namun sesuai kondisi dan situasi.

Satu elemen lagi yang menghalangi Stuber menjadi “perjalanan bintang lima” adalah adegan aksinya. Baku hantam komedik Stu melawan Victor di pusat perbelanjaan memang percampuran sempurna aksi dengan komedi, namun selain itu, gampang dilupakan. Koreografi garapan Iko (memadukan bela dirinya dan street fighting brutal milik Dave) dilemahkan oleh penyutradaraan Michael Dowse (FUBAR, Goon, What If) yang terjangkit penyakit  quick cuts dan close up”. Bicara soal Iko, meski hanya diberi screen time pada sekuen pembuka dan klimaks, tidak seperti Triple Threat, Stuber menghormati sang aktor, di mana kehadirannya berpengaruh, pun ia berkesempatan membuat Dave Bautista babak belur.