Tampilkan postingan dengan label Saif Ali Khan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Saif Ali Khan. Tampilkan semua postingan

REVIEW - DIL BECHARA

Dil Bechara sangat dinantikan karena dua hal. Alasan pertama adalah statusnya sebagai adaptasi terbaru untuk novel The Fault in Our Stars karya John Green (sebenarnya lebih tepat disebut remake dari versi Hollywood, karena dalam prosesnya, Shashank Khaitan dan Suprotim Sengupta mengadaptasi langsung naskah buatan Scott Neustadter dan Michael Weber). Alasan kedua adalah kematian tragis aktor utamanya, Sushant Singh Rajput bulan Juni lalu.

Peraih dua nominasi Filmfare Awards tersebut kembali mempersembahkan penampilan berkesan, namun filmnya sendiri mengecewakan, terlebih jika anda telah menonton versi Hollywoodnya. Ketika Bollywood makin rajin menelurkan drama yang berhasil mengangkat isu kompleks secara ringan tanpa perlu kehilangan bobot, Dil Bechara adalah kebalikannya. Sebuah simplifikasi terhadap situasi kompleks, di mana banyak substansi dikesampingkan.

Kizie Basu (Sanjana Sanghi) adalah penderita kanker tiroid yang selalu menyendiri, mesti membawa tabung oksigen ke mana-mana, dan sering mendatangi pemakaman orang asing, karena merasa bisa berbagi penderitaan bersama mereka. Satu-satunya “teman” Kizie adalah lagu gubahan Abhimanyu Veer (penampilan spesial Saif Ali Khan) yang belum selesai dibuat. Sampai ia bertemu Manny (Sushant Singh Rajput), pria penuh antusiasme, yang terobsesi pada Rajinikanth, membuatnya bermimpi jadi aktor laga.

Manny bersikeras mengajak Kizie agar mau menjadi aktris di film yang ia buat bersama sahabatnya, JP (Sahil Vaid). Awalnya si gadis menolak, bahkan sedikit risih dengan kengototan Manny. Sampai ia tahu kalau Manny menderita osteosarkoma sehingga kakinya diamputasi, sedangkan akibat glaukoma, salah satu mata JP tak lagi berfungsi. Hati Kizie mulai luluh. Pertanyaannya, “bagaimana bisa?”. Jika Gus di The Fault in Our Stars adalah pria karismatik bergaya bak James Dean yang ingin terlihat kuat, maka Manny adalah pria berdarah panas, agresif, pun terkadang sedikit kurang ajar. Tentu intensinya tidak begitu, namun naskah Dil Bechara memang sering kesulitan menyampaikan tujuannya.

Aliran penceritannya kasar, sesuatu yang gagal diperbaiki oleh penyutradaraan Mukesh Chhabra yang juga kerap terbata-bata. Sebutlah Kizie yang awalnya bersikap dingin pada Manny, lalu sejurus kemudian bagaikan terobsesi. Begitu pula sang ibu (Swastika Mukherjee) yang selalu ketus, seolah menolak keberadaan Manny, namun tiba-tiba hangat setibanya di Paris dalam perjalanan mencari Abhimanyu Veer. Atau tengok momen sewaktu kondisi Kizie memburuk sebelum berangkat ke Paris, di mana ketiadaan “jembatan” dari suasana bahagia menuju rasa sakit melemahkan penghantaran emosinya.

Kucinya terletak di “jembatan”. Transisi antara satu poin dan poin berikutnya. Terkait elemen romansa, masalah ketiadaan transisi itu masih bisa dimaafkan, sebab kedua pemeran utamanya berhasil menjalin chemistry manis, yang bisa memancing senyum tiap mereka berinteraksi. Meski awalnya kurang mulus, seiring waktu, Kizie dan Manny mampu mencuri hati saya, sebagai dua sejoli yang saling menghadirkan tawa di tengah kondisi yang jauh dari "menyenangkan".

Lain cerita jika membahas The Fault in Our Stars, baik buku maupun adaptasi filmnya, sebagai kisah bernada positif yang melawan keklisean formula tearjerker dan disease porn. Dil Bechara bagai adaptasi yang memutilasi materi aslinya. Banyak poin-poin esensial lenyap, membuat filmnya hanya berakhir menjadi kisah cinta dua orang dengan penyakit, di mana penyakit itu terkesan trivial, ketimbang soal dua individu yang menemukan cara menghadapi, melawan, lalu menerima kondisi mereka demi kebahagiaan.

Dil Bechara mempertahankan banyak elemen dalam The Fault in Our Stars, tapi penerapannya seolah tak dibarengi pemahaman, mengapa elemen-elemen itu diciptakan. Simplifikasi pun kerap terjadi. Voice over sang protagonis terdengar sepanjang film, tapi berbeda dengan milik Hazel Grace, narasi Kizie hanya eksposisi belaka, tanpa mampu membawa penonton menyelami kompleksitas isi hati dan pikiran si karakter. Contoh lain adalah soal rokok, yang di sini, penjabarannya cuma berhenti pada “rokok yang tidak menyala tidaklah berbahaya”. Masih banyak deretan simplifikasi lain, yang membuat Dil Bechara turun kelas dibandingkan sumbernya, walau masih layak ditonton sebagai romansa berkat penampilan dua pemain utama.


Available on DISNEY+ HOTSTAR

JAWAANI JAANEMAN (2020)

Usia hanya sebatas angka. Begitu prinsip yang dianut Jazz (Saif Ali Khan), protagonis dalam remake film Argentina, Igualita a mí (2010), ini. Menginjak kepala empat, jangankan berkeluarga, menjalani hubungan serius pun Jazz tidak pernah. Pada siang hari, bersama saudaranya, Dimpy (Kumud Mishra), ia adalah makelar yang tengah berusaha menuntaskan penjualan komplek apartemen tempat tinggalnya, lalu malamnya, tak sekalipun Jazz absen dari kelab, mabuk-mabukan, membawa pulang wanita berbeda setiap hari.

Jazz punya seorang teman wanita. Rhea (Kubbra Sait) namanya, karyawan di salon langganannya. Tapi keduanya cuma sebatas saling menggoda tanpa niat menjalin hubungan serius. Cinta satu malam bersama para wanita muda di kelab tetap jadi gaya hidup Jazz. Maka tidak heran ketika seorang gadis 21 tahun asal Amsterdam, Tia (Alaya Furniturewala), mendatanginya, Jazz tidak pikir panjang untuk membawanya ke apartemen.

Tia diajaknya berdansa, menenggak wine, sembari bertukar cerita. Bagi Jazz, aktivitas bercerita hanyalah basa-basi sebelum seks, sehingga kata-kata Tia tak ia perhatikan.....sampai muncul pernyataan, “Ada 33,333% kemungkinan kamu adalah ayahku”. Pernyataan yang akhirnya dikonfirmasi oleh hasil tes DNA. Jazz terkejut, tak menyangka kunjungan singkatnya ke Amsterdam kala muda dulu memberinya buah hati. Semakin terkejut kala diketahui, Tia sedang hamil. Dalam sekejap, Jazz si pria paruh baya pecandu pesta menyandang status baru: seorang ayah sekaligus kakek.

Sungguh keadaan yang kacau, dan naskah buatan Hussain Dalal memastikan bahwa semakin kacau keadaan, semakin lucu pula filmnya. Saya terhibur oleh seringnya Tia “mengacaukan” petualangan cinta Jazz, pula beberapa komedi situasi berbasis kesalahpahaman akibat pilihan Jazz menyembunyikan status Tia, yang berhasil dijual dengan baik oleh para pemainnya. Keabsurdan tak terhindarkan, termasuk saat Tabu (dalam penampilan singkat nan berkesan sebagai ibu-ibu hippie yang menganggap teknologi bisa menyebabkan kanker) mulai ambil bagian, lalu melahirkan kejadian unik dan canggung ketika Tia memperkenalkan ayah dan ibunya satu sama lain. “Mom, this is dad. Dad, this is mom”. Kapan lagi kita mendengar kalimat semacam itu?

Dibungkus pengadeganan bertenaga dari sutradara Nitin Kakkar (Filmistaan, Notebook), Jawaani Jaaneman mulus menjalankan misinya memancing tawa penonton, walau perihal penceritaan agak terlunta-lunta. Serupa protagonisnya, film ini terlalu banyak berpesta. Mungkin sekitar 3-5 menit sekali kita diajak mengunjungi kelab malam yang acap kali membuat alurnya jalan di tempat. Pun sejak menit pertama hingga konklusi, alurnya formulaik, meski beruntung, naskahnya mampu menahan diri untuk tidak memaksakan keklisean berupa romansa instan antara Jazz dan Rhea. Benih romansa keduanya dibiarkan mulai tumbuh, namun tidak dipaksakan berbunga.

Jalannya proses akan mudah anda tebak, tapi setidaknya, seiring waktu filmnya mampu memunculkan kepedulian terhadap Jazz dan Tia, membuat kita berharap keduanya memperoleh kebahagiaan. Konklusinya pun menghasilkan kepuasan melalui penutup menyentuh yang dengan tepat menggunakan malam Diwali sebagai latar kebersamaan hangat keluarga.

Saif Ali Khan sarat antusiasme, sementara dalam debutnya, Alaya Furniturewala menampilkan senyum yang bisa melelehkan orang berhati paling keras sekalipun. Kombinasi keduanya pun cukup solid di tataran drama. Momen saat Jazz meminta Tia pulang setelah pertemuan perdananya dengan keluarga besar terasa menyentuh berkat ketulusan yang muncul dari tutur kata Saif, disusul respon sempurna Alaya, sebagai seorang puteri yang terharu mendengar ucapan penuh kasih sayang dari sang ayah untuk pertama kali.

Jawaani Jaaneman memang klise, khususnya bila dibandingkan dengan keunikan premisnya. Tapi di antara keklisean tersebut, kita dapat memahami segala tindakan dan keputusan yang diambil karakternya, termasuk salah satu yang paling penting adalah sewaktu Jazz memutuskan berubah. Alasan kesehatan, keluarga, serta keengganan menanti akhir usia seorang diri. Bukankah semua itu yang kerap jadi pendorong pensiunnya para “Raja Pesta”?


Available on PRIME VIDEO