JAWAANI JAANEMAN (2020)
Rasyidharry
Mei 29, 2020
Alaya Furniturewala
,
Comedy
,
Cukup
,
Drama
,
Hindi Movie
,
Hussain Dalal
,
Kubbra Sait
,
Kumud Mishra
,
Nitin Kakkar
,
REVIEW
,
Saif Ali Khan
,
Tabu
Tidak ada komentar
Usia hanya sebatas angka. Begitu prinsip yang dianut Jazz
(Saif Ali Khan), protagonis dalam remake film
Argentina, Igualita a mí (2010), ini.
Menginjak kepala empat, jangankan berkeluarga, menjalani hubungan serius pun
Jazz tidak pernah. Pada siang hari, bersama saudaranya, Dimpy (Kumud Mishra),
ia adalah makelar yang tengah berusaha menuntaskan penjualan komplek apartemen
tempat tinggalnya, lalu malamnya, tak sekalipun Jazz absen dari kelab,
mabuk-mabukan, membawa pulang wanita berbeda setiap hari.
Jazz punya seorang teman wanita. Rhea (Kubbra Sait) namanya,
karyawan di salon langganannya. Tapi keduanya cuma sebatas saling menggoda
tanpa niat menjalin hubungan serius. Cinta satu malam bersama para wanita muda
di kelab tetap jadi gaya hidup Jazz. Maka tidak heran ketika seorang gadis 21
tahun asal Amsterdam, Tia (Alaya Furniturewala), mendatanginya, Jazz tidak
pikir panjang untuk membawanya ke apartemen.
Tia diajaknya berdansa, menenggak wine, sembari bertukar
cerita. Bagi Jazz, aktivitas bercerita hanyalah basa-basi sebelum seks,
sehingga kata-kata Tia tak ia perhatikan.....sampai muncul pernyataan, “Ada
33,333% kemungkinan kamu adalah ayahku”. Pernyataan yang akhirnya dikonfirmasi
oleh hasil tes DNA. Jazz terkejut, tak menyangka kunjungan singkatnya ke
Amsterdam kala muda dulu memberinya buah hati. Semakin terkejut kala diketahui,
Tia sedang hamil. Dalam sekejap, Jazz si pria paruh baya pecandu pesta
menyandang status baru: seorang ayah sekaligus kakek.
Sungguh keadaan yang kacau, dan naskah buatan Hussain Dalal
memastikan bahwa semakin kacau keadaan, semakin lucu pula filmnya. Saya
terhibur oleh seringnya Tia “mengacaukan” petualangan cinta Jazz, pula beberapa
komedi situasi berbasis kesalahpahaman akibat pilihan Jazz menyembunyikan
status Tia, yang berhasil dijual dengan baik oleh para pemainnya. Keabsurdan
tak terhindarkan, termasuk saat Tabu (dalam penampilan singkat nan berkesan
sebagai ibu-ibu hippie yang menganggap teknologi bisa menyebabkan kanker) mulai
ambil bagian, lalu melahirkan kejadian unik dan canggung ketika Tia
memperkenalkan ayah dan ibunya satu sama lain. “Mom, this is dad. Dad, this is mom”. Kapan lagi kita mendengar
kalimat semacam itu?
Dibungkus pengadeganan bertenaga dari sutradara Nitin Kakkar
(Filmistaan, Notebook), Jawaani Jaaneman mulus menjalankan
misinya memancing tawa penonton, walau perihal penceritaan agak terlunta-lunta.
Serupa protagonisnya, film ini terlalu banyak berpesta. Mungkin sekitar 3-5
menit sekali kita diajak mengunjungi kelab malam yang acap kali membuat alurnya
jalan di tempat. Pun sejak menit pertama hingga konklusi, alurnya formulaik,
meski beruntung, naskahnya mampu menahan diri untuk tidak memaksakan keklisean
berupa romansa instan antara Jazz dan Rhea. Benih romansa keduanya dibiarkan
mulai tumbuh, namun tidak dipaksakan berbunga.
Jalannya proses akan mudah anda tebak, tapi setidaknya,
seiring waktu filmnya mampu memunculkan kepedulian terhadap Jazz dan Tia,
membuat kita berharap keduanya memperoleh kebahagiaan. Konklusinya pun
menghasilkan kepuasan melalui penutup menyentuh yang dengan tepat menggunakan
malam Diwali sebagai latar kebersamaan hangat keluarga.
Saif Ali Khan sarat antusiasme, sementara dalam debutnya, Alaya
Furniturewala menampilkan senyum yang bisa melelehkan orang berhati paling
keras sekalipun. Kombinasi keduanya pun cukup solid di tataran drama. Momen
saat Jazz meminta Tia pulang setelah pertemuan perdananya dengan keluarga besar
terasa menyentuh berkat ketulusan yang muncul dari tutur kata Saif, disusul
respon sempurna Alaya, sebagai seorang puteri yang terharu mendengar ucapan
penuh kasih sayang dari sang ayah untuk pertama kali.
Jawaani Jaaneman memang klise, khususnya bila
dibandingkan dengan keunikan premisnya. Tapi di antara keklisean tersebut, kita
dapat memahami segala tindakan dan keputusan yang diambil karakternya, termasuk
salah satu yang paling penting adalah sewaktu Jazz memutuskan berubah. Alasan
kesehatan, keluarga, serta keengganan menanti akhir usia seorang diri. Bukankah
semua itu yang kerap jadi pendorong pensiunnya para “Raja Pesta”?
Available on PRIME
VIDEO
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar