Tampilkan postingan dengan label Sota Fukushi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sota Fukushi. Tampilkan semua postingan

BLADE OF THE IMMORTAL (2017)

Blade of the Immortal dipromosikan sebagai film ke-100 Takashi Miike, walau mengacu pada kredit IMDb, tanpa menghitung serial televisi dan film pendek, ini "baru" karya nomor 92. Bukan masalah, tetap jumlah yang sulit ditandingi sutradara lain. Terpenting, di usia 57 tahun, setelah 26 tahun berkecimpung di industri perfilman, Miike belum menunjukkan tanda bakal memperlambat laju, meski secara alamiah, kualitasnya naik-turun. Diangkat dari Blade of the Immortal buatan Hiroaki Samura yang brutal memfasilitasi Miike membuat adaptasi manga yang lebih serius, sedikit menjauhi gaya "kartun" sebagaimana biasa ia gunakan. 

Sekuen pembukanya memperlihatkan itu, dibungkus visual hitam-putih, Miike membawa si tokoh utama, samurai bernama Manji (Takuya Kimura), pada pertarungan brutal, pembicaraan soal kematian, lalu ditutup tragedi ketika sosok berharga dalam hidupnya dibunuh. Manji yang siap meregang nyawa justru dianugerahi (atau dikutuk) kehidupan abadi Yaobikuni (Yoko Yamamoto), seorang pertapa wanita misterius. 50 tahun berselang, ia dimintai bantuan oleh Rin (Hana Sugisaki) untuk membunuh Kagehisa Anotsu (Sota Fukushi), ketua Ittō-ryū yang membantai sang ayah di depan matanya. Ittō-ryū sendiri adalah perkumpulan yang berniat menyatukan seluruh perguruan pedang di seluruh negeri.
Memang sepanjang perjalanan, Manji dan Rin berhadapan dengan para anggota Ittō-ryū yang memiliki dandanan aneh, tapi nuansa komikal jarang diberikan. Menjaga absuditas di batas minumum, karakternya tidak bertingkah layaknya tokoh kartun, kuantitas humor khususnya slapstick ditekan, Miike pun turut mengontrol kadar gore. Pertarungan antara samurai masih bersimbah darah, namun urung berlebihan. Sebagaimana Thirteen Assassins, sang sutradara mengutamakan kesolidan koreografi, menempatkan kamera di posisi yang lebih bertujuan menangkap gerak laga ketimbang detail pedang yang memotong bagian tubuh manusia. 

Menyenangkan pula melihat jajaran pelakon yang berakting dalam kadar emosi serta ekspresi secukupnya, meninggalkan gaya over-the-top seperti yang kerap kita temui dalam banyak alih media manga menuju live action (atau film Jepang pada umumnya). Alhasil, Takuya Kimura berkesempatan memamerkan pesona samurai abadi yang ketenangan luarnya merupakan bentuk endapan duka mendalam selama puluhan tahun. 
Sayangnya, naskah Tetsuya Oishi terjebak dalam permasalahan klasik adaptasi manga, yakni kesulitan merangkum puluhan bab menjadi satu film panjang. Blade of the Immortal mengambil dua arcs pertama manga-nya yang terdiri atas 79 chapter. Keputusan merangkai durasi sekitar 2 setengah jam sejatinya tepat, tapi gagal dimaksimalkan. Pergerakan narasi tetap jumpy dan buru-buru tatkala Oishi hanya tertarik memasukkan pertarungan demi pertarungan alih-alih menjalin cerita kokoh. Menonton Blade of the Immortal bagai bermain video game yang berpindah dari satu boss battle ke boss battle berikutnya.

Kelemahan alur menanggalkan tujuan filmnya untuk tampil dramatik, padahal setumpuk potensi dapat kita temukan, dari tendensi bunuh diri Manji, hubungan layaknya kakak-adik dirinya dengan Rin, hingga yang paling menarik, motivasi Kagehisa membentuk Ittō-ryū akibat dendam turun temurun yang bisa dipahami. Semua gagal menyentuh puncak kapasitas, sebab pengembangan kisah maupun penokohan tak berjalan baik, termasuk 35 menit terakhir sewaktu alurnya berbelok ke arah berbeda. Still an entertaining samurai movie though

AS THE GODS WILL (2014)

Takashi Miike kembali menjadi seorang jenius gila yang tahu caranya bersenang-senang dalam adaptasi manga berjudul Kami-sama no Iu Toori (As the Gods Will) ini. Setelah menghabiskan beberapa tahun terakhir mencari uang untuk makan (Miike mengatakan itu) lewat film-film ringan macam Ninja Kids dan Ace Attorney, memang sudah saatnya ia kembali menjadi Miike yang dicintai banyak orang. Kekerasan penuh darah, situasi absurd yang hadir seenaknya, hingga komedi gelap yang hitam pekat adalah apa saja yang bakal kita temui dalam film ini. As the Gods Will adalah jawaban jika ada seseorang bertanya "kenapa sang sutradara begitu suka mengadaptasi manga?" Jawabannya mudah. Karena dari materi buku komik, Miike bisa menemukan keluasan fantasi yang dengan mudah memfasilitasi keliaran gayanya. Seolah dia menemukan kebebasan mengekspresikan kegilaan komikal yang mengakar kuat dalam jiwanya. 

Bagaikan tidak sabar, Miike sudah menyodorkan boneka Daruma yang bisa bergerak, bicara, bahkan membunuh orang sedari awal film. Sekelompok siswa SMA terkurung dalam kelas tanpa tahu apa-apa dan dipaksa menjalani permainan maut oleh Daruma tersebut. Sebuah permainan tradisional sederhana, dimana ada satu orang berjaga (Daruma) sambil melantunkan sebaris lirik sedangkan pemain lainnya (siswa) harus bergerak mendekatinya tanpa ketahuan. Jika Daruma berbalik dan mendapati ada yang bergerak/bicara, siswa tersebut akan mati. Cara mereka mati pun dikemas sadis tapi komikal. Kepala mereka meledak, tapi tidak hanya darah yang muncrat, melainkan kelereng berwarna merah dalam jumlah besar. Semua itu hanya awal. Awal dari rangkaian permainan tradisional lain yang dimainkan secara mematikan, karena pemenang dari tiap babak akan lanjut ke permainan lain yang lebih sulit dan tentunya lebih berbahaya. Takashi Miike telah membuat Battle Royale versinya lewat film ini.
Mengingatkan pada Battle Royale karena survival games yang hadir tidak hanya menguji kecepatan berpikir, namun juga fisik serta psikologis pesertanya. Ada beberapa momen dimana kepercayaan dan kesetiaan pada teman-teman mereka diuji. Tapi toh As the Gods Will tidak memiliki atau lebih tepatnya tidak berusaha memiliki drama persahabatan menyentuh seperti film yang diperbandingkan. Satu-satunya drama yang mendapat fokus lebih adalah hubungan antara sang karakter utama, Shun Takahata (Sota Fukushi) dengan dua orang teman wanitanya. Mereka adalah Ichika Akimoto (Hirona Yamazaki) yang merupakan teman Shun sedari kecil, dan Shoko Takase (Mio Yuki) yang sempat dekat dengannya saat SMP dulu. Selipan cinta segitiga di tengah kekacauan absurd penuh darah semacam ini memang terdengar menggelikan. Jika dipaksakan dramatis, bukan kesan emosional kuat yang hadir, namun justru kekonyolan dalam konteks negatif. 

Namun tentu saja Miike sadar akan hal tersebut. Dia membiarkan drama itu mengalir seadanya, tidak berusaha melakukan penggalian lebih. Bagaimana pada akhirnya semua itu terasa emosional adalah saat Miike bertransformasi dari orang gila menjadi seorang yang kejam. Dengan kejamnya, ia memanfaatkan tiga aspek: adegan kematian sadis, wajah cantik nan polos dari Mio Yuki, serta kondisi sebatang kara dari Shun. Alhasil setelah semua ini berakhir, saya yang masih merasa sakit akibat "tusukan" mendalam dari Miike dibuat merasakan kehampaan serupa dengan karakternya. Ending yang seharusnya bahagia itu pun jadi terasa kosong (in a positive way) saat penonton dibuat bertanya-tanya "lalu untuk apa berusaha lolos dari semua ini?" 
Sepanjang film, karakternya sering bermonolog dalam hati guna memohon, bertanya, bahkan mengutuk segala tindakan Tuhan. Seperti yang tersurat dalam perkataan Shun, "Tuhan itu tidak ada, jika memang ada maka Dia sangat kejam." Kemudian jika penonton bertanya kenapa, bagaimana dan untuk apa, mungkin Miike dengan santainya bakal menjawab "semuanya sudah merupakan kehendak Tuhan." Mungkin ceritanya merupakan perwujudan cerdas mengenai orang-orang yang merasa diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Atau bisa saja semua ini hanyalah escapism dari Miike yang tidak mau repot-repot menjelaskan asal muasal makhluk-makhluk aneh pembawa maut tersebut. Karena jika ditanya, toh lagi-lagi ia bisa menjawab "semuanya kehendak Tuhan." Sebenarnya yang manapun tidak masalah, karena keduanya sama-sama berhasil menyuguhkan tontonan menyenangkan. Mungkin pertanyaan di atas akan terjawab oleh sekuelnya kelak jika dibuat.

Dibalik segala kebrutalan dan keabsurdan sureal yang menyenangkan, poin terbaik As the Gods Will adalah permainan-permainan mautnya. Memberikan twist pada game tradisional, menyaring aturannya, lalu mengubahnya menjadi rangkaian permainan mematikan adalah ide yang segar. Setiap permainan mempunyai lawan berbeda, setting berbeda, aturan berbeda, ujian berbeda, dan konsekuensi yang berbeda pula. Hal itu membuat perjalanan film ini tidak pernah membosankan, selalu bergerak dalam kecepatan serta intensitas yang stabil. Ditambah efek CGI yang meski tidak terlalu mahal namun bersinkronisasi sempurna dengan tone "tidak serius" khas seorang Takashi Miike, kesenangan yang dihadirkan film ini pun seolah tak ada habisnya.