Tampilkan postingan dengan label Steven Yeun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Steven Yeun. Tampilkan semua postingan

REVIEW - NOPE

Kita menyukai spektakel. Sebuah tontonan menghibur. Itu sebabnya media rekam termasuk film diciptakan. Supaya objek hiburan dapat diabadikan, abadi dalam rekaman sejarah. Tapi apakah ketertarikan kita dibarengi kepedulian terhadap objek tersebut? Ataukah cuma perannya sebagai penghibur yang kita pedulikan, tetapi tidak dengan eksistensi aslinya? Lalu apakah semua "hal menarik" perlu dijadikan tontonan? Nope merupakan spektakel mengenai spektakel.

Selepas teks yang mengutip Nahum 3:6 dari Alkitab yang membicarakan "tontonan" dalam definisi berbeda, Nope dibuka oleh peristiwa misterius di sebuah soundstage. Apa yang terjadi? Mengapa studio yang tadinya riuh mendadak kosong? Kenapa seekor simpanse berdiri berlumuran darah? Sebelum memperoleh jawabannya, kita langsung diajak menemui sang protagonis, Otis Haywood Jr. alias OJ (Daniel Kaluuya). Sekali lagi peristiwa misterius terjadi. Ayah OJ, Otis Haywood Sr. (Keith David) tewas. Koin logam menembus matanya. Sedangkan sebuah kunci menancap di tubuh kuda yang ditunggangi Otis Sr. Sebagaimana di dua film pertamanya, Jordan Peele masih cerdik memancing rasa penasaran. 

Sepeninggal sang ayah, OJ melanjutkan usaha merawat serta melatih kuda untuk produksi film dan televisi. Adiknya, Em (Keke Palmer), turut membantu meski tak menaruh minat di sana. Keluarga Haywood memang punja sejarah panjang di industri Hollywood. Konon kakek buyut OJ adalah penunggang kuda dalam Animal Locomotion milik Eadweard Muybridge, yakni kumpulan foto-foto pertama yang dipakai membuat gambar bergerak. 

Seorang pria kulit hitam berkontribusi di awal sejarah sinema. Tapi tak banyak orang tahu. Atau mereka sebatas tak peduli, dan menganggapnya objek tontonan belaka dalam industri yang didominasi kulit putih? Begitu pula dengan kuda-kuda. Para kru di sebuah proyek produksi iklan tak mengindahkan anjuran OJ untuk berhati-hati memperlakukan si kuda, sehingga berujung kekacauan. 

Lalu ada Jupe (Steven Yeun), mantan aktor cilik yang kini mengelola taman hiburan. Melalui cerita Jupe, kita tahu bahwa adegan pembuka Nope bertempat di lokasi produksi komedi situasi Gordy's Home yang ia bintangi. Gordy merupakan nama simpanse yang tiba-tiba mengamuk, melukai bahkan membunuh seluruh cast kecuali Jupe. Karir Jupe hancur seketika. Dia dan simpanse itu juga objek spektakel yang dieksploitasi, tanpa dipedulikan kesejahteraannya di balik layar. Ironisnya, sekarang Jupe mengeksploitasi tragedi itu demi uang. 

Sampai di sini rasanya sudah bisa dipahami kritik yang Peele lempar. Tapi di mana UFO-nya? OJ dan Em perlahan menyadari bahwa sebuah UFO yang bersembunyi di balik awam bertanggung jawab atas kematian sang ayah. Dibantu Angel Torres (Brandon Perea) si teknisi toko alat elektronik dan Antlers Holst (Michael Wincott) selaku sinematografer ternama, kakak-beradik ini berniat merekam penampakan UFO demi pundi-pundi uang. 

Persoalan UFO memang tak langsung diangkat, sebab berbeda dibanding Get Out dan Us, Peele menyajikan satu jam pertama dengan lambat, baik secara tempo, maupun progresi cerita. Ada kalanya pendekatan tersebut didukung oleh kesesuaian suasana, termasuk imageries atmosferik lewat kamera Hoyte van Hoytema, tapi tidak jarang, esensi pacing itu patut dipertanyakan. Nope berjalan kurang pasti di antara hiburan ala Spielberg dan horor/sci-fi alternatif.

Bermodalkan 68 juta dollar, Nope adalah film termahal Peele sejauh ini. Pertumbuhan bujet yang masuk akal mengingat UFO berbasis CGI turut dilibatkan, dan Peele mampu memaksimalkannya. Pasca sejam pertama yang bergulir lambat, Nope bertransformasi jadi spektakel seru, sambil memodifikasi formula film bertema UFO. Peele bersenang-senang, dan bagi saya memang itulah yang selalu ia lakukan. 

Banyak orang menyebut gaya bertuturnya "sok pintar", tapi saya lebih suka memandang ambisi Peele tampil beda sebagai caranya bersenang-senang. Di ketiga filmnya, Peele bak anak-anak yang bebas memainkan apa saja. Mungkin cuma ia yang bersedia mengutak-atik templat UFO dalam medium film, termasuk mengambil inspirasi dari Neon Genesis Evangelion di third act-nya.

Walau demikian harus diakui bahwa dalam hal melempar pesan, sketsanya bersama Keegan-Michael Key, Key & Peele, tampil lebih mulus dan tajam ketimbang film layar lebarnya. Pilihan konklusi Nope sendiri memunculkan kontradiksi dengan kritik yang dibangun, sehingga melemahkan satir mengenai spektakel miliknya. Biarpun dalam statusnya sendiri sebagai spektakel, Nope tetap tampil solid.

REVIEW - MINARI

Di Korea Selatan, saat sepasang suami istri telah dikaruniai buah hati, panggilan mereka berubah sesuai nama sang anak. Kedua orang tua Anne di Minari misalnya. Ayahnya dipanggil "Anne appa", sedangkan ibunya "Anne eomma". Bukan berarti status individu mereka lenyap. Selain karena menyebut nama orang lain bisa dianggap tidak sopan di sana, aspek kultural tersebut turut menegaskan kuatnya nilai kekeluargaan. Bagaimana sekali lagi, keluarga adalah harta paling berharga yang mesti diprioritaskan. 

Bagi Jacob (Steven Yeun) dan Monica (Han Ye-ri), selaku imigran yang telah menetap bertahun-tahun di Amerika, penggunaan panggilan di atas bak cara keduanya mempertahankan identitas. Tapi kini keduanya berada di persimpangan. Haram hukumnya kehilangan jati diri, namun adaptasi juga wajib dilakukan. Bukan perkara gampang menentukan, mana yang harus dijaga, mana yang perlu disesuaikan sebagai bentuk toleransi dalam usaha beradaptasi.

Jacob membawa istri beserta kedua anaknya, Anne (Noel Kate Cho) dan David (Alan Kim), pindah dari California ke daerah rural di Arkansas. Jengah akan pekerjaannya memilah kelamin anak ayam, Jacob memutuskan menapaki American dream, mewujudkan impiannya mengelola lahan pertanian sendiri. Monica sejatinya kurang setuju. Urusan finansial, karena Jacob memakai sebagian besar tabungan untuk ambisinya itu, jadi kekhawatiran terbesar Monica. Belum lagi soal kondisi kesehatan David. Jantung si bocah lemah, dan menurut dokter, bisa berhenti berdetak tiap saat. 

Dilandasi ambisi agar tidak menjadi seperti ayam jantan, yang dibuang di tempat pemotongan karena dianggap tidak berguna, Jacob pantang mundur. Dibantu Paul (Will Patton), pria lokal yang tiap minggu mengitari desa sembari memanggul salib raksasa layaknya Yesus, lahan mulai diolah. Jacob yakin, dengan etos kerja serta kecerdasan khas Korea, ia bakal berhasil. Jacob kukuh menerapkan caranya, termasuk saat menolak bantuan mencari sumber air menggunakan dowsing. Menurutnya, orang Amerika sungguh bodoh karena mempercayai metode macam itu. 

Di sinilah gesekan bermula, baik dalam diri Jacob sendiri, maupun di internal keluarga. Dia ingin menggapai American dream (alasannya memilih bercocok tanam mungkin karena di berbagai media, mempunyai ladang luas kerap diidentikkan denga kehidupan nyaman nan tentram di Amerika), namun memandang sebelah mata pola pikir setempat. Sebaliknya, kengototan mempertahankan jati diri justru nampak kontradiktif, tatkala Jacob mulai menomorduakan keluarga. Naskah yang dibuat oleh sang sutradara, Lee Isaac Chung, memaparkan dinamika hidup para imigran melalui benturan-benturan di atas. 

Sementara itu, karena Monica pun harus bekerja di tempat pemotongan ayam, datanglah sang ibu, Soon-ja (Youn Yuh-jung), guna membantu menjaga Anne dan David. Awalnya David menolak kehadiran Soon-ja, yang baginya "bukan nenek", akibat tidak bisa memasak kue, hobi main kartu, kerap melempar sumpah serapah, dan menghabiskan hari menonton gulat di televisi. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan. Jadi, apa syarat seseorang bisa disebut nenek? Apa itu keluarga? Dan tentunya, "Apa itu rumah?".

Pastinya, Minari terasa bagaikan rumah yang hangat dan dipenuhi keping-keping memori. Seluruh departmennya memancarkan kesan serupa. Contohnya musik gubahan Emile Mosseri, yang bahkan sejak opening sudah memancing tetes-tetes air mata, lewat alunan minimalis disertai choir bernuansa dreamy yang sarat keindahan (dengarkan lagu Big Country). Begitu pula bagaimana Lachlan Milne menyajikan lanskap bertemunya hamparan padang hijau dengan langit biru melalui kameranya. Semua berkat sensitivitas.

Sensitivitas yang dikomandoi oleh Lee Isaac Chung, yang jelas paham betul pondasi-pondasi kisahnya, mengingat Minari dibuat berdasarkan kenangan masa kecilnya. Lagi-lagi sensitivitas di ranah familial memang keunggulan sineas Asia. Kemudian, kala sensitivitas itu dipertemukan dengan penonton Asia juga, hasilnya adalah kedekatan yang memperkuat dampak emosi, bahkan dari hal-hal kecil. Kalimat "What do you say?", yang selalu diucapkan Jacob kepada David tiap puteranya itu menerima sesuatu, pasti akan mengembalikan anda menuju momen masa kecil, sewaktu orang tua berkata, "Hayo, bilang apa?".

Fokus Lee adalah memainkan rasa secara natural melalui rangkaian keintiman. Sebuah dekapan, pelukan, atau sekadar tatapan lembut, menyimpan sejuta makna. Pendekatan yang turut dipakai oleh jajaran pemainnya. Steven Yeun dan Han Ye-ri melahirkan pasangan suami istri, yang meski kerap berbeda pandangan, tak pernah memaksa penonton memilih salah satu pihak. Karena kita tahu, pada dasarnya mereka sama-sama berjuang bagi keluarga. Sedangkan Youn Yuh-jung mencurahkan hati, kasih sayang yang amat besar, sehingga kala menyaksikannya, kerinduan akan masa kecil, di mana kedamaian dan kenyamanan kita dapatkan dari berbaring di pangkuan orang tua/nenek, seketika membuncah. Terakhir, jangan lupakan Alan Kim. Bocah tujuh tahun ini luar biasa. Sungguh luar biasa!


Available on iTUNES