Tampilkan postingan dengan label Keke Palmer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keke Palmer. Tampilkan semua postingan

REVIEW - NOPE

Kita menyukai spektakel. Sebuah tontonan menghibur. Itu sebabnya media rekam termasuk film diciptakan. Supaya objek hiburan dapat diabadikan, abadi dalam rekaman sejarah. Tapi apakah ketertarikan kita dibarengi kepedulian terhadap objek tersebut? Ataukah cuma perannya sebagai penghibur yang kita pedulikan, tetapi tidak dengan eksistensi aslinya? Lalu apakah semua "hal menarik" perlu dijadikan tontonan? Nope merupakan spektakel mengenai spektakel.

Selepas teks yang mengutip Nahum 3:6 dari Alkitab yang membicarakan "tontonan" dalam definisi berbeda, Nope dibuka oleh peristiwa misterius di sebuah soundstage. Apa yang terjadi? Mengapa studio yang tadinya riuh mendadak kosong? Kenapa seekor simpanse berdiri berlumuran darah? Sebelum memperoleh jawabannya, kita langsung diajak menemui sang protagonis, Otis Haywood Jr. alias OJ (Daniel Kaluuya). Sekali lagi peristiwa misterius terjadi. Ayah OJ, Otis Haywood Sr. (Keith David) tewas. Koin logam menembus matanya. Sedangkan sebuah kunci menancap di tubuh kuda yang ditunggangi Otis Sr. Sebagaimana di dua film pertamanya, Jordan Peele masih cerdik memancing rasa penasaran. 

Sepeninggal sang ayah, OJ melanjutkan usaha merawat serta melatih kuda untuk produksi film dan televisi. Adiknya, Em (Keke Palmer), turut membantu meski tak menaruh minat di sana. Keluarga Haywood memang punja sejarah panjang di industri Hollywood. Konon kakek buyut OJ adalah penunggang kuda dalam Animal Locomotion milik Eadweard Muybridge, yakni kumpulan foto-foto pertama yang dipakai membuat gambar bergerak. 

Seorang pria kulit hitam berkontribusi di awal sejarah sinema. Tapi tak banyak orang tahu. Atau mereka sebatas tak peduli, dan menganggapnya objek tontonan belaka dalam industri yang didominasi kulit putih? Begitu pula dengan kuda-kuda. Para kru di sebuah proyek produksi iklan tak mengindahkan anjuran OJ untuk berhati-hati memperlakukan si kuda, sehingga berujung kekacauan. 

Lalu ada Jupe (Steven Yeun), mantan aktor cilik yang kini mengelola taman hiburan. Melalui cerita Jupe, kita tahu bahwa adegan pembuka Nope bertempat di lokasi produksi komedi situasi Gordy's Home yang ia bintangi. Gordy merupakan nama simpanse yang tiba-tiba mengamuk, melukai bahkan membunuh seluruh cast kecuali Jupe. Karir Jupe hancur seketika. Dia dan simpanse itu juga objek spektakel yang dieksploitasi, tanpa dipedulikan kesejahteraannya di balik layar. Ironisnya, sekarang Jupe mengeksploitasi tragedi itu demi uang. 

Sampai di sini rasanya sudah bisa dipahami kritik yang Peele lempar. Tapi di mana UFO-nya? OJ dan Em perlahan menyadari bahwa sebuah UFO yang bersembunyi di balik awam bertanggung jawab atas kematian sang ayah. Dibantu Angel Torres (Brandon Perea) si teknisi toko alat elektronik dan Antlers Holst (Michael Wincott) selaku sinematografer ternama, kakak-beradik ini berniat merekam penampakan UFO demi pundi-pundi uang. 

Persoalan UFO memang tak langsung diangkat, sebab berbeda dibanding Get Out dan Us, Peele menyajikan satu jam pertama dengan lambat, baik secara tempo, maupun progresi cerita. Ada kalanya pendekatan tersebut didukung oleh kesesuaian suasana, termasuk imageries atmosferik lewat kamera Hoyte van Hoytema, tapi tidak jarang, esensi pacing itu patut dipertanyakan. Nope berjalan kurang pasti di antara hiburan ala Spielberg dan horor/sci-fi alternatif.

Bermodalkan 68 juta dollar, Nope adalah film termahal Peele sejauh ini. Pertumbuhan bujet yang masuk akal mengingat UFO berbasis CGI turut dilibatkan, dan Peele mampu memaksimalkannya. Pasca sejam pertama yang bergulir lambat, Nope bertransformasi jadi spektakel seru, sambil memodifikasi formula film bertema UFO. Peele bersenang-senang, dan bagi saya memang itulah yang selalu ia lakukan. 

Banyak orang menyebut gaya bertuturnya "sok pintar", tapi saya lebih suka memandang ambisi Peele tampil beda sebagai caranya bersenang-senang. Di ketiga filmnya, Peele bak anak-anak yang bebas memainkan apa saja. Mungkin cuma ia yang bersedia mengutak-atik templat UFO dalam medium film, termasuk mengambil inspirasi dari Neon Genesis Evangelion di third act-nya.

Walau demikian harus diakui bahwa dalam hal melempar pesan, sketsanya bersama Keegan-Michael Key, Key & Peele, tampil lebih mulus dan tajam ketimbang film layar lebarnya. Pilihan konklusi Nope sendiri memunculkan kontradiksi dengan kritik yang dibangun, sehingga melemahkan satir mengenai spektakel miliknya. Biarpun dalam statusnya sendiri sebagai spektakel, Nope tetap tampil solid.

REVIEW - LIGHTYEAR

Menjadi box office-flop terbesar Pixar (mempertimbangkan pandemi yang mereda, perilisan teatrikal, bujet 200 juta, dan merk dagang Toy Story), ulasan yang cenderung mixed, kontroversi terkait elemen LGBT yang berujung pembatalan rilis di belasan negara termasuk Indonesia. Tapi apakah Lightyear memang bencana besar ditilik dari segi kualitas? 

Babak pertamanya jauh dari kesan tersebut. Buzz Lightyear (Chris Evans) dan sahabatnya, Alisha Hawthorne (Uzo Aduba), tergabung di kesatuan space ranger yang mengawal penjelajahan luar angkasa, untuk mencari planet layak huni. Tibalah mereka di T'Kani Prime, yang kemudian dianggap berbahaya akibat banyaknya makhluk buas. Tapi sebuah kecelakaan akibat kesalahan perhitungan Buzz membuat pesawat gagal lepas landas sekaligus merusak sumber bahan bakar, sehingga memaksa semua orang menetap sementara waktu di sana, sembari mencari cara melanjutkan perjalanan.

Kegagalan Buzz membawa dampak mengejutkan. Bukan cuma karena ia merupakan space ranger tangguh penuh percaya diri, pula bagaimana Angus MacLane selaku sutradara, membangun sense of dread kuat dari kegagalan itu (fade to black, musik mencekam). 

Setahun berselang, bahan bakar baru telah siap dicoba, dan first act-nya makin menarik, saat uji terbang Buzz membawanya mengalami time dilation. Walau cuma berada di luar angkasa selama beberapa menit, Buzz mendapati sudah empat tahun berlalu di T'Kani Prime. Tapi Buzz enggan menyerah, terus melakukan uji terbang hingga 62 tahun berlalu. Efek time dilation membuat petualangan Buzz tak terbatas tatanan waktu, sehingga kalimat ikonik "To infinity and beyond" pun jadi kenyataan. 

Selain status sebagai "film yang ditonton Andy", elemen science fiction dalam efek time dilation, serta eksplorasi luar angkasa bak Star Trek, merupakan ide segar yang dibawa naskah buatan MacLane dan Jason Headley, agar Lightyear tampil beda dibanding installment utama di seri Toy Story. Ditambah montage menyentuh berupa penggambaran berlalunya waktu, juga keberhasilan Evans menghidupkan Buzz tanpa harus meniru suara Tim Allen, kekecewaan atas film ini terasa berlebihan. Sampai babak keduanya datang.

Babak kedua membawa kisahnya melompat lagi, kali ini sejauh 22 tahun, di mana T'Kani Prime sedang menghadapi invasi pasukan robot di bawah pimpinan Zurg (James Brolin). Sudah pasti Buzz enggan tinggal diam dan merencanakan perlawanan dibantu Sox (Peter Sohn), robot kucing pemberian Alisha; Izzy (Keke Palmer), cucu Alisha yang bukan seorang space ranger tangguh seperti sang nenek; Mo (Taika Waititi) yang naif dan kikuk; serta Darby (Dale Soules) si wanita tua perakit bom. 

Banyak keluhan berasal dari betapa ringannya cerita Lightyear, yang setelah melewati tetek bengek perjalanan waktunya, memang mengikuti pola petualangan luar angkasa sederana. Tapi bagi saya, anggapan bahwa produk Pixar wajib menghadirkan banjir air mata sekaligus dilengkapi alur "berat", sejatinya kurang tepat. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, ketika animasi Pixar dan Walt Disney mulai "disamarkan". Pixar berubah lebih ringan bukanlah kesalahan atau degradasi kualitas. Menjadi demikian kala kesolidan bercerita ikut lenyap, sebagaimana dialami Lightyear. 

Ceritanya berpusat pada proses belajar para karakter. Buzz belajar memercayai orang lain, lalu bersedia bekerja sama dengan mengurangi ego. Sedangkan jajaran karakter pendukung coba memperbaiki diri dengan memahami kelebihan yang mereka miliki. Misalnya Izzy. Biarpun cucu space ranger legendaris, ia mengidap fobia luar angkasa, yang dirasa menyeramkan karena terdiri atas kekosongan tanpa batas. Nantinya, Izzy belajar mengubah sudut pandang, sebab kekosongan tadi sama artinya dengan ketiadaan rintangan. 

Tentu sebelum memperoleh "pencerahan", semua karakter mesti bergulat dengan kesalahan bahkan kegagalan. Fase tersebut wajib ada, namun naskah Lightyear terlalu bergantung pada kecerobohan mereka untuk menggulirkan cerita. Sekali, dua kali, masih wajar. Lain soal jika mayoritas konflik dipicu blunder bodoh karakternya. Pertama, itu menandakan naskahnya minim kreativitas. Seolah daya cipta para penulis telah habis dipakai kala memikirkan konsep time dilation

Kedua, rentetan kebodohan itu menyulitkan timbulnya simpati kepada karakternya (Not Sox. Sox is funny and likeable). Pengarahan MacLane berhasil membangun klimaks uplifting sekaligus intens, di mana semua karakter akhirnya mampu bekerja sama. Tapi pasca barisan kebodohan tadi, satu peristiwa itu saja masih kurang untuk meyakinkan bahwa proses belajar karakternya telah tuntas. Walau momennya dieksekusi dengan baik, tidak dengan perjalanan menuju ke sana.

(SPOILER ALERT) Contoh lain kelemahan naskahnya terletak pada cara menangani twist soal identitas Zurg. Bagaimana Buzz, yang amat memedulikan Alisha, pula melihat langsung kebahagiaan sang sahabat bersama keluarganya, terpikir untuk menghapus semua itu dari eksistensi memang patut dipertanyakan (sekali lagi bentuk ketidakmampuan naskah mempresentasikan proses secara mumpuni), namun penerapan unsur fiksi ilmiahnya lebih mengganggu. MacLane dan Headley luput menjelaskan bagaimana time dilation berujung terciptanya peristiwa alternatif (yang mana dua fenomena berbeda). (SPOILER ENDS)

Sebagai hiburan, Lightyear punya ide-ide spektakel memadai khas blockbuster mahal, yang didukung kemampuan MacLane mengarahkan aksi solid, juga animasi realistis. Sekali lagi, tidak masalah bila "hanya" itu tujuan film ini. Lightyear mengecewakan bukan karena tak bercerita dengan gaya khas Pixar. Lightyear mengecewakan karena tak bercerita dengan baik. Itu saja.  

(Disney+ Hotstar)

HUSTLERS (2019)

Diangkat dari artikel bertajuk The Hustlers at Scores buatan Jessica Pressler yang dipublikasikan majalah New York pada 2015, Hustlers membungkus feminisme dalam sampul bernama keluarga yang memayungi wanita-wanita bermental baja. Kata “keluarga” memegang kunci. Hustlers mampu memilah, mana perjuangan yang didorong keinginan saling membantu sebagai satu “keluarga”, mana yang semata hasutan keserakahan dan kemarahan.

Perspektif di atas patut dirayakan, sebab kisahnya berjalan di area ambigu kriminalitas. Sedikit saja salah melangkah, tercipta justifikasi atas nama empowerment. Tapi sutradara sekaligus penulis naskah Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World, The Meddler) tidak buru-buru memaparkan elemen kriminalnya. Terlebih dulu kita diajak menilik latar belakangnya, melalui sudut pandang Destiny (Constance Wu) yang tengah diwawancarai oleh jurnalis bernama Elizabeth (Julia Stiles) pada 2014.

Mundur menuju tujuh tahun sebelumnya, Destiny baru memulai karir sebagai penari telanjang di Moves, klub yang akan membuat pecinta musik kegirangan karena di situlah nama-nama seperti Cardi B, Lizzo, sampai Usher muncul dalam peran singkat namun berkesan. Dituntut membiayai hidup neneknya (Wai Ching Ho), Destiny justru kesulitan memperoleh uang akibat belum menguasai teknik memikat pelanggan. Beruntung ia berkenalan dengan Ramona Vega (Jennifer Lopez) sang primadona, yang dimintanya berbagi ilmu. Berawal dari hubungan tutor-murid, perlahan tumbuh persahabatan.

Selain ajang unjuk gigi kepiawaian Jennifer Lopez yang berlatih pole dance selama 2,5 bulan sebelum proses produksi, sekuen di mana Ramona pertama kali mengajari Destiny menari juga memperlihatkan sensitivitas Scafaria terkait penerjemahan rasa ke dalam adegan. Ketimbang musik dansa elektronik, alunan komposisi bak musik klasik dari dentingan piano justru dipakai. Pole dance di klub yang biasanya identik dengan seksualitas dipancarkan keindahan estetikanya, sebagaimana jajaran karakternya yang merobohkan stigma negatif profesi penari telanjang.

Pernah menulis naskah Nick & Norah’s Infinite Playlist (2008) yang menjadikan musik selaku elemen penting serta pernah merilis album musik, Scafaria terbukti handal perihal mengawinkan departemen audio dan visual. Di adegan yang menggambarkan mimpi buruk Destiny, sang sutradara memilih mematikan semua suara kecuali iringan piano bertempo tinggi untuk membangun intensitas yang mengingatkan pada film-film bisu di masa lalu. Pun siapa sangka lagu Royal milik Lorde bisa mengangkat kesan dramatis sebuah peristiwa, menjadikannya suatu pemandangan monumental.

Kembali ke cerita, berkat bimbingan Ramona, Destiny berhasil mengumpulkan uang, sampai krisis ekonomi 2008 menerpa. Para pelanggan kaya menghilang, Moves menderita kesulitan finansial, memisahkan Destiny dan Ramona. Sempat mencoba melakukan pekerjaan lain, Destiny yang telah menjadi ibu tunggal memilih kembali ke dunia malam di Moves. Tapi kondisi telah berubah. Pekerja di sana diisi para imigran Rusia yang bersedia melakukan oral seks (praktek yang sebelumnya dilarang) hanya demi $300.

Kecerdikan Scafaria menarik  garis antara peristiwa nyata dengan pesan tentang gender yang ingin disampaikan nampak di sini. Pria-pria pengunjung peminta blow job ibarat pelaku perbudakan yang ingin mengambil keuntungan dari kesusahan wanita-wanita pekerja, sedangkan Destiny mewakili wanita yang menolak diperbudak. Nantinya turut diungkap bahwa alasan para pria korban trik Destiny dan Ramona (trik macam apa akan saya bahas) menolak melaporkan ke polisi adalah karena malu telah menjadi korban wanita. Harga diri hasil kebanggaan maskulinitas mereka terlampau tinggi, hingga berujung kebodohan.

Tapi Hustlers bukan tuturan dangkal hitam-putih yang membenarkan seluruh perbuatan karakter wanitanya sembari menggambarkan mereka sebagai sosok sempurna dan membuat semua pria terlihat buruk. Untuk mengulik itu, perlu kita tengok dulu bagaimana Destiny dan Ramona bereuni. Bertemu kembali setelah sekian lama, Ramona menawarkan metode penimbun uang baru. Bersama penari lain, Mercedes (Keke Palmer) dan Annabelle (Lili Reinhart), Ramona berburu pria kaya yang bersedia digoda, memberi minuman berisi campuran ketamin dan MDMA guna menghilangkan memori serta kesadaran, lalu menguras kartu kredit mereka. Destiny beredia ikut serta.

Hustlers pun beralih menyentuh genre heist yang dikemas menyenangkan, khususnya karena Scafaria tahu jika Hustlers sedang merambah sisi hiburan miliknya. Beberapa sentuhan komedi dengan ketepatan timing efektif menyegarkan suasana. Penonton pun bisa lepas tertawa, sebab korban yang dipilih protagonisnya merupakan pria-pria kaya hidung belang. Pun kelak, kejatuhan mereka dipicu kesalahan memilih korban akibat keserakahan yang tak terkontrol, menegaskan bahwa film ini bukan empowerment yang “buta”.

Bukannya penceritaan Hustlers nihil cela. Memasuki titik balik di mana hubungan kekeluargaan karakternya mulai menemui benturan-benturan, seolah ada keping kisah yang hilang, ada fase transisi yang dilewati demi mempercepat progresi alur. Pun metode non-linear yang diterapkan tidak sepenuhnya berlangsung mulus. Meski menampilkan keterangan latar tahun, pertanyaan-pertanyaan seputar “Kapan pastinya suatu hal terjadi? Sebelum atau setelah peristiwa ‘A’?”, dan sebagainya.

Beruntung lubang narasi di atas bisa ditutupi kesuksesan Scafaria mengolah rasa. Baik penulisan dialog maupun pengadeganannya dibuat dengan hati, yang terpampang nyata dalam pemandangan emosional di depan kantor polisi, yang kekuatannya dibangun berdasarkan kalimat “motherhood is a mental illness”. Constance Wu yang sejak Crazy Rich Asians tahun lalu mencapai level popularitas baru, membuktikan konsistensi performa lewat caranya bermain rasa, namun bintang sesungguhnya adalah Jennifer Lopez.

Menampilkan akting terbaik sepanjang karirnya, J.Lo ibarat rock star dengan karisma tanpa tanding yang menguasai seluruh panggung bernama “layar” (well, she’s actually a diva). Di tangan Lopez, Ramona jadi sosok kompleks. Bukan rubah licik yang gemar menebar tipu daya, melainkan wanita berhati pesar penuh kasih sayang yang terhimpit realita. Dan ketika Lopez berjalan di depan kawan-kawannya dalam balutan gerak lambat, dia bukan seorang pemimpin biasa. Dia adalah simbol.