REAL FICTION (2000)
Pada film keempatnya ini, Kim Ki-duk melakukan sebuah eksperimen dalam proses pembuatannya. Real Fiction memang dikenal karena cerita unik yang terjadi saat proses syuting dimana film ini dibuat tanpa adanya retake dan secara real time. Proses tersebut dilakukan setelah berjam-jam melakukan rehearsal. Pada akhirnya Ki-duk menempatkan beberapa kamera termasuk kamera yang statis di beberapa lokasi sehingga film ini terlihat seolah sedang menangkap kejadian nyata yang tengah terjadi. Format real time dan tidak adanya pengambilan gambar ulang jelas menjadi sebuah tantangan tersendiri khususnya bagi para aktor dan aktrisnya yang benar-benar harus hidup dalam jalan cerita film ini dan lebih mirip seperti sedang mementaskan drama teater dibandingkan melakukan syuting film. Dengan dibantu beberapa sutradara dan kru, Ki-duk pada akhirnya berhasil membuat sebuah karya eksperimental ini. Tapi masalahnya setiap karya eksperimental belum tentu berhasil dengan baik. Pertanyaannya apakah Real Fiction masuk dalam daftar eksperimen yang gagal atau berhasil?
Film ini berkisah tentang seorang pelukis foto wajah jalanan yang harus bersusah payah untuk bisa bertahan hidup sebagai seorang seniman. Karyanya tidak pernah dihargai baik itu oleh para konsumen ataupun oleh pihak agensi. Bahkan di tempat biasa bekerja, diapun masih harus mendapat gangguan dari para preman tukang palak yang selalu menagih uang darinya dan para pedagang lain. Sampai kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang terus-terusan merekam aktifitasnya dari dekat. Sang pelukis ini akhirnya mengikuti kemana sang wanita pergi, dimana mereka menuju sebuah tempat seperti panggung teater. Disana sang pelukis bertemu pria misterius yang menjadi gambaran sisi lain atau bisa dibilang kata hati dirinya. Disana ia disadarkan tentang orang-orang yang pernah dan sedang menyakiti perasaannya. Dari pertemuannya dengan kata hatinya itulah sang pelukis pada akhirnya melakukan sebuah "penghukuman" bagi mereka yang telah menyakiti dan merusak hidupnya selama ini.
Bicara soal segi teknis berkaitan dengan proses syutingnya yang eksperimental tersebut, Kim Ki-duk patut mendapat apresiasi tinggi. Jika sebelum menonton film ini saya tidak tahu kisah dibalik pembuatannya atau jika saya tidak jeli saat menonton mungkin saya tidak akan sadar bahwa film ini dibuat tanpa retake. Tapi jika anda jeli mengamati akan terlihat beberapa orang yang tidak sadar bahwa sedang ada syuting film lalu menutupi pandangan kamera, lalu kemudian muncul satu orang yang kemungkinan adalah kru mencoba menarik beberapa orang itu menyingkir dari sana. Sebuah pemandangan menarik karena proses tersebut berjalan dengan lancar. Dengan teknik seperti ini untungnya para pemainnya mampu tampil maksimal dan menunjukkan ekspresi serta emosi yang bisa membangun suasana film, khususnya dari Ju Jin-mo yang memerankan karakter pelukis. Kita pada akhirnya akan melihat sebuah akting yang lebih dekat dengan pementasan teater daripada akting dalam film dikarenakan teknik pengambilan gambar tersebut. Penggunaan teknik tanpa retake ini sebenarnya juga cukup
berpengaruh pada beberapa adegan semisal adegan pembunuhan yang tidak
kesemuanya bisa diperlihatkan secara gamblang karena keterbtasan teknik
tersebut.
Tapi bagaimana dengan sisi cerita yang biasanya jadi andalan Kim Ki-duk? Ironisnya disaat teknik pembuatan filmnya eksperimental, kisah yang ditampilkan dalam Real Fiction jauh dari kesan unik seperti yang biasa dijumpai dalam film-film Ki-duk. Bahkan untuk ukuran film-film biasa, alur yang ditampilkan dalam film ini termasuk standar meski masih menempatkan beberapa porsi sureal didalamnya. Tidak ada yang spesial dari ceritanya, dimana kita hanya akan diajak melihat si tokoh utama membunuh satu demi satu orang yang menjadi "musuhnya". Semua itu ditampilkan secara biasa saja tanpa ada inovasi. Plotnya hanya memperlihatkan sang tokoh membunuh satu orang, lalu berpindah ke tempat lain untuk membunuh orang berikutnya dan seterusnya hanya seperti itu. Untuk ukuran sebuah film bertema vengeance film ini punya jalan cerita yang jauh dari kesan spesial, bahkan yang lebih terasa justru aroma slasher. Seperti biasa masih ada konten seksual dan kekerasan dalam film Ki-duk yang satu ini, dan itu juga salah satu poin yang membuat saya tetap tertarik mengikuti aksi balas dendam yang sebetulnya kurang menarik ini.
Metafora yang dimasukkan Ki-duk dalam Real Fiction juga bukanlah suatu hal yang akan membuat penonton berpikir terlalu keras karena semuanya biasa saja. Bahkan sebuah twist ending yang ditampilkan juga sudah termasuk basi jika dilihat dari kaca mata penonton sekarang. Ya, seperti judulnya ini adalah sebuah kisah yang dalam universe filmnya sendiri berupa fiksi namun juga berupa kenyataan tentang bagaimana seseorang berhasrat membalas dendam atas segala rasa sakit yang ia terima dari orang lain. Mungkin orang itu tidak berani membalas dendam tersebut, tapi jauh didalam hatinya pasti ada dorongan untuk membalasnya dengan cara terekstrim sekalipun yaitu membunuh. Lalu muncul pertanyaan mengenai siapakah sosok wanita yang terus menerus merekam gerak sang pelukis? Pertanyaan itu memunculkan interpretasi bahwa film ini juga menjadi gambaran sosok Kim Ki-duk sendiri. Ki-duk bisa disamakan dengan sosok sang pelukis, yakni seorang seniman yang bekerja dengan gayanya namun sering mendapat reaksi negatif baik dari kritikus, media sampai penonton sekalipun tidak jarang yang mencelanya. Berbagai tanggapan miring tentang karyanya seringkali terdengar. Berkaitan dengan interpretasi itu bisa saja sang wanita adalah gambaran dari pihak media masa yang selalu merekam dan mengikuti gerak-gerik Ki-duk apapun yang ia lakukan untuk mengetahui baik buruk dari dirinya, yang mana itu membuat Ki-duk gerah.
Pada akhirnya Real Fiction memang adalah salah satu karya paling eksperimental dari Kim Ki-duk sampai saat ini, bahkan mungkin salah satu karya eksperimental dari dunia perfilman. Meski punya hasil akhir yang tidak bisa dibilang luar biasa salah satunya terkait dengan jalan ceritanya yang terlalu sederhana dan tidak punya bobot seperti film-film sang sutradara lainnya, saya masih tetap bisa menikmati filmnya, toh saya juga bisa menikmati film-film slasher yang juga hanya asal bunuh. Overall bukan salah satu karya Ki-duk favorit saya tapi masih sebuah film yang memuaskan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar