MILEA: SUARA DARI DILAN (2020)

15 komentar
Berlawanan dengan prinsip banyak pecinta film, saya mendukung keberlangsungan sekuel, prekuel, atau ragam bentuk karya “non-original” lain yang bertujuan mendulang keuntungan finansial. Eksistensinya berguna menyehatkan industri. Tapi Milea: Suara dari Dilan terlalu jauh mendorong batasan produk berorientasi profit, dengan menyamarkan diri sebagai pelengkap perspektif terhadap seri film Dilan, walau mayoritas hanya rangkuman kisah-kisah sebelumnya.

Kisahnya dibuka oleh narasi meta dari Dilan (Iqbaal Ramadhan), tentang bagaimana Pidi Baiq mengadaptasi kisah cintanya dan Milea (Vanesha Prescilla) menjadi dua novel dari sudut pandang si gadis. Kini, dalam rangka penulisan novel ketiga, giliran perspektif Dilan yang diangkat. Seperti judulnya, kali ini penonton mendengarkan suara Dilan guna memandang kisah melalui sisinya. Pertanyaannya, seberapa banyak pemahaman baru yang didapat setelah menyaksikan film ini?

Milea: Suara dari Dilan bermaksud melengkapi Dilan 1990 (review) dan Dilan 1991 (review) sebagai film kolektif. Bentuk tersebut kira-kira tidak jauh beda dengan The Disappearance of Eleanor Rigby (2013) yang terdiri atas tiga versi: Him, Her, dan Them. Film kolektif semacam itu wajib saling melengkapi. Tapi, alih-alih demikian, naskah buatan Pidi Baiq bersama Titien Wattimena, yang mengadaptasi novel berjudul sama karya Pidi, sebatas melakukan reka ulang berisi momen-momen memorable dari dua film pertama, yang disusun menggunakan kumpulan stok footage lama. Ibarat album musik, ini adalah album The Best of...

Para penggemar fanatik mungkin bakal terbuai saat mendengar lagi gombalan ikonik Dilan, sebutlah “Kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu”, “Jangan rindu. Berat. Biar aku saja”, dan lain-lain. Tapi ini bukan nostalgia, mengingat dua filmnya masing-masing baru dirilis pada tahun 2018 dan 2019. Dan berbicara soal pemahaman baru, Milea: Suara dari Dilan kekurangan asupan tersebut. Sebab selama sekitar 100 menit, filmnya bak sebatas fragmen yang dijahit paksa serta minim tambahan suntikan bobot, makna, atau perspektif baru.

Pada akhirnya kita tetap tidak tahu mengapa Dilan jatuh cinta pada Milea dan memutuskan untuk “meramalnya” dari atas motor dahulu. Bukan berarti cinta butuh penjabaran logis, namun Dilan memperlihatkan ketertarikan, bahkan sebelum bertatap muka dan baru mengetahui eksistensi Milea si murid baru berdasarkan cerita teman-temannya. Akting jajaran pemain jadi terkena dampaknya. Karena filmnya sebatas penyatuan paksa keping-keping kisah, baik penampilan perseorangan Iqbaal dan Vanesha maupun chemistry keduanya, yang tersaji kuat di film-film sebelumnya, terasa tidak utuh.

Perihal sudut pandang baru atas peristiwa masa lalu cuma terjadi dalam peristiwa kematian Akew (Gusti Rayha). Milea menjauh, bahkan kemudian meninggalkan Dilan karena rasa khawatir ditambah ketidaksukaan akan keterlibatan Dilan dalam geng motor. Penonton bisa ikut merasakan kebingungan Dilan. Baginya, Milea mendadak pergi tanpa alasan justru tatkala Dilan sedang membutuhkannya selepas kematian sang sahabat.

Tapi terkait konflik dua tokoh utama, khususnya ketika hubungan mereka mulai tergerus, inkonsistensi Milea: Suara dari Dilan sebagai film mengenai...well, “suara dari Dilan”, semakin tampak nyata. Kalau ini merupakan kisah dari sisi Dilan, kenapa masih ada bagian-bagian di mana hanya Milea saja yang tahu? Terkadang narasinya memakai sudut pandang orang pertama, lalu berubah menjadi orang ketiga serba tahu. Inkonsisten.

Fase terbaik tiba ketika filmnya melewati satu jam. Kisahnya berhenti melakukan reka ulang, mulai menjamah era baru, membicarakan perihal memori di mana karakernya dituntut move on, melangkah menuju babak baru dalam kehidupan mereka. Di situ kenangan-kenangan masa SMA, romansa, hingga keluarga, dikupas. Momen-momen emosional yang menjadikan Dilan 1991 begitu berkesan pun berhasil diulangi. Sayangnya fase ini datang terlambat dan tidak berlangsung lama.

Begitu Dilan dan Milea akhirnya bertemu kembali, ada harapan tinggi menanti konklusi dari salah satu kisah cinta paling fenomenal yang pernah menghiasi layar lebar Indonesia. Sampai akhirnya harapan tersebut hancur akibat konklusi dingin yang berlawanan dengan penuturan overly dramatic dan overly romantic (entah berupa konflik atau kalimat-kalimat gombal) yang begitu identik dengan seri Dilan. Baik penulisan maupun penyutradaraan duo Pidi Baiq dan Fajar Bustomi gagal mempersembahkan momen penutup memorable bagi Dilan dan Milea. Mencapai babak penutup, Dilan justru menyentuh titik nadir.

15 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Apakah hasil "jelek" akan berubah jika film Milea release 5 atau 10 tahun kedepan?
Mungkin "the best of dillan" nya akan lebih berasa..

hilpans mengatakan...

Wow..1,5 bintang ..seriuuus bunggg

Chan hadinata mengatakan...

Serupa novelnya..
Novel milea : suara dari dilan yg baca udah tau memang bener2 novel ketiga sngat dipaksakan
Ditambah film ketiga pengambilan gambarnya barengan film kedua
Bisa dibilang ini adalah penipuan publik haha

Dewa mengatakan...

Bagus ini sih dibanding si doel mah...

Rasyidharry mengatakan...

Could be. Waktu bisa berpengaruh ke penerimaan ke film (walau kualitas tetep nggak berubah)

Ilham mengatakan...

Disaat semua mencaci dilan 1990 dan 1991 bang rasyid justru lumayan suka. Disaat semua orang memuji muji penutup trilogi dilan, bang rasyid justru sebaliknya. Hmmmmmmmm masih menjadi misteri.....

Badminton Battlezone mengatakan...

Tanpa melihat skor yang diberikan terhadap film ini,aku setuju kalau film ketiga ini semata2 hanya mengeruk pundi2 saja (apalagi mereka tidak heboh dengan advanced ticket sales),seolah olah ini film fan service saja.


Inkonsistensi semacam iqbal potongan rambutnya panjang,tapi besoknya sudah pendek dan lebih kurus (padahal timeline hanya selang 1 hari saja).

Tapi setengah menuju ending,film ini tetap akan menjadi film yang akan dikenang.apalagi kalau penonton relate dengan kejadian yang dialami dilan dan milea

Anonim mengatakan...

Promo film ini kok gakedengeran ya? Apa cuman gw aja yg ngerasa?

Btw nonton pas jam 6 malam. Banyak CEWE2 SMA bau KETEK Cok. Bukannya mandi dulu kek ini habis sekolah lanjut nonton.

Mahendrata Iragan Kusumawijaya mengatakan...

Harusnya ni film kek anggur aja kali ya. Diperem dulu beberapa tahun baru dikeluarin. Wkwkwk

Rasyidharry mengatakan...

Nggak juga sih, Dilan 1991 cukup dapet penerimaan yang positif itu

Hendra triwijaya mengatakan...

jelek ataupun bagus penontonnya tetep membludak... hari pertama aja tembus 400 ribu penonton

saya sih berharapnya udah lah cukup dijadiin trilogi aja jangan dipaksain ada sekuel/prekuel/spinoff, tapi kayaknya gak mungkin..Dilan kan sumber cuan utama buat Max Picture

Graisa mengatakan...

Aduh paragraf terakhirnya ngena banget! Bener-bener kerasa satu jam pertama cuma kaya ngeliat Milea being bitchy and confusing. Endingnya dibuat kemana-mana menjanjikan bahwa ada perbedaan dengan 2 sekuel sebelumnya, eh malah nggak ada apa-apa!! Hadeh capek deh!

rahmadamazing mengatakan...

Jadi. Rekomen buat ditonton atau nggk nih? Buat adegan 40 menit di akhir ?

Yolana mengatakan...

Seandainya mas Rasyid cewek, dan hidup di jaman yang sama, pilih mana, gombalan dilan apa lupus? 😁

Unknown mengatakan...

Film jelek gini bnyk yg nonton..heran..menghibur jg nggak..jauh dr romantis..lucu apa lg..garing kering kerontang kemarau tandus krispi kriuk kriuk..