DILAN 1990 (2018)
Rasyidharry
Januari 26, 2018
Brandon Salim
,
Cukup
,
Fajar Bustomi
,
Indonesian Film
,
Iqbaal Ramadhan
,
Pidi Baiq
,
REVIEW
,
Romance
,
Vanesha Prescilla
27 komentar
Dilan 1990 diadaptasi dari novel buatan Pidi
Baiq yang konon terinspirasi dari kisah nyata. Andai percintaan Dilan dan Milea
sungguh benar adanya, saya yakin Pidi cuma mengambil garis besar kisah mereka.
Sisanya, terlebih dialog yang ada, pastilah rekayasa. Sebab manusia mana yang
mengucapkan kalimat seperti “Kamu cantik,
tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja” atau “Jangan rindu. Berat. Kau enggak akan kuat.
Biar aku saja”. Terdengar menjijikkan? Mungkin. Tapi bukankah kita kerap
menganggap kemesraan dan rayuan (sok) puitis itu menjijikkan sampai akhirnya
kita sendiri melakukannya, menikmatinya kala terjebak asmara?
Menonton Dilan 1990 rasanya seperti menjalani
sebuah hubungan cinta. Hal yang awalnya menggelikan kemudian berubah jadi manis
nan memabukkan. Milea (Vanesha Prescilla) baru pindah dari Jakarta ke sebuah
SMA di Bandung. Seketika banyak siswa terpikat padanya. Milea sendiri memiliki
pacar di Jakarta. Beni (Brandon Salim) namanya. Tapi pikiran Milea justru dikuasai
Dilan (Iqbaal Ramadhan), bocah begajulan anggota geng motor dengan julukan “Panglima
Tempur” yang di awal pertemuan kerap melontarkan ramalan-ramalan. “Aku ramal
kita akan bertemu di kantin”, demikian ucap Dilan. Aneh? Tunggu sampai ia
menghadiahkan TTS yang sudah terisi penuh di hari ulang tahun Milea karena
tidak mau membuat si gadis pusing.
Pokoknya
Dilan unik. Begitu juga adiknya. Alasannya, sang bunda (Ira Wibowo) bukan
ibu-ibu kaku, yang akhirnya membentuk kepribadian anak-anaknya. Saya dan para
penonton lain yang telah memasuki usia dewasa bisa jadi menganggap Dilan beserta
caranya mencintai aneh ketimbang unik apalagi romantis. Tapi mungkin saat SMA
dulu saya akan memahami romantismenya. Mungkin saat SMA dulu saya akan
menjadikan Dilan panutan supaya diidolakan gadis-gadis. Mungkin di masa saya
SMA dulu, konsensus menunjukkan Dilan adalah laki-laki manis. Alhasil saya pun
coba memandang Dilan 1990 sebagai
sarana nostalgia. Lagipula setting 90-an
miliknya memfasilitasi tujuan itu.
Memakai
perspektif tersebut, filmnya lebih bisa dinikmati, mampu melemparkan saya
kembali menuju manis dan pahit romantika masa remaja yang diisi kecemburuan,
rayuan, kebahagiaan kala sang pujaan pertama kali bersedia membonceng motor,
sampai perjuangan memacu adrenalin untuk merebut hati kekasih orang (ups!). Penyutradaraan
duet Fajar Bustomi (Surat Kecil untuk
Tuhan, Jagoan Instan) dan Pidi Baiq belum total dalam urusan merangkai momen
asmara baik yang menggemaskan maupun romantis, tapi iringan nomor manis Dulu Kita Masih SMA selalu siap membantu
menambal kekurangan terkait rasa dalam pengadeganan.
Pengarahan
kedua sutradaranya memang kerap menghalangi suatu adegan memunculkan dampak
yang diinginkan. Contohnya ketika komedinya sering berujung cringey. Ada peranan pemain yang
kurang tepat penyampaiannya, tapi mayoritas didorong kecanggungan adegan.
Seolah Fajar dan Pidi bingung harus mengemasnya bagaimana. Kebingungan serupa dialami
Iqbaal. Sewaktu bermain santai, ia menyenangkan disimak, hidup dan dinamis sebagaimana
ditunjukkannya lewat Ada Cinta di SMA.
Kondisinya berbalik saat dipaksa melontarkan kalimat “khas Dilan”. Iqbaal kaku
tatkala harus berbahasa baku. Setidaknya satu senyuman cukup mendorong
penggemarnya berteriak histeris. Sementara Vanesha Prescilla berhasil membuat
Milea gampang disukai penonton, walau seperti pasangannya, ia lebih menikmati
saat menghadapi suasana santai.
Alur Dilan 1990 bergerak episodik layaknya
memori, pula berlangsung tipis minim konflik. Kehidupan Dilan selaku “Panglima
Tempur” di geng motornya, konflik keluarga, kehidupan sekolah dan lain
sebagainya memang masih bisa digali demi mengakali tipisnya plot, tapi bukan
masalah besar. Tujuan utama Dilan 1990
adalah mempresentasikan percintaan remaja SMA, dan bukankah pada umumnya
permasalahan di jenjang usia serta pendidikan tersebut memang tidak jauh-jauh dari
situ?
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
27 komentar :
Comment Page:wah bintang 3, berarti layak ditonton.
membaca 2 novelnya "dilan", membuat saya berpikir kalau diimplementasikan ke sebuah film, akan terasa "kaku" karena ucapan2 dilan itu bersuasana 90-an. Kecuali yg memerankan Dilan pas. kalau menurut mas, pas gak iqbal memerankan dilan?
apakah ekspetasi saat menonton film yg diangkat dari novel harus kita turunkan serendah2nya, mas? soalnya berkaca dari film "Udin", kecewa berat.
Saya penasaran apa ini dua buku jadi satu film apa masih dari satu buku dan memungkinkan ada sekuelnya..
@Ilham Ya kayak udah disebut di atas. Kaku kalau lagi baku, enak kalau lagi santai. Bukan menurunkan ekspektasi tepatnya, tapi jangan berekspektasi kalau bakal serupa novelnya.
@Dimas Ini satu buku, dan dilihat dari filmnya yang laris, sekuel Dilan 1991 tinggal tunggu diumumin aja
Ahaay.. pecah bisul remaja2 Indonesia, film Dilan sudah keluar.
Selamat menikmati dan jangan baper!
mungkin karena gaya berbicara yg sudah berbeda kali ya, jd kaku karena pasti berbeda antara 90 dan 2000.
oh oke oke, yup. nanti akan dipraktekkan hhe
@Ilham bisa kok sebenernya gaya bahasa baku nggak terdengar kaku. Tapi nggak mudah. Kelasnya Reza lah baru bisa kedengeran natural haha
Paling penting film itu nggak mengkhianati esensi materi yang diadaptasi. Beda wajar, medianya aja beda, jadi audio visual :)
Lebih cringe mana Mas kata-kata puitisnya Dilan 1990 sama trilogi London Love Story ? hahaha.
belum lihat filmnya sih..tapi dari trailernya sepertinya dialog Dilan banyak yg persis plek dengan di novelnya ...
Wah iya bener. Setuju sama mas rasyid. Memang kalo kalimat baku itu susah kliatan natural ngomongnya kecuali bisa akting sekelas reza rahadian. Tp dari trailer aja udh kliatan akting kakunya si iqbal, dari iklan ruangguru.com aja si iqbal kaku gitu aktingnya. Padahal cman iklan lho, yg line nya sangat dikit.
Thank you bang review annya, tadinya bingung mau nonton apa ngga. Soalnya temen2 yg udh nonton pada bilang bagus semua. Tp ragu, ngeliat review an bang rasyid akhirnya gw memutuskan ga nonton.
Bagusan mana bang sama dear nathan? Secara sma2 diangkat dari novel best seller dan kemiripan tokoh&alur. But berarti Dilan masih bagus untuk ditonton y bang :) #tinggal nunggu sk2h dibikin film
lebih tertarik menonton dialog2 nya...
@Pramudya Duh, LoLos mah tiada tanding
@Fega Iqbaal cuma belum banyak pengalaman aja. Kalau adegan rileks & kasual sih asyik. Haha semoga membantu
@Zeppine Oh jelas Dear Nathan. Dear Nathan itu beneran film yang solid kok. Salah satu yang terbaik tahun lalu
@Mas Rasyid Dan seri pamungkasnya siap menanti, Mas, hahaha.
Oiya denger2 kalo Dilan yang real itu Pidi Baiq-nya sendiri mas. Bener gak tuh ? Dan Milea-nya pun udah ketauan yang real beberapa tahun lalu di Twitter. Vanesha lumayan mirip sama Milea-nya.
yah paling nggak kalimat-kalimat Dilan di trailer meme-able banget bang
I was cringing the whole time. menurut saya, hampir semua adegan terasa kaku dan dipaksakan (yes, kecuali adegan-adegan "santai", bedanya keliatan bgt). konflik/permasalahan juga cepet bgt diselesin. Hubungan Dilan-Milea juga ga berasa, karena sepanjangan film isinya cuma gombalan-gombalan Dilan yang cheesy nan cringey. keduanya ga sempet punya "real conversation" buat ngebangun chemistry. kalau gombalannya dikurangi, mungkin bakal lebih enjoyable.
Kata bundahara di novel pecah banget padahal. Tapi di film jadi krik krik Btw, Rambutnya Bunda keliatan 'natural' banget hahaha
Bang kira kira berapa lama tayang dibioskopnya ?
@Rifki Bagusnya memang gitu sih. Tapi masih bisa dimaklumi, toh pacaran SMA, cinta monyet emang kebanyakan cuma gombal :)
@Dimas "Bundahara" ini lagi-lagi soal penyampaian verbal yang lebih susah daripada tulisan
@Abdullah Sampai akhir Febuari juga masih harusnya. Jumlah penonton masih konsisten ngebut
Kebayang jefri nichol yg meranin dilan.. mngkin bisa lebih "dapat"
Walopun mungkkn jg sdh trlalu "mainstream"
aku sih ngebayangin pesan yg disampein pidi baiq, kaku dan garing ya khasnya..
Lihat review dari beberapa reviewer rata2 kasih nilai cukup alias standar2 aja. Tp kenapa ya filmnya meledak? Apa selera penonton awam yg rendah atau para reviewer yg ketinggian?
@agoesinema Bukan keduanya. Ya memang filmnya tahu siapa target pasarnya dan kasih apa yang mereka mau. Nggak ada kaitan sama kualitas
Baru nonton filemnya kemaren malam setelah sepi. Menghiburlah. Sama persis dengan novelnya.
Kalo menurut saya, novel dilan ini bukan sekadar romansa anak sma, ada hal yang secara implisit harus punya alasan mengapa sesuatu bisa terjadi. Nah, di filem ini jadinya justru lebih ke romansa ana SMA saja.
Konflik di novel 1 ini sebenarnya memang gak banyak, tapi bukan berarti gak ada. Cuma saya juga bingung kenapa Pidi gak ngelola itu, mengingat Pidi Baiq sosok seniman yang menurut saya intuisinya kuat. Tadinya saya berharap konflik-konflik yang kerap terjadi di anak SMA seangkatan saya atau di bawah tahun 1995 lah dimunculkan, seperti di novelnya. Misalnya:
1. Alasan mengapa semua siswa zaman dulu takut dengan guru BP, padahal guru BP tersebut sering menampar siswa di ruangnya, dikatakan juga di novelnya si guru melakukan pelecehan kepada siswinya atau bahkan menyerahkan Dilan ke polisi dengan kata-kata kasar *** dan tanpa pendampinggan apapun. Bagi saya fenomena ini harus dijelaskan guna menguatkan karakter Dilan yang memberontak kepada Suripto. Sehingga ini tidak menjadi kritik sosial.
2. Mengapa dulu rentan sekali siswa itu tawuran antar sekolah untuk mempertahankan harga diri sekolah.
3. Konflik yang muncul ketika Dilan gelisah karena dilema tidak bisa menyerang karena Milea melarang. Karena saat membaca novelnya saya benar benar bisa merasakan itu sebagai konflik hati Dilan, yang baru sekali mengecap pacaran dan harus memilih antara harga diri atau orang yang dicintainya. Ya, memang ini akan dijelaskan di sekuelnya Dilan 1991, yang mungkin penonton akan disajikan dengan rangkaian konflik yang datang bertubi-tubi.
Sebagai anak yang lahir di era yang kurang lebih sama, ada satu hal yang memang unik di tahun tersebut. Dimana anak-anak laki-laki yang nakal dan begajulan mereka justru ada di kelas FIS, anak perempuan yang cantik di kelas BIO dan untuk di kelas SOS random. Soalnya ini kayak bertolak belakang ama kids zaman now dimana yang kutu buku malah di IPA identiknya yang nyantai di IPS. Mungkin ini menjadi point penting bahwa anak tahun 90 an itu punya prinsip, "Nakal Boleh Bego Jangan!"
Bang rasyid mau nanya... Emang taun 90an blum ada baju pramuka yah? Itu kan si dilan pas prtma kli ngasih surat isi'y klo gk slah "ketemu besok" trus kata Milea bsok kan minggu. Lah kok mereka smua di klas pda pke bju putih abu2? haha :v
@Mochammad Waduh kurang tahu ya, 90an saya belum SMA. Apalagi bukan dari Bandung.
Posting Komentar