THE INTOUCHABLES (2011)

Tidak ada komentar
Awalnya saya sama sekali belum pernah mendengar film ini, bahkan tidak ada satupun nama pemainnya yang saya tahu begitu juga dengan sutradaranya. Tapi kemudian saya dikejutkan saat melihat halaman wikipedia yang saat itu menunjukkan daftar peringkat film-film terlaris tahun 2012 yang menempatkan The Intouchables di peringkat lima besar, meski kemudian judulnya menghilang saya rasa karena pada akhirnya film ini digolongkan sebagai film yang dirilis pada tahun 2011. Film ini sampai sekarang sudah meraup pendapatan $350 juta untuk peredarannya diseluruh dunia. Belum cukup sampai disitu kejutan yang saya dapat karena ternyata The Intouchables juga dipilih sebagai cultural event of the year di prancis tahun lalu. Bahkan salah satu aktornya, Omar Sy berhasil memenangkan Best Actor di ajang Cesar Awards (Oscar-nya prancis) dengan mengalahkan Jean Dujardin yang menang Best Actor di Oscar. Jadi seperti apakah sebenarnya film fenomenal yang diangkat dari kisah nyata ini?

Driss (Omar Sy) awalnya tidak berniat untuk mengikuti interview yang diadakan oleh Philippe (Francois Cuzet) untuk bekerja sebagai pengurus untuk merawat Philippe yang menderita kelumpuhan. Driss hanya ingin mendapatkan tanda tangan Philippe sebagai tanda dirinya ditolak dalam wawancara tersebut supaya tetap bisa mendapat uang jaminan kesejahteraan. Tapi melihat sikap Driss yang berbeda dibandingkan pelamar lain dan seolah tidak memperlihatkan kepedulian padanya, Philippe justru malah memberikan kesempatan untuk menjalani percobaan sebagai perawatnya dan bisa tinggal dirumah mewah milik Philippe. Awalnya Driss begitu kesulitan dalam menjalankan pekerjaanya tersebut, tapi lambat laun dia mulai terbiasa dan menikmatinya. Bahkan Driss dan Philippe makin dekat dan lebih terasa sebagai dua orang sahabat daripada majikan dan pelayan. Semakin dekat keduanya semakin terungkaplah bahwa mereka masing-masing punya masalah pribadi yang mana nantinya akan terjadi sebuah simbiosis mutualisme diantara keduanya dalam menyelesaikan masalah masing-masing.
Plot-nya sangat sederhana dan mayoritas penonton pasti akan bisa menebak bagaimana film ini berjalan dan bagaimana filmnya diakhiri. Tapi sekali lagi sebuah film dengan cerita yang tertebak ataupun tidak baru belum tentu jelek dan mengecewakan. The Intouchables meski menawarkan cerita yang tidak baru yaitu mengenai bromance yang terjalin antara majikan dan pekerjanya dimana mereka punya latar belakang yang jauh berbeda, namun mempunyai presentasi kisah yang bagus dan enak diikuti. Dengan mudah kita akan bisa menikmati jalinan persahabatan antara Driss dan Philippe yang mampu ditampilkan dengan begitu hangat dan kadangkala terasa menyentuh. Padahal seperti yang sudah saya katakan bahwa nyaris tidak ada modifikasi berarti pada jalan ceritanya yang berarti pesan yang bisa diambil oleh penonton juga tidak jauh-jauh dari apa yang sudah ada di film-film sejenis yang sudah muncul sebelumnya. Tapi berkat mampu dimaksimalkannya hubungan persahabtan kedua tokoh utamanya, film ini mampu menjadi sajian yang sangat menarik.
Saya sendiri tidak terlalu merasakan apa yang dikatakan oleh para kritkus Amerika mengenai betapa rasisnya film ini. Banyak yang mengatakan bahwa pemaparan Driss yang merupakan kulit hitam sebagai pelayan Philippe sebagai kulit putih adalah sebuah bentuk "sindiran yang rasis". Tapi saya justru sama sekali tidak merasakan rasisme yang dikatakan tersebut. Daripada hubungan majikan dan pelayan yang lebih difokuskan pada film ini justru hubungan persahabatan antara keduanya yang tidak memperhatikan segala perbedaan yang ada termasuk fakta bahwa Philippe adalah majikan Driss. Bagi saya ini adalah film tentang bagaimana sebuah persahabatan yang mampu mengaburkan segala perbedaan antara kedua tokohnya. Sebenarnya perbedaan cara pandang ini hanyalah masalah perbedaan kultur saja antara Amerika Serikat dan masyarakat diluar A.S.

Diluar kisah persahabatannya yang menarik, The Intouchables sebenarnya punya kekurangan pada bagian kisahnya. Seringkali plot yang dihadirkan terasa dipaksakan dan terlalu terburu-buru. Sedari awal saja saya sudah aneh mengenai alasan sesungguhnya Philippe memilih Driss. Terasa bahwa Philippe memilih Driss hanya karena naskah dan ceritanya mengharuskan begitu sehingga dibuatlah tokoh Philippe mempunyai feeling bahwa Driss adalah orang yang tepat. Padahal jika dilogika saya rasa hampir tidak mungkin jika berdasarkan interview apabila Driss yang terpilih. Kemudian seiring berjalannya cerita sempat terjadi beberapa kali plot yang kembali terburu-buru dan agak dipaksakan. Tapi pada akhirnya gangguan pada plot tersebut berhasil tertutup oleh begitu hangatnya persahabatan antara Driss dan Philippe yang menciptakan sebuah feel good movie yang begitu nikmat untuk ditonton. Yah meskipun pada akhirnya saya merasa agak overrated menempatkan film ini sebagai sebuah cultural event suatau negara karena meski mampu menyajikan kisah persahabatan yang indah tapi The Intouchables tetaplah bukan sebuah film yang luar biasa.



Tidak ada komentar :

Comment Page: