5 CM (2012)

Tidak ada komentar
Film kelima belas garapan sutradara Rizal Mantovani ini adalah sebuah adaptasi dari novel best seller terbitan tahun 2007 karya Donny Dhirgantoro. Novel ini begitu disukai karena dianggap mampu menggabungkan kisah persahabatan yang erat, percintaan yang romantis, bahkan (kabarnya) sanggup membangkitkan rasa nasionalisme pembacanya. Kabar pengadaptasian novel ini ke layar lebar sebenarnya sudah berhembus dari tahun 2010 lalu, tapi baru di akhir 2012 film ini benar-benar dirilis. Sambutan penonton pun luar biasa saat film ini dirilis, dimana 5 cm sanggu menggeser The Raid dari puncak daftar film terlaris di Indonesia dengan pendapatan saat ini melebihi 1,9 juta penonton, meski akhirnya kembali digeser oleh Habibie & Ainun yang melewati angka 2,1 juta penonton. Sebuah pencapaian yang menggemberikan di penghujung 2012 setelah selama beberapa waktu terakhir perfilman kita sempat lesu penonton. Saya makin senang setelah mendengar bahwa 5 cm  dan Habibie & Ainun punya kualitas yang cukup membanggakan. Jadi berangkatlah saya menonton dengan dimulai dari 5 cm terlebih dahulu yang pada akhirnya memberikan momen yang di satu sisi cukup mengesankan, namun disisi lain juga mengecewakan. 

5 cm berkisah tentang persahabatan lima orang, yaitu Zafran (Herjunot Ali), Genta (Fedi Nuril), Arial (Denny Sumargo), Ian (Igor Saykoji) dan Riani (Raline Shah). Kelimanya sudah bersahabat sedari 10 tahun lamanya dan hampir tiap hari menghabiskan waktu bersama. Kita sendiri akan mengikuti kisahnya dari sudut pandang Zafran yang (sok) puitis, narsis dan menyimpan rasa terhadap Dinda (Pevita Pearce) yang juga adik dari Arial. Persahabatan kelimanya berjalan dengan sangat erat, bahkan terlalu erat hingga mereka sampai tidak mempunyai dunia lain diluar dunia mereka berlima. Persahabatan inilah salah satu hal yang bagi saya mengesankan dalam 5 cm. Karakterisasi tiap tokohnya yang berbeda, persahabatan yang kuat dan menyenangkan untuk diikuti memang sebuah kekuatan utama yang membuat penontonnya teringat akan persahabatan mereka sendiri. Jujur momen persahabatan khususnya di paruh awal film ini menyenangkan dan menyegarkan untuk diikuti. Lewat sebuah perkenalan masing-masing karakternya yang cukup panjang tapi tetap menghibur saya benar-benar dibuat mengenal masing-masing karakternya dengan cukup baik. Selipan komedinya mungkin bukanlah komedi cerdas namun masih sanggup membuat saya tertawa. Selipan kisah percintaan yang ada juga menghibur, overall kisah persahabatan dan paruh pertama filmnya terasa menghibur.

Lalu fillmnya mulai memasuki fase selanjutnya dimana mereka berlima melakukan pendakian ke puncak Semeru setelah tiga bulan lamanya tidak bertemu dan berkomunikasi. Disinilah berbagai momen mengecewakan dan sangat mengganggu. Pada paruh awal bukannya tidak ada momen yang membuat saya risih, tapi setidaknya kisah persahabatan dan alur ceritanya masih terasa menghibur. Sebenarnya saya sudah cukup terganggu dengan beberapa momen komedi cheesy diawal yang untungnya masih bisa membuat saya tertawa. Tapi di paruh berikutnya ini, momen-momen yang digarap secara berlebihan makin banyak saja. Mari lihat berbagai momen disaat salah satu ataupun kelima tokoh utamanya dituntut mengucapkan sedikit monolog dengan bahasa (cukup) puitis, dimana yang ada bukannya terlihat puitis tapi seperti anak-anak SD sedang berpidato untuk pertama kalinya lengkap dengan muka datar dan cara bicara yang tidak kalah menggelikan. Jika banyak orang yang tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, saya justru merasa sangat terganggu. Ini adalah sebuah kisah yang berusaha mengangkat sisi dramatis namun dalam sebuah realisme yang (maunya) kuat. Tapi pemakaian momen "tiba-tiba berpuisi" tersebut jelas tidak realistis apalagi dengan penggarapan yang menggelikan. Apalagi momen tersebut tidak hanya sekali dua kali tapi beberapa kali.
Hal yang mengganggu lagi adalah bagaimana rasa nasionalisme dari masing-masing tokohnya muncul secara mendadak, padahal sedari awal kita sama sekali tidak diperlihatkan sisi nasionalisme itu sama sekali. Dengan begitu mendadak mereka menjadi cinta tanah air dan lagi-lagi berpusi tentang nasionalisme di puncak Semeru. Apakah salah memasukkan unsur nasionalisme? Jelas tidak, bahkan saya sangat menyukai hal itu jika digarap dengan benar. Sayangnya dalam sebuah film tidak cukup hanya niat baik, karena perlu eksekusi yang baik pula. Sedangkan nasionalisme dalam 5 cm jelas terasa dipaksakan untuk muncul. Tapi untungnya film ini mampu menangkap keindahan alam di Semeru yang benar-benar cantik luar biasa. Justru dari situlah rasa bangga terhadap bangsa ini terasa tanpa perlu banyak bicara soal nasionalisme lewat bahasa puitis. Cukup tunjukkan begitu megahnya alam Semeru dan saya sanggup dibuat terharu. Film ini juga mempunyai sebuah klimaks yang dieksekusi dengan cukup menegangkan meskipun lagi-lagi berujung pada konklusi yang (tanpa harus membaca novelnya) terasa predictable. Tapi harus diakui klimaks itu menegangkan. Begitu pula jika kita bicara tentang ending yang punya sebuah twist yang manis. Sebuah kejutan yang disimpan dengan rapih layaknya sebuah perasaan yang mampu disimpan rapat-rapat.

Bicara soal akting para pemainnya, saya merasa tidak terlalu buruk meski cukup banyak yang mengganggu saya. Chemistry kelimanya cukup baik dan menyenangkan untuk diikuti. Tidak spesial memang, tapi masih mampu membuat persahabatan mereka berlima disukai penonton. Herjunot Ali sebagai Zafran mampu memberikan hiburan paling besar lewat karakternya yang penuh percaya diri dan sok puitis. Secara keseluruhan ia mampu menciptakan momen komedik yang menghibur. Hal yang kurang lebih sama terlihat pada Igor Saykoji yang memang menjadi bahan ledekan disini. Fedi Nuril yang maunya terlihat berwibawa malah terasa kaku dan tidak nyaman dengan segala dialognya. Tidak nyaman bagi dia dan bagi saya yang mendengar juga tidak nyaman. Denny Sumargo yang untuk kedua kalinya bermain film (yang pertama adalah Hattrick) tidak mengecewakan untuk seorang aktor baru yang tidak punya dasar keaktoran. Tokohnya juga beberapa kali mampu memberikan momen yang memancing tawa. Raline Shah juga tidak terlalu buruk. Terasa sedikit lebih matang dibanding aktor lainnya, tapi tetap tidak bisa dibilang spesial, kecuali jika membicarakan kecantikannya. Hal yang sama berlaku juga bagi Pevita Pearce yang berada di batas antara karakter datar dan bodoh. Tapi anehnya dia juga turut berpuisi dengan "indahnya".

Pada dasarnya 5cm punya dasar certia yang kuat tentang persahabatan dan percintaan khususnya disaat kedua hal tersebut saling berbenturan. Selipan nasionalisme juga bisa menjadi daya tarik tersendiri, walaupun sayangnya sempat mencuri fokus cerita. Sayangnya dengan dasar yang kuat tersebut, eksekusinya terasa terlalu mendapat dramatisasi yang berlebihan dan itu justru menghalangi saya untuk bisa meresapi makna dan kedalaman emosi ceritanya. Andaikan film ini disajikan secara lebih sederhana dan membumi saya yakin hasil akhirnya akan berkali lipat lebih bagus. Sempat muncul juga kritikan mengenai detail dalam film ini seperti bagaimana mereka mendaki gunung dengan memakai celana jeans yang tentunya akan mempersulit pendakian. Tapi tanpa mempermasalahkan detail itupun, saya tetap kurang terpuaskan dengan 5 cm disaat film ini melaju kencang mendekati angka dua juta penonton dan mendapat banyak pujian, saya justru kurang puas.


Tidak ada komentar :

Comment Page: