THE ELEPHANT MAN (1980)

Tidak ada komentar

The Elephant Man mungkin tidak hanya film yang melambungkan nama Lynch ke jajaran sutradara mainstream tapi juga merupakan filmnya yang paling sukses hingga saat ini, bahkan melebihi film lainnya yang cukup terkenal semisal Mulholland Drive ataupun Blue Velvet. Setelah kesuksesan Eraserhead di tahun 1977, komedian Mel Brooks yang juga merupakan produser The Elephant Man tertarik akan talenta Lynch dan memintanya menyutradarai film yang diadaptasi dari buku The Elephant Man and Other Reminiscences dan The Elephant Man: A Study in Human Dignity ini. Kisah yang diangkat sendiri merupakan kisah nyata tentang seorang pria bernama Joseph Merrick yang mempunyai kelainan fisik dimana kepalanya mempunyai bentuk yang menyerupai seekor gajah sehingga disebut The Elephant Man. Film ini sendiri berhasil mendapatkan delapan nominasi Oscar termasuk Best Picture, Best Actor (John Hurt) serta Best Adapted Screenplay. Tidak hanya itu, berkat hasil make-up yang luar biasa dari Christopher Tucker yang dianggap terobosan pada masa itu, pihak Academy Awards akhirnya menambahkan kategori untuk Best Makeup setahun kemudian. Secara komersial pun film ini meraih kesuksesan dengan mendapatkan lebih dari $26 juta dari bujetnya yang hanya $5 juta dan menjadi film David Lynch yang paling untung hingga kini.

Frederick Treves (Anthony Hopkins) adalah seorang dokter bedah dari sebuah rumah sakit di London. Suatu hari ia mendatangi sebuah freak show, yakni sirkus yang berisi orang-orang dengan kondisi fisik unik. Disana ia melihat Joseph Merrick (Jojn Hurt) yang disebut sebagai The Elephant Man karena kondisi fisiknya yang mirip dengan seekor gajah. Merasa tertarik pada kondisi yang dimiliki oleh Merrick, Treves memutuskan untuk bernegosiasi dengan Bytes (Freddie Jones) sang pemilik sirkus untuk membawa Merrick ke rumah sakit guna diteliti kondisinya. Disana Treves mulai mencoba meneliti kondisi Merrick yang meski pada awalnya sulit tapa lama kelamaan keduanya mulai saling bisa berkomunikasi secara verbal. Bagi Treves ini adalah keuntungan bagi dirinya sebagai dokter dan tentunya bagi ilmu pengetahuan. Tapi bagi Merrick, mempunyai sosok seperti Treves yang memperlakukannya seperti manusia biasa membuatnya mulai menemukan kebahagiaan yang telah lama tidak ia rasakan. Sekilas film ini mungkin terasa seperti film kebanyakan yang karakter utamanya memiliki kelainan. Mudah saja bagi kita menebak bahwa The Elephant Man juga membawa pesan yang selalu dibawa oleh film-film tersebut, yakni seperti apapun berbedanya kondisi seseorang, ia tetaplah seorang manusia yang harus diperlakukan selayaknya manusia pada umumnya. Pesan seperti itu memang muncul disini, tapi jangan lupa bahwa ini adalah filmnya David Lynch.

Seperti Eraserhead yang menjadi debut sang sutradara, film inipun dibalut dengan visual hitam putih. Dengan pengemasan seperti itu, meski filmnya punya pesan moral dan mengangkat tema drama kemanusiaan, aura horror kelam nan mencekam ala David Lynch tetaplah terasa. Bahkan dengan narasi yang realis seperti inipun kita tetap akan menemukan berbagai ciri khas sang sutradara yang begitu lekat dengan unsur surealis dan juga beberapa shocking moment. Sedari adegan pembukanya saja sudah ada adegan wanita hamil yang diserang oleh seekor gajah, dan tentunya adegan itu tetap dibalut dnegan gambar-gambar khas sang sutradara. Massih ada juga adegan mimpi yang disturbing dan surealis, serta ciri khas Lynch dari aspek suara yakni background noise yang memberikan atmosfer mencekam pada filmnya. Namun meski dibungkus dengan atmosfer yang gelap dan menimbulkan kesan horor, bagi saya ini adalah film David Lynch yang paling "cerah" dan punya aura positif paling kuat pada ceritanya, setidaknya jika dibandingkan film-filmnya yang sudah saya tonton sampai saat ini (Eraserhead, Blue Velvet, Mulholland Drive dan Inland Empire).
Bicara soal horor, tidak hanya gaya dari David Lynch saja yang memberikan kesan horor pada film ini tapi juga jalan ceritanya. Jika bicara tentang horor milik David Lynch tentu saja kita tidak membicarakan hantu atauapun pembunuh berdarah dingin, tapi rangkaian adegan-adegan shocking yang tidak nyaman untuk disaksikan. Dalam The Elephant Man, yang muncul adalah horor mengenai kehidupan. Kehidupan yang dialami oleh Joseph Merrick. Bayangkan bagaimana mengerikannya hidup Merrick, mulai dari semua penyiksaan yang ia terima di sirkus, hingga bagaimana masyarakat umum yang selalu memandang negatif pada dirinya. Jika tidak dilihat sebagai monster, Merrick akan dilihat sebagai barang tontonan yang tidak ada bedanya dengan hewan. Saya benar-benar dibuat merasakan betapa busuknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang disekitar Merrick. Sebuah adegan disaat begitu banyak orang masuk ke kamar Merrick hanya untuk menonton dan mengerumuninya terasa begitu memuakkan sekaligus mengerikan. Tentu saja saya tidak menyangkal bahwa saya pastinya juag tidak akan merasa terlalu nyaman berada bersama orang seperti Joseph Merrick, namun yang membuat muak adalah bagaimana orang-orang itu sama sekali tidak memandangnya sebagai manusia biasa.

Tapi tidak hanya karakter Joseph Merrick saja yang dijadikan sorotan, karena sosok Frederick Treves pun turut memberikan konflik yang menarik dalam ceritanya. Saya dibuat berpikir apakah sebenarnya Treves memang berniat membantu Merrick, ataukah dia hanya mencoba mengambil keuntungan supaya namanya semakin dipandang sebagai seorang dokter. Tapi saya tidak serta merta menyalahkan Treves. Sebagai seorang dokter, ketertarikannya terhadap kondisi Merrick jelas hal yang wajar. Hasratnya untuk dipandang dengan meneliti sang pasien juga bukan hal yang bagi saya patut dipersalahkan walaupun dia mungkin juga menyimpan hasrat itu entah sadar atau tidak sadar. Saya sendiri yakin bahwa meski dia menyimpan hasrat tersebut, Treves tetap satu dari sedikit orang yang memandang Merrick sebagai manusia biasa dan memang peduli padanya. Kemudian mengenai sosok Treves, penampilan Anthony Hopkins juga patut mendapat pujian karena tidak sampai tenggelam oleh performa luar biasa John Hurt. Hurt sebagai Merrick dapat dengan sempurna menjadi sosok dengan kondisi fisik yang tidak biasa. Tapi hal yang paling mengesankan dari akting Hurt dan juga merupakan hal terbaik yang berhasil dibuat oleh tim makeup-nya adalah bagaimana menghidupkan sosok Joseph Merrick benar-benar sebagai manusia dengan kelainan dan bukannya sesosok monster. Hal itu jugalah yang diajarkan film ini, yaitu untuk memandang sama semua manusia. Pada akhirnya saya pun masih tidak menyangka akan tersentuh menonton film seorang David Lynch.

Tidak ada komentar :

Comment Page: