THE MACHINE (2013)
Sebuah film science-fiction memang identik dengan efek CGI canggih yang tentunya membutuhkan bujet raksasa. Lihatlah film-film sci-fi produksi Hollywood zaman sekarang yang bujetnya hampir selalu menembus angka $100 juta. Maka dari itu saat ada sebuah film sci-fi yang diproduksi dengan biaya tidak lebih dari $1.5 juta tentu saja menarik untuk disimak akan seperti apa film itu dikemas. The Machine yang merupakan debut penyutradaraan bagi Caradog W. James ini memang sebuah film yang murah, tapi jelas bukan film murahan seperti banyak sci-fi kelas B. Dengan biaya yang tidak sampai seperseratus dari Transformers: Age of Extinction, Caradog W. James nyatanya tetap berhasil menciptakan sebuah sci-fi dengan konsep menarik serta cerita yang bagus dan cukup kaya, tentunya jauh lebih berisi dari film milik Michael Bay tersebut. Ide dasar film ini sebenarnya jauh dari kata baru, karena kisah tentang sebuah A.I. (Artificial Intelligence) sudah berulang kali diangkat dalam film khususnya Hollywood. Tapi sekali lagi fakta bahwa The Machine merupakan film yang "kecil" dan pastinya tidak akan menjadikan efek CGI sebagai suguhan utama menjadikan konsep yang klise itu berpotensi menjadi sebuah tontonan yang menarik.
Kisahnya ber-setting di Inggris masa depan disaat perang dingin melawan Cina semakin mendekati kenyataan. Pada saat itulah kesatuan militer Inggris mulai mengembangkan sebuah proyek untuk menciptakan super soldier. Untuk itulah seorang ilmuwan bernama Vincent (Toby Stephens) yang memang tengah mengembangkan teknologi implan otak berisi program canggih dipekerjakan. Vincent sendiri mempunyai agenda lain saat menerima pekerjaan tersebut, karena dengan ambil bagian dalam proyek itu, risetnya akan mendapatkan dana yang nantinya akan ia pakai untuk mengembangkan teknologi demi menolong puterinya yang sakit parah. Dalam pekerjaan tersebut, Vincent merekrut seorang ilmuwan wanita muda bernama Ava (Caity Lotz) yang juga tengah mengembangkan program serupa. Program itu sebenarnya belumlah sempurna karena masih ada berbagai efek samping dan kecacatan, namun disaat Ava terbunuh Vincent pun terpaksa merealisasikan programnya demi menghidupkan Ava kembali. Sosok Ava akhirnya berhasil "dihidupkan" kembali dalam bentuk android. Android inilah yang diincar oleh pihak militer untuk dijadikan mesin pembunuh. Pertanyaan pun mulai muncul, "apakah android ini hanya sekedar mesin atau memiliki kesadaran alias hidup seperti manusia?"
Ada banyak hal yang coba diangkat Caradog W. James dalam 90 menit filmnya ini meski sebenarnya banyak hal tersebut lagi-lagi sudah sering kita temui dalam film-film sci-fi bertemakan A.I. lainnya. Yang paling familiar tentu saja konflik dilematis yang dialami oleh karakter utamanya saat ia bertanya-tanya apakah sang mesin memang hanya benda mati yang cerdas ataukah benar-benar hidup seperti manusia pada umumnya? Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut sudah dapat kita duga jauh sebelum filmnya memberikan jawaban. Di samping itu masih ada hal lain yang coba diangkat oleh sang sutradara, malah sebenarnya ada banyak hal lain. Tapi disinilah keterbatasan bujet nampaknya menjadi penghalang untuk menjadikan berbagai subplot tersebut terasa lebih maksimal. Bujet minimnya justru tidak mengurangi kualitas visualnya, karena beberapa efek CGI sederhana yang ada terasa maksimal. Tampaknya bujet minim tersebut memang difokuskan untuk memoles berbagai efek komputer masa depan dan tampilan robot yang ada. Efek sampingnya adalah, The Machine harus dieksekusi dalam setting dan skala yang sempit. Sepanjang film kita hanya diajak melihat laboratorium dan pusat penelitian. Hal itu membuat kisah tentang masa perang dingin dan sedikit selipan konspirasi politik serta revolusi tersembunyi para robot tidak terlalu terasa.
Satu hal lagi yang kurang maksimal adalah aspek dramanya. Ada dua drama yang jadi fokus utama disini, yaitu hubungan Vincent dan puterinya serta kisah mesin yang mempunyai jiwa. Dua kisah yang sebenarnya punya potensi luar biasa besar untuk bisa menggerakkan perasan penonton, namun sayang keduanya masih terasa tidak maksimal. Sentuhan drama-drama tersebut memang membuat The Machine menjadi tidak kosong, ada jiwa yang terkandung dalam film ini hanya saja tidak terlalu kuat. Jika diibaratkan, film ini bukanlah robot yang tidak memiliki jiwa, tapi juga belum lengkap untuk bisa disebut sebagai manusia "sempurna" yang memiliki kedalaman rasa. Lebih sering terasa datar memang tapi toh saya tetap sangat bisa menikmati The Machine. Seperti yang saya bilang, meski tidak maksimal, sentuhan dramanya sudah berhasil menjadikan film ini tidak terasa kosong, meski pada akhirnya keberhasilan terbesar film ini adalah bagaimana Caradog W. James sukses membangun mood serta atmosfer filmnya. Sang sutradara sendiri sempat mengatakan bahwa tergetnya adalah membuat sci-fi yang lebih scientific daripada yang terlalu mengedepankan fantasi dan melupakan sains. Ya, dan dia berhasil melakukannya disini. Meski berbicara masalah implan otak, robot hidup dan hal-hal yang (masih) mustahil lainnya, The Machine sukses membuat saya merasakan betapa nyatanya film ini dan mungkin saja berbagai teknologi yang hadir akan kita temui tidak lama lagi.
Jika saya harus mendeskripsikan atmosfer film ini, saya akan memilih kata "seksi". Bukan, bukan karena ada adegan Caity Lotz telanjang, tapi lebih pada bagaimana suasana kelam dan sunyi berpadu sempurna dengan efek-efek visual dan sinematografinya yang terkesan intim. Sulit mendeskripsikan kenapa kata "seksi" yang muncul, tapi bukankah "rasa" memang sesuatu yang sulit diungkapkan lewat kata maupun tulisan? Sedangkan jika bicara soal akting, hanya Caity Lotz saja yang menarik perhatian. Bukan, bukan karena ia sempat tampil telanjang tapi lebih kepada keberhasilannya dalam memerankan sosok mesin yang masih dipertanyakan dan mempertanyakan sisi kemanusiaannya. Dari ekspresi maupun caranya bicara benar-benar terasa sesosok mesin yang jelas bukan manusia tapi memiliki jiwa layaknya manusia. Bahkan saat harus melakoni adegan aksi pun Caity Lotz nampak meyakinkan sebagai sesosok mesin pembunuh yang kuat, meskipun eksekusi adegan aksinya terasa clumsy. Pada akhirnya The Machine memang tidaklah sedalam yang saya harapkan, justru diluar dugaan sci-fi kecil ini malah mempesona pada aspek visualnya yang minimalis itu. Tidak mendalam memang, tapi The Machine tetap merupakan sajian sci-fi minimalis yang mengasyikkan. Satu lagi bukti bahwa untuk membuat sci-fi dengan efek CGI yang bagus tidak harus menggelontorkan ratusan juta dollar.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar