JOGJA ASIAN FILM FESTIVAL: LAYU SEBELUM BERKEMBANG (2014)

7 komentar
Bukankah masa anak-anak harus diisi dengan kesenangan? Tetap harus ada pendidikan seperti apapun yang mereka terima, tapi pada intinya jangan sampai seorang anak kehilangan kesenangan yang hadir pada masa itu. Tapi lihat yang terjadi sekarang ini khususnya di Indonesia. Seorang anak yang masih ada di bangku sekolah dasar atau bahkan taman kanak-kanak sudah diberi beban pelajaran dan tugas seabrek yang membuat mereka tidak punya waktu lagi untuk sekedar bermain bersama teman-teman. Seolah belum cukup beban dari institusi pendidikan formal, banyak dari orang tua yang menyuruh anak mereka ikut bimbingan belajar dan berbagai macam les yang harus dijalani hampir setiap sore sepulang sekolah. Memang gila, karena ditengok dari usia psikis mereka, anak-anak SD jelas belum siap untuk menanggung semua beban itu. Jika pun memang siap, dia akan sangat berpotensi kehilangan kebahagiaan masa kecilnya. Semua masih ditambah lagi dengan dipaksakan masuknya pendidikan agama sedari SD. Tentu saja pendidikan agama sangat penting, tapi jika itu dikemas layaknya doktrin yang mengekang bahkan sampai memasukkan pelajaran agama sebagai ujian nasional, tentu saja patut dipertanyakan.

Kemarahan akan berbagai masalah itu yang mendorong Ariani Djalal untuk membuat dokumenter Layu Sebelum Berkembang (Die Before Blossom) ini. Filmnya mengambil subyek dua orang anak yang bersekolah di SD Ungaran 2, Yogyakarta. Mereka bernama Kiki dan Dilla. Kehidupan mereka berdua banyak diisi dengan kegiatan dari sekolah, apalagi saat mereka telah duduk di bangku kelas 6 dan semakin mendekati hari ujian nasional. Ujian nasional bagi siswa SMA saja sudah terasa berat, apalagi bagi Kiki dan Dilla yang masih SD. Mereka masih jauh dari kata siap untuk menerima segala tekanan yang hadir, apalagi nilai ujian nasional juga akan digunakan untuk pendaftaran SMP. Yang mereka hadapi tidak hanya UN tapi juga UAS yang berisikan ujian lisan dan praktek selama seminggu penuh. Beban semakin bertambah saat pelajaran Agama Islam turut dimasukkan kedalam salah satu materi UN. Dimasukkannya pelajaran agama seolah semakin mengentalkan suntikan agama di sekolah dasar, karena hampir semua aspek disana selalu diselipkan faktor agama, bahkan di pelajaran lain sekalipun, salah seorang guru berujar, "tahun lalu siswa yang nilainya bagus adalah mereka yang takwa". Seolah-olah pihak sekolah secara tidak langsung mengatakan "mereka yang bernilai bagus itu rajin ibadah, yang bernilai buruk malas beribadah"
Saya termasuk pihak yang tidak setuju dengan pelaksanaan Ujian Nasional sebagai faktor terbesar penentu kelulusan, apalagi jika itu diterapkan pada anak-anak sekolah dasar. Anak-anak yang kurang lebih berusia 11-12 tahun ini jelas belum siap menghadapi teknana sebesar itu. Tekanan saat dua jam waktu ujian menjadi penentu masa depan mereka. Bahkan dalam sebuah adegan seorang guru menyatakan hal itu di depan murid-muridnya. Bukankah itu akan membuat mereka semakin terbebani? Anak 12 tahun diberikan beban sebesar itu tanpa pembekalan yang menguatkan mental mereka??? Apa yang dilakukan oleh para guru disitu? Rutin menegaskan mereka harus beribadah rutin, terus berdoa, bahkan kalau perlu puasa sunah, karena jika malas ibadah mereka akan mendapat nilai buruk. Jangan salah, saya tidak sedang memandang rendah pengamalan agama, tapi disaat semua itu disampaikan dengan asal, pembodohan adalah hasilnya. Tanpa mempedulikan perasaan anak-anak itu, yang dilakukan hanya memberi perintah, perintah dan perintah yang bahkan menjurus kearah doktrinasi. Bukankah mengajak berbuat baik juga harus lewat cara yang baik pula? Daripada memberikan "motivasi" dengan cara membuat anak-anak menangis menyadari dosa mereka bukankah lebih baik berusaha meringankan beban dan menenangkan mereka?
Layu Sebelum Berkembang sukses mengobrak-abrik emosi saya. Ada tawa melihat kelucuan anak-anak itu, ada haru saat melihat perjuangan berat mereka dan orang tua saat diombang-ambingkan pendaftaran SMP yang menyulitkan, tapi yang paling besar tentu saja rasa marah melihat betapa ngawurnya sistem pendidikan yang diterapkan. Dengan tujuan utama "membentuk manusia seutuhnya" apa yang diperbuat sistem pendidikan saat ini pada anak-anak SD justru membuat mereka semakin jauh dari manusia, semakin dekat dengan robot. Bagaimana mungkin bisa membentuk manusia seutuhnya jika tidak memperlakukan mereka layaknya manusia? Dengan tujuan awal mengkritisi bagaimana penerapan ilmu agama di sekolah dasar, film ini justru berhasil mengeksplorasi dan melontarkan kritikan pada setiap aspek pendidikan negeri ini, setidaknya pada tarah sekolah dasar. Tapi itu bukan berarti film ini kehilangan fokus, karena kritikan pada aspek agama tetaplah terasa kuat. Satu lagi yang paling kuat berkaitan dengan kritik agama tentu saja pemasukkan Agama Islam sebagai materi ujian nasional. Saya tidak tahu apakah benar agama lain tidak diberi materi ujian, karena jika begitu tentu amat tidak adil bagi kaum minoritas. Bahkan kalaupun diberi, bukankah aneh memberikan nilai tentang penerapan agama dan ibadah anak? Bukankah benar/salahnya penerapan agama hanya berhak dilakuakn Tuhan? Ataukah mereka sedang berusaha bermain Tuhan?

Banyak ironi yang juga terjadi, sebagai contoh adalah orang tua Kiki yang selalu memerintahkan anak mereka untuk taat beragama serta rajin beribadah dan berdoa. Tapi apa yang dilakukan sang ibu menjelang ujian nasional? Membawa serta sang puteri ke tempat seorang "dukun", meminta doa yang berasal dari jampi-jampi bercampur air putih yang ditiup dan pensil 2B yang diberi doa. Banyak dari mereka terasa seperti pohon beringin. Dilihat sekilas tampak rindang, karena tertutup oleh daun-daun dan mahkota besar berupa teori agama, tapi coba lihat lebih dalam, lihat akarnya yang besar dan menjalar tidak karuan di bawah tanah. Sama saja seperti bagaimana di dalam diri mereka tersimpan begitu banyak kebusukan dan keburukan yang menggeliat hebat. Hebatnya, tidak pernah sekalipun film ini menyalahkan pendidikan agama, karena yang dikritik adalah cara penyampaian dan porsi pendidikan itu. Sungguh miris, anak-anak ini ditekan sebegitunya, dibuat untuk berkompetisi terlalu ketat dengan teman mereka sendiri, yang pada akhirnya membunuh kebahagiaan masa kecil mereka. Akhirnya kebahagiaan masa kecil itu harus layu sebelum benar-benar berkembang membentuk mereka. Sebuah dokumenter yang dibuat karena amarah Ariani Djalal dan sanggup menularkan amarah itu pada para penontonnya. Sejauh ini adalah film terbaik yang saya tonton di JAFF 2014.

7 komentar :

Comment Page:
Firmansyah Putra mengatakan...

good movie nampaknya. kalo mau dapet / download film ini dimana ya? ada info? tks. salam.

Rasyidharry mengatakan...

Kalau dvd belum keluar dalam waktu dekat, tapi banyak diputer di festival-festival, minggu ini diputer lagi di Festival Film Dokumenter Jogja :)

Firmansyah Putra mengatakan...

brother, untuk film ini ada link download nya tidak? tks.

Rasyidharry mengatakan...

Nggak ada rencana buat dibikin dvd-nya, jadi donlot juga nggak ada. Cuma bakal diputer di festival-festival aja kayaknya

Firmansyah Putra mengatakan...

oke, tks gan.

Atolah Renanda Yafi mengatakan...

sampai sekarang belum ada dvdnya ya? mau bikin nonton bareng film ini di kampus soalnya

Rasyidharry mengatakan...

Wah kayaknya nggak bakal rilis DVD deh