KUNDUN (1997)

1 komentar
Martin Scorsese identik dengan sudut gelap kota New York, kekerasan, gangster serta sisi kelam manusia. Jadi apa yang diharapkan oleh penonton termasuk saya terhadap filmnya tentang Dalai Lama ke-14 ini? Sekilas sosok Dalai Lama yang menjunjung tinggi perdamaian itu jelas tidak akan sesuai dengan tone dunia Scorsese. Tapi tengok The Last Temptation of Christ. Disana Scorsese sanggup mengemas berbagai tema favoritnya. Memberikan sisi manusiawi pada Yesus sembari menggambarkan kekerasan dan situasi yang corrupted. Itulah yang saya harapkan hadir dalam Kundun, dan sejatinya film ini punya potensi seperti itu. Pertama karena salah satu fase hidup Dalai Lama yang akan disorot adalah saat tensi antara Cina dan Tiber makin memanas. Disitu Scorsese akan mendapat kesempatan mengeksploitasi momen kelam, kekerasan, serta banyak kematian. Kedua, seperti Dalai Lama lainnya, Lhamo Dondrub (nama aslinya) telah dipastikan sebagai reinkarnasi pendahulunya pada usia yang masih amat muda, yaitu dua tahun. 

Jika kita pikir secara logika, bukankah dengan usia semuda itu (meski ia baru disahkan sebagai Dalai Lama pada usia 15) dia akan mendapat banyak kesulitan dan tekanan berat selama perkembangannya? Memang ia adalah Dalai Lama sang orang suci dan bijak, tapi ia tetaplah manusia, dan sisi humanis psikologis itu bisa jadi makanan empuk bagi Scorsese untuk dieksplorasi. Selama ini banyak orang hanya tahu Dalai Lama sebagai sosok biksu yang bijak tapi juga modern, sehingga film ini adalah kesempatan untuk penonton lebih mengenalnya sebagai manusia biasa. Tapi sayangnya, naskah Melissa Mathison dan pengarahan Scorsese tidak melakukan itu, atau lebih tepatnya melakukan tapi tidak dalam porsi yang cukup. Bagian awal mulai saat Dalai Lama masih kecil sampai usia remaja awal (sebelum dinobatkan secara resmi) adalah bagian paling menarik dan paling berperasaan dalam film ini. Disaat ia mengalami homesick, saat ia masih merasa kekuatan lebih penting daripada otak, disaat ia belum mengetahui hal-hal gelap di dunia itulah momen terbaik Kundun.
Turning point adalah saat ia menginjak usia dewasa. Disaat ia mendapati beberapa hal mencengangkan yang sebenarnya obvious, tapi tidak ia ketahui karena orang-orang kuil merasa itu semua bukan sesuatu yang layak diketahui bocah meskipun berstatus Dalai Lama (seperti keberadaann penjara, intrik politik, sampai biksu yang membawa senjata api), saya mengira akan jadi batu lompatan film ini untuk terasa lebih intens serta lebih dalam mengeksplorasi konflik. Tapi nyatanya momen itu justru awal penurunan film ini. Seiring dengan bergeraknya kisah coming-of-age ini, semakin terlihat sempurnalah Dalai Lama. Tentu sebuah hal yang wajar disaat akhirnya ia menjadi sosok yang sesuai sebagai pemimpin negara sekaligus agama. Tapi disisi lain kita kehilangan kemanusiaan karakter utama film ini. Ada sedikit usaha Scorsese untuk memperlihatkan bahwa sosok Dalai Lama ke-14 ini adalah seorang modern yang tidak kolot, tapi itu hanya lewat beberapa momen sekilas saja. 

Terasa aneh adalah disaat saya justru merasa sosok Dalai Lama asli yang saya lihat di kehidupan nyata justru lebih manusiawi daripada dalam film ini. Bukankah seharusnya pendekatan lebih personal suatu biopic akan membawa penontonnya lebih dekat, lebih intim pada karakter itu? Semua orang tahu Dalai Lama adalah seorang suci yang begitu dipuja, maka akan jadi menarik disaat sebuah film membawa kita lebih dekat pada sosok seperti itu. Tapi apa yang dilakukan Scorsese justru membawa kesempurnaan itu ke tingkat yang lebih tinggi, membuat saya sebagai penonton bukannya lebih mengenal atau terikat dengan Dalai Lama tapi justru semakin merasa asing. Sungguh tidak menarik suatu film saat karakternya (hampir) sempurna. Karena itu Batman lebih dipuja dari Superman bukan? Kundun adalah bukti cara pandang berbeda industri Hollywood terhadap mengangkat kisah orang suci yang masih hidup/belum lama mati dengan orang suci dalam kitab suci. Jenis pertama cenderung berhati-hati, kadang berujung glorifikasi. Sedang yang kedua tidak ragu memanusiakan sosok mereka. Terlihat dari The Last Temptation of Christ-nya Scorsese atau Noah-nya Aronofsky.
Tapi disaat naskah Melissa Mathison kurang berani dan pengemasan Scorsese kurang bersemangat, film berdurasi 134 menit ini tertolong oleh dua aspek teknis: sinematografi dan musik. Roger Deakins mendapat nominasi Oscar ketiganya lewat film ini. Disaat suasana film terasa dingin sekaligus datar tanpa jiwa, gambar-gambar buatan Deakins menghidupkan kesan mistis sekaligus horror yang terangkum bersama keindahan. Salah satu perfect shot disini adalah saat Dalai Lama mendapatkan vision dimana ia berdiri di tengah ratusan mayat biksu. Kamera bergerak naik, dan perlahan menampilkan mayat berwarna merah itu dalam jumlah tak terduga. Mengerikan, tapi indah. Kesan sama terasa dari scoring Philip Glass. Kedua aspek ini berpadu, menampilkan harmoni sempurna yang mengesankan di tengah kehampaan cerita. 

Scrosese pernah mewujudkan film tentang Yesus yang sebegitu manusiawinya, kenapa Kundun tidak seperti itu? Mungkinkah ini bentuk "penghormatan" terhadap sumber asli cerita? Saya tidak tahu. Tapi pengemasan itu membuat film ini terasa kurang  berjiwa dan seperti "formalitas" belaka.  Kundun barulah film ke-10 yang saya tonton dari total 24 film buatan Martin Scorsese. Belum ada setengah dari perjalanan karir sutradara legendaris ini saya nikmati, sehingga terasa prematur menyatakannya sebagai karya terburuk sang sutradara. Tapi jika dibandingkan dengan sembilan film lainnya, jelas ini paling medioker, paling tanpa jiwa, dan paling berbeda dari segi tone. Pengemasannya yang episodik daripada mengutamakan plot bisa jadi aliran perlahan yang menarik, tapi karakternya yang kurang humanis membuat saya terasing, dan film ini cukup sering melelahkan dan membosankan. Jauh dari kata buruk, apalagi berkat sinematografi dan musiknya, tapi jelas mengecewakan untuk ukuran Martin Scorsese. Faktor Disney?

1 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

ya aku juga merasa ga ada kedekatan emosi dgn sosok kundun , padahal film ini dibilang film biografi.

tapi aku tetep suka film ini . suasana kuil dan ketibetannya sungguh mencekam dan eksotik