THE WATER DIVINER (2014)

2 komentar
Setelah kemarin Ryan Gosling, hari ini saya giliran menonton debut penyutradaraan dari Russell Crowe. Di luar dugaan, Crowe dengan segala arogansinya itu memilih kisah drama penuh kehangatan serta rasa cinta seorang ayah kepada anak-anaknya. Diangkat dari buku berjudul sama karya Andre Anastasios dan Dr Meaghan Wilson-Anastasios, The Water Diviner ber-sentral pada karakter Joshua Connor (Russell Crowe), seorang petani sekaligus pencari air di Australia. Joshua harus menghadapi kenyataan bahwa sang istri, Eliza (Jacqueline McKenzie) masih tidak bisa merelakan ketiga anak mereka yang hilang di "Pertempuran Gallipoli" lima tahun sebelumnya. Eliza pun akhirnya bunuh diri, dan Joshua bertekad membawa pulang ketiga anaknya meski mereka telah mati sekalipun. Maka berangkatlah sang pencari air ini ke Turki untuk mencari keberadaan ketiga anaknya yang telah lama dianggap tewas.

The Water Diviner adalah kisah perjuangan berlandaskan cinta seorang ayah untuk melakukan sesuatu yang dianggap mustahil bahkan bodoh oleh banyak orang. Potensinya pun jelas, yakni menjadi tontonan dramatis nan menyentuh. Tapi resiko yang hadir juga besar. Berlebihan sedikit saja, filmnya akan terasa murahan. Semuanya terpancar jelas dari kisah yang hadir. Karakter Joshua berhasil menghadapi segala rintangan yang membuat pencariannya nampak mustahil. Bahkan di tengah dataran gersang yang menjadi "kuburan masal" bagi mereka yang gugur di medan perang sekalipun Joshua bisa menemukan keberadaan anak-anaknya. Caranya? Sama seperti saat dia mencari air. Tidak ada ilmu pasti, yang ada hanya keyakinan hati berbekal rasa cinta. Daripada extraordinary, perjalanan Joshua bisa saja menjadi super cheesy. Tapi Russell Crowe untungnya tidak suka ber-melodrama ria.

Seolah menyadari resiko tersebut, ia berusaha sebisa mungkin menjadikan film ini lebih sederhana. Setiap perjuangan, penemuan, momen-momen penuh keajaiban tidak coba didramatisir berlebihan. Kalau mau, iringan scoring dari David Hirschfelder pun bisa saja dibuat lebih mendayu dan membahana. Tapi nyatanya tidak. Setiap adegan berpotensi dramatis tersaji sederhana. Bukan berarti ala kadarnya, masih dipenuhi emosi hanya saja tidak dicurahkan secara berlebih. Karena dasar cerita nampaknya diniati overly-dramatic, pengemasan Crowe tersebut memang sama saja melucuti senjata utamanya, namun itu jauh lebih baik daripada berlebihan. Fokusnya lebih pada menghadirkan rasa damai daripada segala tangisan haru. Tanpa adanya kesan murahan, The Water Diviner pun sanggup menjadi suatu drama yang hangat serta nyaman ditonton.
Sebagai salah satu lawan main Crowe ada Olga Kurylenko sebagai Ayshe, seorang pemilik hotel yang suaminya juga hilang di Gallipoli. Meski disatu sisi persamaan kehilangan diantara mereka menghadirkan simpati pada hubungan yang terjalin, tetap ada ganjalan bagi saya. Ayshe masih merasa kehiangan sang suami, apalagi Crowe yang belum lama mendapati istrinya bunuh diri. Namun pertemuan beberapa waktu di hotel sudah cukup membuat keduanya jatuh cinta. Saya paham dengan maksud cerita yang ingin menunjukkan fase babak baru kehidupan. Tapi konklusi yang hadir dalam subplot hubungan mereka dipaksakan terlalu bahagia. Setelah semua usaha menghindarkan film ini dari kesan cheesy (yang mana berhasil), kesan itu justru hadir pada subplot tersebut. Akan terasa lebih hangat sekaligus tidak out-of-character jika konklusinya menyiratkan babak baru, bukan secara total sudah berada di sana.
Tapi diluar kekurangan tersebut baik Crowe maupun Kurylenko telah memberikan penampilan individu yang baik, termasuk chemistry kuat. Sebuah chemistry yang membuat saya tetap merasakan simpati pada hubungan mereka meski kekurangan di atas hadir. Olga Kurylenko meyakinkan sebagai seorang wanita penuh harga diri yang masih terkekang oleh duka. Matanya menunjukkan kekuatan, tapi juga berkaca-kaca memancarkan kesedihan terpendam. Sedangkan Crowe menghadirkan kembali sebuah penampilan yang membuatnya sempat dinobatkan sebagai aktor terbaik di dunia, khususnya berkat tiga nominasi Oscar beruntun lebih dari satu dekade lalu. Ingin tahu seperti apa rasa sayang tulus seorang ayah pada anaknya? Lihat Russell Crowe disini. Tidak perlu melihat segala perjuangan karakter Joshua, cukup lihat bagaimana ekspresi sampai gerak tubuh Crowe. Ada penderitaan yang hadir karena kehilangan, namun disaat bersamaan harapan berkat rasa cinta turut menyeruak kuat.

Verdict: Secara tidak terduga Russell Crowe tahu cara elegan untuk menghadirkan drama penuh perasaan. Tidak terlalu mengaduk-aduk emosi, tapi hangat dan penuh cinta.

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Hai, Bro Rasyidharry! Saya nominasikan blog Movfreak dalam The 2015 Liebster Award!
Silakan check post saya di sini:

https://sinekdoks.wordpress.com/2015/04/14/the-liebster-award-2015/

Pasti seru banget kalau makin banyak blog yang ikut ngramein award ini. So, kalau ada waktu silakan berpartisipasi. Good luck!

Cheers!

Rasyidharry mengatakan...

Segera :D