THE PIANO TEACHER (2001)
Originally published on MOKINO
(http://mokino.co/features/detail/190/the-piano-teacher-2001-a-destructive-and-depressing-sex-tale-full-of-irony/)
Adaptasi Michael Haneke terhadap novel The Piano Teacher (terbit tahun 1983 dan memenangkan Nobel tahun 2004) karya Elfriede Jelinek ini menunjukkan kontradiksi kehidupan melalui eksplorasi terhadap karakter utamanya. Erika Kohut (Isabelle Huppert) adalah seorang profesor sebuah sekolah musik di Vienna dan mengajar piano bagi murid-muridnya. Kita tidak tahu kehidupan Erika sebelum film dimulai, tapi sosoknya jelas mengingatkan pada stereotype perawan tua: galak, keras, tidak suka mengumbar senyum dan kaku. Sosoknya begitu meninggikan tata krama. Tapi bukan semua itu kesan pertama yang penonton dapat. Adegan pembuka memperlihatkan pertengkaran Erika dengan sang ibu (Annie Girardot). Sang ibu marah karena Erika pulang larut dan membelanjakan banyak uang untuk sebuah baju yang menurutnya tidak akan terpakai. Terjadi pertengkaran hebat yang berujung Erika menjambak rambut ibunya hingga rontok.
Impresi awalnya jelas. Erika merasa terkekang oleh ibunya. Suatu hal aneh mengingat usianya sudah mulai memasuki 40-an. Dari pembukaan saya sempat menyimpulkan Erika ingin merasakan kebebasan. Memang benar, tapi terkesan ironis bahkan hypocrite karena sebagai seorang guru, Erika juga seorang control freak, atau setidaknya begitu keras tidak jauh berbeda dari sang ibu. Dia berusaha mengesankan diri sebagai wanita yang mengedepankan tata krama. Matanya selalu menatap tajam, kepalanya tegak penuh harga diri, cara bicaranya tertata rapih. Tapi kontradiksi mulai terasa seiring berjalannya film. Erika mulai menunjukkan diri sebagai wanita yang hasrat seksualnya terkekang. Selepas mengajar, ia sering mendatangi tempat pemutaran film porno. Dia juga sempat mengintip pasangan yang berhubungan seks di sebuah Drive-in Theater, lalu memutuskan kencing di samping mobil pasangan tersebut karena terangsang.
Haneke menampilkan sisi yang bertolak belakang dalam diri Erika lewat jalan yang ekstrim. Kita melihat guru musik yang penuh manner di siang hari ini bertransformasi menjadi pencari pemuas seks di malam hari. Tidak hanya di luar rumah, di dalam pun Erika melakukan self-mutilation dengan menyilet kemaluannya dalam sebuah adegan paling "menyakitkan" dalam film ini. The Piano Teacher layaknya sebuah ode bagi konsep Sigmund Freud tentang eros (hasrat hidup) dan thanatos (hasrat kematian). Kehidupan Erika adalah saat dimana kedua sisi tersebut saling bertabrakan, apalagi setelah masuknya pemuda bernama Walter (Benoit Magimel) dalam hidupnya. Erika ingin dicintai dan mencintai (eros). Tapi menjadi rumit saat hasrat destruktif pada diri sendiri (thanatos) ia bawa dalam kehidupan seksual termasuk hubungan dengan Walter. Bersama Walter, Erika memposisikan diri sebagai masochist, namun selalu berusaha mengontrol Walter (satu lagi kontradiksi).
Memang pada hakikatnya, film ini adalah sebuah tontonan erotic. Unsur seksual baik yang tersaji gamblang maupun tersirat lewat permainan atmosfer begitu kental. Dari atmosfer, Haneke begitu jeli dalam menyuntikkan erotisme bahkan tanpa perlu adegan seks. Berbagai recital atau setiap latihan piano yang memperdengarkan musik klasik gubahan Schumann sampai Schubert bagai cerminan hasrat membara yang dituangkan dalam permainan musik penuh passion. Kuat dengan seksualitas. Tapi di samping itu Haneke juga tidak ragu menunjukkan rangkaian momen seks Erika yang lebih akan membuat penonton ngilu atau jijik daripada terangsang secara gamblang. Sulit untuk ditonton tapi efektif sebagai alat eksplorasi karakter dalam ekspresinya terhadap segala kekangan.
Tapi jangan harap bisa bersimpati pada Erika. Michael Haneke memang tidak pernah meniati itu. Satu-satunya tujuan dari The Piano Teacher adalah gambaran nyata dari sisi gelap terpendam manusia. Haneke hanya ingin menunjukkan, tidak peduli penonton mau menerima atau tidak. Mungkin terasa ekstrim. Tapi jelas ini bukan sekedar karya yang dibuat hanya untuk membuat penonton terkejut dan jijik. Bukan sekedar eksploitasi murahan. Semuanya adalah sisi terpendam manusia. Wajar jika penonton tercengang, karena hal itu memang hampir tak pernah nampak di permukaan, dikekang sebagai bentuk pemujaan terhadap apa yang kita sebut "norma". Tapi itu nyata. Hasrat itu jelas ada. Hanya kita saja sebagai manusia yang tidak pernah (atau menolak) menyadari. Erika menyadari itu, dan berujung pada sebuah fantasi tentang aktifitas seksual. Tapi fantasi tetaplah fantasi, belum tentu seindah realita. Pada akhirnya klimaks hingga ending yang shocking menunjukkan bagaimana ekspektasi yang "terkhianati" jadi begitu menyakitkan.
Duet Isabelle Huppert dan Benoit Magimel makin memperkuat kisahnya. Keduanya menghidupkan dua karakter yang sekilas berbeda namun sesungguhnya serupa. Isabelle Huppert sebagai Erika menunjukkan dengan begitu nyata seorang wanita yang mati-matian memendam hasratnya. Apa yang aktris ini perlihatkan adalah keindahan lakon peran realis dimana gestur kecil dari tangan (bahkan jari) berperan besar menyajikan kecemasan nyata. Benoit Magimel pun sama kuatnya. Bedanya adalah tokoh Walter tidak segan menunjukkan rasa tidak nyaman terhadap hasrat yang ditekan. Kecemasan pun ia tunjukkan begitu kuat lewat ekspresi yang jauh lebih besar dan lebih nampak dari apa yang diperlihatkan Erika. Akting keduanya mampu menutupi fakta bahwa durasi 131 menit film ini masih belum menjadi penjabaran yang cukup untuk eksplorasi kehidupan Erika. Hasrat seksual terpendam itu rumit. Mungkin butuh durasi tiga jam untuk mencapai kedalaman bertutur layaknya Lars Von Trier dalam Nymphomaniac.
Verdict: Destruktif, kelam dan intens. Visualisasi ekstrimnya lebih dari sekedar eksploitasi kosong. Semuanya substansial untuk eksplorasi karakter sekaligus menampar penonton pada realita
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar