IT FOLLOWS (2014)
Seorang gadis berlari ketakutan keluar dari rumahnya. Dia seperti sedang dikejar oleh sesuatu/seseorang, tapi kita tidak pernah melihat sosok tersebut. Keesokan paginya, sang gadis telah tewas di pantai dalam kondisi mengenaskan. Adegan pembuka itu mengesankan bahwa "it" dalam judul film adalah sosok misterius yang tidak akan nampak dan diketahui sosoknya. Narasi lalu berpindah, berfokus pada gadis lain bernama Jay (Maika Monroe) yang hendak berkencan dengan pria bernama Hugh (Jake Weary). Pada awalnya kencan terlihat lancar dimana keduanya saling berinteraksi dengan nyaman. Namun situasi berubah sedikit aneh saat Hugh melihat seorang wanita berbaju kuning sedangkan Jay tidak. Pada kencan berikutnya, Hugh membius Jay sesaat setelah keduanya berhubungan seks. Di sebuah bangunan kosong, Hugh bercerita bahwa alasannya melakukan itu adalah untuk memindahkan teror yang ia alami. Sebuah teror yang hanya bisa dipindahkan (ditularkan) lewat hubungan seks dan sang korban akan terus diikuti secara perlahan oleh sosok misterius sebelum akhirnya dibunuh olehnya.
Seperti yang dikatakan oleh sutradara sekaigus penulis naskah David Robert Mitchell, cerita film ini akan terdengar begitu bodoh. Sebuah teror/kutukan dari makhluk supranatural (?) yang berpindah lewat hubungan seks memang terkesan bodoh dan murahan seperti kebanyakan horor kelas B diluar sana. Tapi sebaliknya, setelah diterjemahkan oleh Robert Mitchell ke layar, It Follows justru menjadi sajian stylish yang begitu elegan. Mulai dari setting, properti, hingga score garapan Disasterpeace, semuanya mempunyai rasa retro. Memang gaya 80-an seperti ini tengah menjadi cara yang digemari para sineas indie untuk membuat filmnya lebih keren. Salah satu contoh terbaru bisa dilihat pada The Guest (review) milik Adam Wingard. Tapi It Follows bukan sekedar pamer gaya tanpa tujuan. Dari berbagai aspek di atas, yang paling dominan tentu saja musik, dan itu dimanfaatkan oleh Robert Mitchell untuk membangun atmosfer tidak nyaman disini. Scoring-nya bersinkronisasi sempurna dengan gaya sang sutradara yang menuturkan alurnya secara lambat. Suatu komposisi yang terbukti efektif mewakili kecemasan yang melanda karakternya, lalu menularkan itu pada penonton.
Cara mengundang rasa takut lewat pembangunan atmosfer ini juga yang sesungguhnya membuat saya sedikit dikecewakan saat Robert Mitchell memilih untuk memperlihatkan perwujudan sosok "it". Pada akhirnya penonton memang tidak pernah tahu siapa atau apa sesungguhnya makhluk tersebut, tapi tetap ada penurunan rasa misterius yang hadir oleh unseen terror lewat kemunculan tersebut. Tapi hal tersebut sangat bisa dimaafkan mengingat kelihaian Robert Mitchell dalam mengemas setiap penampakan yang ada. Desain "it" sesungguhnya sederhana dan tidaklah original. Kita sudah sering melihat sosok seperti ini dalam film-film bertemakan cult organization. Tapi semuanya kembali lagi pada cara penyajian, dan Robert Mitchell tahu cara menyajikan sosok tersebut dengan begitu mengerikan. Secara timing sesungguhnya tidak terlalu spesial, tapi yang membedakan formula film ini dengan horor modern kebanyakan adalah ketiadaan kesan jump scare yang mengandalkan musik menghentak. Sebaliknya, mayoritas penampakan sama sekali tidak diiringi musik, dan justru dari situlah kesan creepy hadir. Sayang, setelah konsistensi baik dalam atmosfernya, klimaks film ini begitu datar. Saya yakin minimnya ketegangan di klimaks banyak dipengaruhi oleh sosok "it" yang ditampakkan.
Kekurangan lain film ini terletak pada karakter. Disaat pemaparan horornya berusaha menjauh dari formula klise, karakternya justru mendapat perlakuan sebaliknya. Tipikal karakter film horor adalah tindakan bodoh yang diambil saat tengah mendapat teror. Daripada mengambil langkah paling aman, seringkali mereka justru membahayakan diri sendiri semisal pergi sendirian ke tempat sunyi daripada tetap di tengah keramaian. Hal tersebut begitu nampak pada karakter Jay. Pada sebuah momen saat untuk pertama kalinya teman-teman Jay menyadari bahwa sosok misterius itu benar-benar ada, Jay justru memilih untuk kabur sendirian. Bukankah lebih aman jika bersama teman-temannya? Bukankah Jay bisa memberi tahu posisi dari makhluk itu pada mereka sambil tetap berusaha kabur bersama? Oh, ternyata semua itu disimpan sebagai klimaks. Selain itu banyak lagi kebodohan karakter yang hanya punya satu tujuan: memfasilitasi sosok "it" untuk bisa menebar teror. Patut disayangkan karena Jay dengan segala kecemasan yang dialami bisa menjadi karakter wanita kompleks, seperti yang dipertontonkan The Babadook (review).
Diluar kebodohannya, bagaimana Jay dihadirkan sebagai sosok yang dihantui kecemasan terasa selaras dengan tema yang diangkat oleh film ini. Untuk lebih mendalami temanya, mari tengok dua literatur yang sempat dinarasikan disini, yaitu novel The Idiot dan puisi The Love Song of J. Alfred Prufrock. Keduanya punya beberapa kesamaan, dimana salah satunya menyoroti tema kematian, atau lebih tepatnya manusia sebagai makhluk yang tidak hidup selamanya. Fakta itu menciptakan kecemasan bahwa suatu saat manusia akan mati, sama seperti yang dialami oleh Jay. Kedua literatur itu juga membahas isu sosial yang salah satunya tercipta oleh hasrat seksualitas. Seks dalam film ini menjadi cara untuk memindahkan teror (baca: menularkan kematian). Sosok "it" disebarkan lewat seks, dan jika dikaitkan dengan isu sosial bisa jadi "it" adalah perlambang dari penyakit menular seksual. Atau jika tidak sedetail itu, setidaknya ia adalah gambaran bagaimana aktifitas seksual yang pada masyarakat modern saat ini justru seringkali berujung pada kehancuran bahkan kematian mereka. Terakhir, saya begitu menyukai ending-nya yang multi-interpretasi namun bukanlah sebuah bentuk kebingungan sang sutradara dalam mengakhiri filmnya. Sebaliknya, kesan ambigu tersebut makin memperkuat misteri yang menyelimuti sepanjang cerita.
Verdict: Tidak sempurna, tapi pengemasan David Robert Mitchell membuat It Follows yang punya bujet murah ini jadi terasa jauh lebih mahal dari horor penuh jump scares belakangan. Semakin berkelas pula saat ceritanya menyajikan kritik terhadap modern society dan perilaku seks mereka, meski tanpa interpretasi itu pun filmnya sudah cukup kuat.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:agak segmented sih film ini, saya sesudah dipukau dgn opening yg begitu misterius malah sedikit merasa bosan ketika film bergerak ke tengah
dan bener, karakter Jay juga sedikit annoying dgn keidiotannya :D
Robert Mitchell nampilin sosok gamblang "It" kayaknya emang biar nggak tambah segmented
Posting Komentar