THE MERMAID (2016)

14 komentar
Terlepas dari kualitasnya, film karya Stephen Chow ini telah menjadi sebuah fenomena. Keberhasilannya meraup pendapatan $542 juta sejauh ini menempatkan The Mermaid sebagai film terlaris sepanjang masa di Cina sekaligus film terlaris nomor dua tahun ini di belakang Deadpool. Di luar fakta bahwa negeri tirai bambu kini merupakan pasar terbesar bagi industri film mengalahkan Hollywood, tentu ada faktor lain yang memicu kesuksesan tersebut. Faktor itu adalah pemahaman Stephen Chow terhadap formula blockbuster. Chow mengerti apa saja kebutuhan suatu crowd pleaser serta bagaimana memaksimalkannya.

The Mermaid berkisah tentang Liu Xuan (Deng Chao), seorang pebisnis sukses -sekaligus playboy- yang baru membeli Teluk Hijau, sebuah suaka alam bagi hewan laut khususnya lumba-lumba. Demi melancarkan niatnya mereklamasi tempat itu, Liu Xuan memasang sonar untuk mengusir lumba-lumba, tanpa mengetahui hal itu turut mengganggu habitat para duyung. Banyak duyung terkena radiasi, terluka parah bahkan tewas akibat pengaruh sonar tersebut. Demi menyelamatkan diri, mereka pun berencana membunuh Liu Xuan dengan memanfaatkan sisi hidung belangnya. Diutuslah Shan (Lin Yun) guna menggoda Liu Xuan dan memancingnya ke dalam perangkap. Tapi pada akhirnya Shan justru benar-benar jatuh cinta pada Liu Xuan, begitu pula sebaliknya.
Jadi apa saja kebutuhan crowd pleaser yang dimiliki The Mermaid? Semua! Setiap orang senang dibuat tertawa, dan sebagaimana karya Stephen Chow lain -kecuali CJ7- film ini mampu menghadirkan tawa. Sesungguhnya terdapat miss di beberapa lelucon khususnya pada bagian awal, karena sulit untuk bisa seketika "terhubung" dengan komedi absurd khas Chow ketika sedari pembuka kuantitas kehadirannya langsung tinggi, tidak peduli anda familiar atau tidak dengan gayanya. Namun seiring berjalannya durasi sekaligus suksesnya pembangunan mood, "daya bunuh" joke-nya jadi luar biasa. Timing tak terduga ditambah totalitas kebodohan serta kreatifitas Chow menghasilkan momen komedik yang mampu membuat saya tertawa tanpa henti hingga meneteskan air mata dan sakit perut, terlebih pada satu adegan ber-setting kantor polisi.
Satu lagi hal favorit penonton adalah kisah cinta. Romansa Liu Xuan dan Shan sesungguhnya tak mendominasi durasi, namun Chow berhasil memanfaatkan keterbatasan itu lewat penggunaan satu-dua baris kalimat romantis yang berkat akting kuat para aktornya sanggup mencengkeram perasaan saya. Sebagai contoh tatkala Liui Xuan mengungkapkan bagaimana berharganya Shan. Deng Chao menghantarkan tiap kata penuh kesungguhan hati, hingga saya bisa meyakini bahwa karakternya memang merasakan itu. Kalimat-kalimatnya memang klise, begitu pula momen klimaks dramatisnya, tapi hal-hal standar atau bisa dibilang cheesy justru lebih efektif menggaet hati penonton apabila digarap secara maksimal. Chow dan deretan cast-nya berhasil memaksimalkan itu.

Kelebihan terbesar Stephen Chow bukan sekedar pada penghantaran komedi, tapi bagaimana ia mengkombinasikan absurditas lelucon dengan sensitifitas drama. Kali ini pun sama, terlihat dari kuatnya romansa dua tokoh utama meski secara keseluruhan hanya sekali mereka diperlihatkan "berkencan" lewat sebuah montage penuh canda tawa. The Mermaid sejatinya juga mengangkat isu penting terkait reklamasi dan pelestarian satwa laut. Satu footage tentang pembantaian lumba-lumba dan adegan perburuan duyung saat klimaks cukup menghadirkan horor di benak saya, walau sayangnya penelusuran isu utamanya kurang mendalam, karena secara keseluruhan, alurnya pun dikemas kurang rapih, penuh lompatan kesana kemari, meminimalisir peluang mengeksplorasi pokok bahasan tersebut. Tapi sebagai sajian blockbuster, The Mermaid mampu memberi kepuasan besar. Stephen Chow is a comedy genius!


SPHERE X FORMAT REVIEW
Setelah beberapa kali mencari, akhirnya saya menemukan seat paling cocok bagi saya (baca: orang berbadan tinggi). Jika anda memiliki tinggi badan minimal 175 cm, pilihlah G atau H, karena di situlah format lay back chair dapat terasa "khasiatnya". Pemilihan seat memang vital saat menonton di SphereX, karena meleset sedikit saja (terlalu maju/mundur) akan mengurangi lingkup pandang. Namun jika seat-nya tepat lingkup pandang pun lebih menyeluruh dan format layar besar terasa lebih maksimal. Bagaimana jika tinggi badan anda di bawah 175 cm? Posisi D hingga F adalah pilihan tepat.

Alasan saya menyukai format layar besar macam SphereX adalah gambar serasa lebih dekat tanpa degradasi kualitas detail tekstur. Sayangnya, saya tidak tahu apakah konversi aspect ratio-nya tidak sesuai atau karena faktor lain, beberapa adegan terlihat stretch. Selain itu, gambar di pojok atau tepatnya pada posisi layar SphereX yang mengkerucut beberapa kali tampak bergelombang saat kamera bergerak. 

Untuk sound, saya tidak tahu bagaimana pastinya pembagian jumlah speaker di auditorium SphereX. Tapi sepertinya mayoritas terletak di depan (belakang layar), sehingga semakin ke depan posisi duduk anda, suara akan terdengar lebih keras. Apalagi auditorium di Hartono Mall Jogja masih memakai teknologi Dolby 7.1, bukan Dolby Atmos seperti Empire XXI misalnya. Sama seperti film-film lain, aspek suara The Mermaid tidak punya kelebihan berarti. Jadi sebelum dilakukan upgrade, jangan harap teknologi SphereX di situ akan memberi movie experience sehebat yang dijanjikan. 

Apakah The Mermaid layak ditonton dalam format SphereX? Well, not really. Ketika aspek visual dan tata suara sama-sama tidak maksimal maka lebih baik simpan uang anda untuk format lain saja. (2.5/5)

Ticket Powered by: ID Film Critics

14 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

waw senangnya ada film bagus lagi...

Andikdik mengatakan...

Stephen Chow best lah kalo urusan crowd pleaser.
Sampe sekarang ane juga masih ngakak kalo nonton ulang Shaolin Soccer :v

Unknown mengatakan...

review anomalisa dong

Rasyidharry mengatakan...

Udah cukup lama nggak ketawa puas di bioskop :)

Rasyidharry mengatakan...

Yes! Shaolin Soccer & Kung Fu Hustle itu klasik yang nggak pernah ngebosenin

Rasyidharry mengatakan...

Soon, kelarin film bioskop dulu :)

Alvin Maulana mengatakan...

Adegan saat Kakak Guritanya Shan pakai Celana juga bikin tertawa sampai mules. Kok bisa2nya Stephen Chow punya ide seperti itu :D

Rasyidharry mengatakan...

Adegan "burung tentakel" itu ya. Chow emang ngehek haha

halumma mengatakan...

Kalo di situs review film sebelah ni film malah dibilang buruk..hhmm.kudu nonton neh..

Rasyidharry mengatakan...

Asal jangan ngarepin cerita kompleks, akting kelas wahid & CGI mewah, film ini fun banget :)

Unknown mengatakan...

Kalau mau review film yang sudut pandangnya luas,di movfreak aja .....

Teguh Yudha Gumelar mengatakan...

imajinasi chow tentang komedi memang jenius
semua film chow benar2 tidak pernah ngebosenin. ditonton berapa kali pun tetep ngakak

Anonim mengatakan...

Terima kasih untuk penulis blog ini. Salam kenal, mas.
Sungguh, blog ini semakin membuka wawasan saya pribadi soal film. Saya sangat suka baca review film ini. Nggak baca review film di blog-blog lain lagi, deh. Bahkan sebelum membeli dvd film (karena di tempat saya jauh dari bioskop), saya baca review dlu di blog ini.
Terima kasih, mas... good job!!!

Rasyidharry mengatakan...

Wah, terima kasih juga ya menyempatkan & suka baca di sini. Keep watching movie! :D