TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES: OUT OF THE SHADOWS (2016)
Meski digempur tanggapan buruk kritikus (22% di Rotten Tomatoes), Teenage Mutant Ninja Turtles (2014) sukses meraup pendapatan $493 juta di seluruh dunia, sehingga mudah bagi Paramount dan Nickelodeon memberi lampu hijau terhadap pembuatan sekuel. Awalnya saya tidak mempedulikan perilisan Out of the Shadows, karena walau tongkat penyutradaraan berpindah dari Jonathan Liebesman ke tangan Dave Green, it's still gonna be the same Michael Bay-inspired movie that filled with more mindless explosion than exposition. Namun pasca kemunculan trailer pertama berisi eye candy visual plus iringan lagu It's Tricky milik RUN-DMC (versi remix DJ Fresh), saya putuskan memberi kesempatan pada filmnya.
Pasca mengalahkan The Shredder (Brian Tee) di film pertama, keempat kura-kura (Leonardo, Raphael, Michelangelo, Donatello) memilih tetap bersembunyi di saluran air, memberikan kredit untuk Vern Fenwick (Will Arnett) yang kini dielu-elukan sebagai pahlawan kota. Namun nyatanya The Foot Clan belum mati, dan dengan bantuan Dr. Baxter Stockman (Tyler Perry), mereka berniat mengeluarkan sang pemimpin dari penjara. Kali ini Shredder tidak sendiri tatkala sesosok alien bernama Krang (Brad Garrett) menawarkan bantuan guna memuluskan aksinya menguasai Bumi. Berkat Krang pula Shredder mampu mengubah dua penjahat biasa, Bebop (Gary Anthony Williams) dan Rocksteady (Stephen Farrelly) menjadi mutan berkekuatan super.
Josh Appelbaum dan André Nemec coba menitikberatkan naskah pada banter keempat protagonis, dengan harapan terjalin chemistry melalui interaksi. Tapi eksekusi usaha tersebut terlampau dangkal akibat duo penulis asal menumpuk celotehan demi celotehan sebanyak mungkin (quantity over quality). The turtles always bragging about things when they're in action, but it wasn't well-constructed. Alhasil eratnya hubungan sama sekali tidak nampak saat rentetan dialog berlalu begitu saja. Lemahnya dialog turut membuat bumbu komedi urung menghadirkan tawa akibat timing yang tak diperhatikan. Painfully unfunny. Beberapa karakter lain turut tersia-siakan. Shredder dan Krang kurang menebar ancaman berarti kala keduanya lebih sering bicara daripada beraksi, begitu pun Cassey Jones (Stephen Amell) yang membosankan alih-alih badass. At least Megan Fox is hot as usual. Dia paham fungsi April O'Neil selaku eye candy, lalu membawakannya tanpa harus terlalu serius.
Ceritanya bodoh dan bukan masalah mengingat status film sebagai popcorn blockbuster semata. Namun Josh Appelbaum dan André Nemec seolah bersikeras mengemas naskah supaya terkesan lebih pintar. Tengok berapa kali terlontar kalimat (sok) filosofis mengenai self-accetance, juga pemaparan scientific (sok) rumit guna menjelaskan unsur lompatan dimensi. Pertama, penonton tahu mereka tengah menyaksikan film seperti apa sehingga takkan begitu mempermasalahkan bagaimana portal dimensi itu bekerja. Kedua, akibat dangkalnya penulisan, bukannnya menjelaskan, rangkaian kalimat itu justru terdengar membingungkan. Orang bodoh yang berusaha keras sok pintar tanpa kemampuan memadahi justru terlihat makin bodoh. Begitulah film ini.
Saya bisa cukup memaafkan kekurangan di ranah penulisan naskah apabila Out of the Shadows mampu menyajikan hiburan menyenangkan, tapi bahkan gelontoran adegan aksinya gagal menarik perhatian. Klimaks yang menampilkan invasi alien ikut berakhir di "nada rendah" tatkala Green memilih berfokus pada action berskala kecil yang tidak terkoreografi dengan baik. Akhirnya klimaks pun hanya bagaikan ripoff buruk nan membosankan dari The Avengers. Penyutradaraan Green memang minim kreatifitas tatkala ia lebih mengadopsi flashy visual dan robot alien ala Transformers-nya Michael Bay, tapi selaku "a heavily-influenced-by-Bay movie", kadar eksplosinya terlampau minim. Satu-satunya set-piece aksi menyenangkan adalah jika Bebop dan Rocksteady ikut terlibat, hingga amatlah disayangkan keduanya tak dieksploitasi ketika momen klimaks. Unsurprisingly 'Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows' is weak on story and characters, but I never thought that the entertainment level is at the lowest point too.
SPHERE X FORMAT: Keunggulan Sphere X adalah immersive visual experience, dan sebuah film butuh memiliki kualitas CGI atau sinematografi mumpuni demi pengalaman maksimal. CGI milik Ouf of the Shadows terasa biasa saja, sehingga format layar raksasa tak memberi kepuasan lebih kala detail visualnya (ex: wajah Turtles atau tekstur Bebop dan Rocksteady) tampak cartoonish. Sinematografi garapan Lula Carvalho yang didominasi nuansa gelap plus pengadeganan David Green yang terlalu banyak menumpahkan objek dalam frame semakin melemahkan kekuatan visual. Sedikit penolong adalah tata suara menggelegar, which is one of the best I've ever experienced on Sphere X format. (2.5/5)
Ceritanya bodoh dan bukan masalah mengingat status film sebagai popcorn blockbuster semata. Namun Josh Appelbaum dan André Nemec seolah bersikeras mengemas naskah supaya terkesan lebih pintar. Tengok berapa kali terlontar kalimat (sok) filosofis mengenai self-accetance, juga pemaparan scientific (sok) rumit guna menjelaskan unsur lompatan dimensi. Pertama, penonton tahu mereka tengah menyaksikan film seperti apa sehingga takkan begitu mempermasalahkan bagaimana portal dimensi itu bekerja. Kedua, akibat dangkalnya penulisan, bukannnya menjelaskan, rangkaian kalimat itu justru terdengar membingungkan. Orang bodoh yang berusaha keras sok pintar tanpa kemampuan memadahi justru terlihat makin bodoh. Begitulah film ini.
Saya bisa cukup memaafkan kekurangan di ranah penulisan naskah apabila Out of the Shadows mampu menyajikan hiburan menyenangkan, tapi bahkan gelontoran adegan aksinya gagal menarik perhatian. Klimaks yang menampilkan invasi alien ikut berakhir di "nada rendah" tatkala Green memilih berfokus pada action berskala kecil yang tidak terkoreografi dengan baik. Akhirnya klimaks pun hanya bagaikan ripoff buruk nan membosankan dari The Avengers. Penyutradaraan Green memang minim kreatifitas tatkala ia lebih mengadopsi flashy visual dan robot alien ala Transformers-nya Michael Bay, tapi selaku "a heavily-influenced-by-Bay movie", kadar eksplosinya terlampau minim. Satu-satunya set-piece aksi menyenangkan adalah jika Bebop dan Rocksteady ikut terlibat, hingga amatlah disayangkan keduanya tak dieksploitasi ketika momen klimaks. Unsurprisingly 'Teenage Mutant Ninja Turtles: Out of the Shadows' is weak on story and characters, but I never thought that the entertainment level is at the lowest point too.
SPHERE X FORMAT: Keunggulan Sphere X adalah immersive visual experience, dan sebuah film butuh memiliki kualitas CGI atau sinematografi mumpuni demi pengalaman maksimal. CGI milik Ouf of the Shadows terasa biasa saja, sehingga format layar raksasa tak memberi kepuasan lebih kala detail visualnya (ex: wajah Turtles atau tekstur Bebop dan Rocksteady) tampak cartoonish. Sinematografi garapan Lula Carvalho yang didominasi nuansa gelap plus pengadeganan David Green yang terlalu banyak menumpahkan objek dalam frame semakin melemahkan kekuatan visual. Sedikit penolong adalah tata suara menggelegar, which is one of the best I've ever experienced on Sphere X format. (2.5/5)
Ticket Powered by: Indonesian Film Critics
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar