TERPANA (2016)
Termasuk satu dari segelintir orang yang menyukai "Melancholy Is A Movement", bahkan menempatkannya sebagai salah satu film terbaik Indonesia tahun 2015 lalu membuat saya amat menantikan "Terpana" selaku hasil penyutradaraan ketiga Richard Oh. Hasilnya masih tetap aneh dan membingungkan, tapi kali ini absurditas bukan (hanya) disebabkan oleh bahasa visual non-linear melainkan kalimat-kalimat bernada scientific yang kadang pula berusaha poetic sebagai pembungkus pokok bahasan filosofis mengenai berbagai hal khususnya probabilitas. Sayang, justru karena itulah filmnya kurang meninggalkan kesan.
"Terpana" dibuka lewat pertemuan tidak sengaja Rafian (Fachri Albar) dan Ada (Raline Shah), di mana Rafian diam terpaku, terpana melihat sosok sang gadis yang justru menghindarkannya dari kecelakaan maut. Rafian percaya kejadian itu bukanlah kebetulan, anggapan yang tegas dibantah Ada. Setelahnya, mereka terlibat pembicaraan tentang trajectory, kemungkinan-kemungkinan, cinta, serta masih banyak lagi. Terlampau banyak malah, sebab Richard menuangkan gagasan lebih dari yang bisa ditampung dalam film berdurasi hanya 73 menit.
Segalanya terdengar menarik di awal, memancing pemikiran akan pemaknaan suatu kejadian yang bagai kebetulan, mengaitkannya dengan nilai probabilitas. Namun kemudian pembicaraan semakin meluas tak terkendali, mendadak berganti topik tanpa bisa terdeteksi. Belum lagi Richard menggunakan struktur kalimat "tak bersahabat", semakin meyulitkan proses pencernaan atas suatu tema yang sejatinya sudah tak mudah dipahami. "Melancholy Is A Movement" walau absurd tapi menekankan pada bahasa visual (sebagaimana sinema semestinya) serta mempunyai perenungan personal yang dapat bebas dimaknai tiap penonton tergantung pengalaman hidup masing-masing. Sedangkan "Terpana" bak proses reciting buku ilmiah yang didokumentasikan.
Jika "Terpana" diibaratkan suatu kelas berisi materi pelajaran berat, maka Raline Shah dan Fachri Albar merupakan pengampu materi. Raline punya cukup charm untuk menggaet atensi penonton, tapi Fachri tidak. Bukan aktingnya buruk, namun gaya khas sang aktor sebagai pria canggung kurang cocok dipakai meningkatkan daya pikat narasi. Justru melalui kemunculan singkatnya, Reza Rahadian (memerankan Man from somewhere) sukses menyuntikkan bobot pada kata demi kata, memberi magnet kuat sehingga saya betah mendengarkan penuturannya.
Sinematografi garapan Vera Lestafa yang sebelumnya juga menangani aspek serupa di dokumenter "Tanah Mama" jadi sisi yang tak pernah gagal membuat saya terpana. Berbagai lokasi indah alam terbuka, gelapnya gua, bahkan keramaian kota tersaji sebagai panggung memikat mata bagi perbincangan Rafian dan Ada. Bukan saja indera penglihatan, pendengaran pun turut dimanjakan oleh deretan lagu rilisan Rooftop Sound terutama "Lead the Way" yang ditulis pula dinyanyikan oleh Joko Anwar.
Dua hal tampak coba Richard Oh lakukan dalam "Terpana", yakni memaparkan opini juga memprovokasi persepsi penonton. Poin kedua mungkin kurang berhasil, sebab guna memancing pemikiran kritis, penonton harus diajak memahami terlebih dahulu suatu pokok bahasan, yang mana terhalangi pencapaiannya akibat keliaran Richard bertutur. Tapi "Terpana" nyatanya tetap menyimpan daya magis yang sulit dijabarkan secara gamblang karena bertempat di ranah rasa, serupa yang menimpa dua karakter utamanya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
8 komentar :
Comment Page:ituuu salah satunya yang aku rasa agak gimana adalah saat liat trailernya kata2 poetic nya terasa kurang pas buat dirasakan lebih jauh.. :(
sangat menantikan kolaborasi Reza dgn Joko Anwar
Menantikan kembali duel akting reza dan fachri.dgn porsi keduany pemeran utama..pasti seru tuh
Begitu ditonton lebih pusing kok hehe
Bakal kejadian kok suatu hari, sementara baru di Halfworld dulu
Dari yang kelihatan di film ini sih Reza masih unggul pas beradu kalimat :)
Reza aktor generasi muda yg luar biasa aktingnya... tanpa bertutur pun, sorot matanya bisa ikut berakting
reza lg aja yg maen gila emang tuh orang
download film Comedy
Posting Komentar