MY GENERATION (2017)
Rasyidharry
November 05, 2017
Alexandra Kosasie
,
Arya Vasco
,
Bryan Warow
,
Cukup
,
Drama
,
Indah Kalalo
,
Indonesian Film
,
Joko Anwar
,
Karina Suwandi
,
Lutesha
,
Muhammad Firdaus
,
REVIEW
,
Tyo Pakusadewo
,
Upi
18 komentar
Pada 1965, lewat lagu My Generation, The Who mewakili perlawanan kaum muda. Meneriakkan "People try to put us down. Just because we get around" sebagai protes saat pemegang otoritas pun generasi terdahulu menganggap semangat Baby Boomers yang menyulut perubahan kultural adalah kebejatan mengganggu. 52 tahun berselang, Upi merilis film terbarunya, juga berjudul My Generation. Mengusung tagline "No one can stop us", giliran milenial bersuara. Seni cenderung mencerminkan zaman. Membandingkan dua contoh di atas, dapat diasumsikan benturan antar-generasi merupakan lingkaran yang selalu berulang. Generasi tua merasa yang muda keblinger, sebaliknya pemuda jengah akan kekakuan sikap tetua. Pun bukan mustahil bila muda-mudi macam empat protagonis film ini Zeke (Bryan Warow), Konji (Arya Vasco), Suki (Lutesha), dan Orly (Alexandra Kosasie) kelak bakal dipandang kolot oleh anak-anaknya. Menarik disimak cara Upi menangani kompleksitas tersebut.
Zeke, Konji, Suki, dan Orly terpaksa mengubur keinginan berlibur ke Bali akibat dihukum para orang tua pasca video yang menampilkan keempatnya mengkritik sistem pendidikan sekolah serta orang tua berujung viral. Merasa terlalu keren untuk patuh dan diam di rumah, mereka memilih beraktivitas sesuka hati, entah mendatangi roller disco atau menerobos atap gedung hingga dikejar satpam. Serahkan pada Upi untuk merangkai parade letupan semangat masa muda yang mudah membuat penonton tersenyum, tenggelam dalam keasyikan. Tidak ketinggalan memeriahkan suasana adalah keramaian warna sinematografi Muhammad Firdaus serta barisan musik hip-hop dengan lirik yang mewakili kebebasan pikir pula tutur tokohnya.
Walau sama-sama debutan, empat pemeran utama nyatanya sanggup memberi cukup energi guna menggerakkan filmnya. Dinamika dua pria, Bryan Warrow si biang onar dan Arya Vasco yang lebih berhati-hati, Alexandra Kosasie yang senantiasa mencengkeram atensi ketika melontarkan komentar sinis, hingga Lutesha yang mampu mewakili sisi kelam remaja dengan depresi. Sementara di jajaran pendukung, Tyo Pakusadewo dan Karina Suwandi sebagai orang tua Zeke memberi penampilan terbaik, menghadirkan dua sisi duka kontradiktif: kediaman meresahkan dan luapan pilu menusuk. Ceramah bertubi-tubi Joko Anwar (ayah Konji), juga eksentriknya Indah Kalalo (ibu Orly) pun tak kalah mencuri perhatian.
Tentu My Generation bukan mengenai senang-senang semata. Sejak menit awal, tanpa basa-basi kuartet protagonisnya langsung menyuarakan isi hati yang niscaya segera diamini golongan penonton masa kini. Curahan tersebut memanaskan konflik mereka dengan orang tua masing-masing. Zeke merasa keberadaannya tak diharapkan, Konji selalu diceramahi tentang norma, Suki lelah dianggap memalukan nama keluarga, sementara Orly risi mendapati sang ibu yang terlampau eksis di media sosial dan memacari pria berusia jauh lebih muda. Pertanyaannya, seberapa cerdik Upi mengolah bentrokan generasi ini?
Di satu titik karakternya mengutarakan perspektif jika sikap protektif orang tua dikarenakan sewaktu muda dahulu berbuat hal serupa anak-anaknya. Ada kesadaran seputar siklus berulang perilaku tiap generasi. Sayangnya Upi urung menggali soal itu. Padahal bisa muncul titik temu, solusi berupa pemahaman kedua belah pihak bahwa orang tua pernah muda dan sama liarnya, sedangkan milenial suatu hari (mungkin) akan mengalami perubahan pola pikir seiring pendewasaan. Akhirnya My Generation berhenti di tataran "kado bagi milenial". Tidak salah, tapi berpotensi membahas perihal generasi secara lebih luas.
Kelemahan My Generation memang bertumpuk di resolusi. Seiring konflik memanas, berkurangnya keceriaan adalah proses natural. Memasuki paruh kedua, nuansa kelam menyeruak, namun alih-alih menguatkan bobot emosi, justru melucuti daya tarik akibat kurang cakapnya Upi menjalin dinamika dramatik. Bertambah kelam tanpa bertambah dalam. Satu-satunya momen solid adalah ketika orang tua Suki menemukan "petunjuk" terkait kondisi mentalnya. Suatu tamparan keras, sebab selama ini mereka kerap memasuki kamar Suki tapi tak sekalipun menyadari meski semua terpampang jelas. Film mencapai titik nadir begitu menyentuh akhir, sewaktu "konklusi ajaib" jadi pilihan. Selesainya satu perselisihan tiba-tiba turut menyelesaikan masalah lain walau tak saling bersinggungan. Langkah penggampangan yang mestinya tidak dipakai untuk menutup deretan problematika rumit.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
18 komentar :
Comment Page:Ciiee Mas Rasyid ikut premiere film ini, saya lihat di instagram mas Tariz..hhe, celetuk dalam hati saya pasti di review selepas subuh pagi he,
Sayang, padahal ini film yang saya tunggu di tahun ini setelah Marlina...tapi tetep worth to watch gak Mas?
Biar nggak selebgram doang yang dateng, kita berdua ngerusuh haha
Masih kok. Baru turun sekitar 20-30 menit terakhir. Aktingnya juga asyik
Mas ...ignya apa? Saya pembaca setia nih
Mas ...ignya apa? Saya pembaca setia nih
Mas Rasyid gak pake ig, cuma twitter doank he
Opini sementara buat Surat Cinta untuk Starla The Movie gimana mas? Secara bukan Asep Kusdinar yang garap...
@Zamal Yap, nggak pake IG, cuma ada twitter
@Ungki Ah penulisnya masih sama. Masalah terbesar Screenplay itu di skrip soalnya
Hehe, saya belum liat penulisnya, baru ngeh sekarang..he
Film anak judulnya Naura dan Geng Juara bakalan di review gak mas?
Jelas, menarik. Film musikal & film anak, apalagi gabungan keduanya masih jarang soalnya di sini.
Kalo diliat ada unsur penculikan dan petualangan, Petualangan Sherina wanna be? Maybe? But we will see soon..
Oh ya Flatliners gak di review mas?
Dari trailer-nya kental banget pengaruh Petualangan Sherina memang.
Flatliners nggak tertarik, kayaknya jauh dibanding originalnya
Bang review dong the room (2003) pengen tau seberapa greget kah itu film .. Sampe di buat film behind scenenya dan sukses lagi..??
Lah itu justru film tergagal hollywood wkwk
@Salembay one of the worst movie ever, yang saking jeleknya jadi one of the most entertaining movie ever haha
Makanya, saya penasaran kalo bang rasyid nge review itu film bakalan seperti apa kalimat ajaib yang bakalan di tulis.. Apakah bakalan sekeren saat nge review film bagus dalam pemilihan katanya... ?? Mmm
@Salembay Pastinya nggak akan serius-serius amat, lha filmnya aja begitu haha
Tapi kalo bang rasyid nekad ngereview itu, saya yakin sisi gelap dan force bang rasyid bakalan muncul dan bisa jadi jedi.. Kritikus film terkuat... Hhhha..
Posting Komentar