Tampilkan postingan dengan label Arya Vasco. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arya Vasco. Tampilkan semua postingan

SEBELUM IBLIS MENJEMPUT AYAT 2 (2020)

Sesuatu yang begitu saya suka dari gaya Timo Tjahjanto—walau kerap jadi sasaran kritik banyak pihak—adalah keengganan menghemat amunisi dan menginjak pedal rem. Tengok saja Sebelum Iblis Menjemput (2018), yang selama 110 menit nyaris tidak membiarkan penonton menghela napas. Belum lagi kalau membicarakan kegilaan bernama The Night Comes for Us (2018). Sehingga, saya masih tidak percaya akan menulis kalimat berikut ini: Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 adalah horor yang cenderung monoton, kurang menegangkan, meski tetap patut disaksikan.

Timo ingin mencoba pendekatan berbeda. Kadar kekerasan diturunkan (untuk standarnya, karena darah tetap tumpah di sana-sini). Teror pun tak disajikan secara membabi buta. Antara satu momen dengan momen lain diberikan jeda, yang sejatinya bisa berdampak positif andai dibarengi alur mumpuni, tapi sebagaimana kita tahu, penulisan cerita tidak pernah jadi kekuatan terbesar Timo.

Kisah dibuka dengan memperkenalkan karakter baru bernama Gadis (Widika Sidmore), yang bercerita pada sahabatnya, Dewi (Aurelie Moeremans), soal gangguan mistis yang sampai memberinya luka fisik. Lalu kita kembali bertemu Alfie (Chelsea Islan) dan adiknya, Nara (Hadijah Shahab), yang berusaha menata ulang hidup mereka. Pasca peristiwa film pertama, Alfie masih belum menemukan kedamaian. Sesekali, hantu-hantu masih menampakkan wujud di sekitarnya. Lalu Alfie dikejutkan oleh kemunculan beberapa orang bertopeng yang memasuki apartemennya, kemudian menculik dia dan Nara.

Rupanya sekelompok orang itu adalah Gadis beserta teman-temannya: Budi (Baskara Mahendra), Jenar (Shareefa Daanish), Kristi (Lutesha), Leo (Arya Vasco), dan Martha (Karina Salim). Pun mereka datang bukan untuk merampok, melainkan meminta bantuan guna mengakhiri sebuah kutukan, didorong keyakinan bahwa setelah pengalamannya mengalahkan iblis, Alfie merupakan sosok yang tepat untuk dimintai pertolongan. Tapi kenapa harus memakai topeng jika kerahasiaan identitas bukan perkara penting?

Serupa film pertama, rentetan teror terjadi, satu demi satu muda-mudi tewas mengenaskan, tapi kali ini dalam kadar ketegangan tidak seberapa. Keputusan Timo memberi jeda justru jadi bumerang kala tak dibarengi kisah menggigit, meski terdapat latar belakang lebih kelam dibanding pendahulunya. Timo pernah menyatakan kalau di Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2, elemen horor supernatural lebih dikedepankan ketimbang gore, dan ternyata, realisasi dari pernyataan tersebut adalah penampakan lewat jump scare yang lebih dominan.

Dibanding mayoritas horor lokal, tentu jump scare film ini superior, apalagi dengan perpaduan efek spesial plus tata rias mumpuni sehingga jajaran “hantu” tampil mengerikan alih-alih tampak bak peserta cosplay bermodal rendah. Tapi ini karya Timo Tjahjanto. “Lebih baik dari kebanyakan horor lokal” saja tidak cukup. Beberapa momen tersaji kreatif, misalnya keheningan mencekam saat Timo memanfaatkan kemunculan (semacam) pocong dengan metode yang berbeda dibanding sineas lain.

Tapi sisanya repetitif. Hantu akan muncul, berpose, sebelum menerjang karakter kita dengan efek patah-patah klise, yang setelah dieksploitasi oleh entah berapa ratus ribu judul, kehilangan keseramannya. Salah satu elemen penolong (yang bagi beberapa penonton mungkin malah merupakan distraksi) hadir ketika Timo sesekali masih memamerkan keusilannya, bersenang-senang melalui humor-humor tak terduga, yang bahkan jauh lebih berani ketimbang aksi saling bunuhnya.

Di jajaran pemain, ketiadaan Karina Suwandi cukup berhasil ditambal oleh Lutesha dan Widika Sidmore yang kebagian jatah menggila. Khususnya Widika, yang memasuki paruh akhir, menampilkan akting over-the-top yang terkontrol. Menghibur tanpa harus terasa menggelikan. Sesuatu yang mestinya dipelajari oleh Chelsea Islan. Ketika film pertama memfasilitasi gaya aktingnya, di sini Chelsea berusaha terlalu keras terlihat tangguh, membabat semua line dengan intensitas berlipat-lipat. Saya pun teringat pada Nicolas Cage di fase terburuk karirnya.

SUNYI (2019)

Sunyi merupakan remake dari Whispering Corridors (1998), yang mana ambil bagian dalam era baru perfilman Korea Selatan pasca pembebasan dari penyensoran selepas kediktatoran militer berakhir. Alhasil, film tersebut dimanfaatkan selaku media menyuarakan kritik terhadap banyak isu, khususnya perundungan dan kerasnya sistem pendidikan. Itulah alasan mengapa karya Park Ki-hyung tersebut jadi fenomena populer, meski kualitasnya sendiri agak mengenaskan. Berbeda dibanding pendahulunya, Sunyi tak kebingungan menentukan jati diri, mencampur horor dan drama dengan cukup apik, menjadikannya remake yang superior.

Tema perundungan bukan saja dipertahankan oleh Sunyi, bahkan diberi eksplorasi lebih dalam. Kisahnya berlatar tahun 2000 di SMA Abdi Bangsa yang prestisius namun digelayuti isu perundungan yang konon telah berlangsung turun-temurun. Pun tersebar rumor bahwa pada dekade lalu, hal tersebut merenggut nyawa tiga siswi, yang hingga kini arwahnya senantiasa bergentayangan di sekolah.

Protagonis kita bernama Alex (Angga Yunanda), putera mediang paranormal terkenal, yang jelang hari pertamanya bersekolah di Abdi Bangsa, makin mengkhawatirkan senioritas di sana. Ketika ia nyatakan kekhawatiran tersebut, sang ibu (Unique Priscilla) merespon, “Senioritas kan bagus buat character building”. Dari situ kita bisa melihat pola yang menyebabkan perundungan terus lestari.

Pada malam pertama, siswa-siswi tahun pertama dikumpulkan oleh ketiga senior mereka: Andre (Arya Vasco), Erika (Naomi Paulinda), dan Fahri (Teuku Ryzki), guna menghadiri malam orientasi. Saat itulah hukum senioritas mulai diberlakukan. Murid tahun pertama adalah budak (tahun kedua disebut “manusia”, tahun ketiga disebut “raja”, alumni disebut “dewa”) yang wajib menuruti perintah senior yang berhak mengambil barang apa pun milik mereka, bahkan dilarang memasuki area-area seperti perpustakaan, kafetaria, juga toilet.

Bu Ningsih (Dayu Wijanto) selaku kepala sekolah merasa khawatir, tapi atas nama tradisi, memilih membiarkan. Sedangkan para junior tetap diam, karena melawan bukan saja menjadikan mereka musuh publik, pula menghilangkan kesempatan mendapat jaringan luas milik alumni. Sampai titik ini, naskah buatan sutradara Awi Suryadi (Danur, Badoet) bersama duet Agasyah Karim dan Khalid Kashogi (Badoet, Mau Jadi Apa?, Reuni Z), terbukti mampu menyediakan pijakan solid dalam penggambaran lingkaran setan budaya perundungan. Tidak berhenti di situ, naskahnya melangkah lebih jauh menelusuri soal kontribusi pola asuh orang tua lewat tro Andre-Erika-Fahri. Orang tua mereka sama-sama bermasalah, entah menerapkan hukuman fisik, menuntut terlalu tinggi, atau tidak hadir di rumah.

Ketiganya membuat hari-hari Alex bak neraka. Beruntung, ia bertemu Maggie (Amanda Rawles). Keduanya semakin dekat, dan dunia SMA Alex tak lagi sesunyi itu. Sialnya, begitu identitas ayahnya diketahui Fahri, Alex dipaksa memanggil arwah para siswi yang konon bergentayangan di sekolah. Awalnya usaha itu nampak gagal, namun tak lama berselang, kematian mulai menyebar dan darah mulai tumpah di SMA Abdi Bangsa.

Sewaktu Whispering Corridors seolah melupakan hakikatnya sebagai horor, Sunyi menerapkan pendekatan familiar sembari tetap memberi jalan bagi elemen-elemen di atas agar mengalir sebagai pondasi cerita, alih-alih sekedar jump scare layaknya banyak horor medioker lokal belakangan. Di luar adegan “listening class” dan “kolam renang” (yang sudah muncul di trailer), terornya tak banyak memperlihatkan kreativitas. Mayoritas formulaik, ditambah riasan hantu seadanya. Tapi saya mengapresiasi penolakannya untuk melempar jump scare membabi-buta atau memakai efek suara berisik. Serupa judulnya, film ini tidak takut menerapkan kesunyian, tahu kapan mesti berdiam diri, kapan mesti tampil menggelegar (yang juga tak pernah terlampau berisik). Tata musik garapan Ricky Lionardi (Danur, Sakral, Lukisan Ratu Kidul) juga sesekali terdengar atmosferik.

Sunyi pun menempatkan hati di tempat yang tepat. Kembali ke adegan “kolam renang”, secara mengejutkan momen tersebut menyimpan bobot emosi. Ada kesedihan di sana, tatkala senior pelaku perundungan ditampakkan kerapuhannya, digambarkan sebagai salah satu korban kegagalan sistem pendidikan, tentunya tanpa berusaha menjustifikasi perbuatan mereka kepada junior. Momen itu meyakinkan saya bahwa mereka tidak pantas mati. Sehingga saya mengamini ketika Alex mengonfrontasi sang hantu di klimaks sambil menyampaikan pernyataan serupa. Semakin memuaskan kala Sunyi ditutup oleh konklusi hangat, sesuatu yang dikorbankan film aslinya demi tambahan twist tak perlu.

Ya, jika sudah menonton Whispering Corridors, anda tahu akan ada twist. Sepanjang durasi, filmnya menyiratkan itu melalui beberapa petunjuk subtil. Apa yang membuatnya spesial adalah, sekalinya kejutan tersebut diungkap (sayangnya lewat eksekusi antiklimaks), penonton tidak dijejali rekap, selaku penjabaran atas sebaran petunjuk-petunjuk tadi. Seolah semua itu adalah “bonus” bagi penonton yang bersedia menaruh perhatian lebih.

MY GENERATION (2017)

Pada 1965, lewat lagu My Generation, The Who mewakili perlawanan kaum muda. Meneriakkan "People try to put us down. Just because we get around" sebagai protes saat pemegang otoritas pun generasi terdahulu menganggap semangat Baby Boomers yang menyulut perubahan kultural adalah kebejatan mengganggu. 52 tahun berselang, Upi merilis film terbarunya, juga berjudul My Generation. Mengusung tagline "No one can stop us", giliran milenial bersuara. Seni cenderung mencerminkan zaman. Membandingkan dua contoh di atas, dapat diasumsikan benturan antar-generasi merupakan lingkaran yang selalu berulang. Generasi tua merasa yang muda keblinger, sebaliknya pemuda jengah akan kekakuan sikap tetua. Pun bukan mustahil bila muda-mudi macam empat protagonis film ini   Zeke (Bryan Warow), Konji (Arya Vasco), Suki (Lutesha), dan Orly (Alexandra Kosasie)   kelak bakal dipandang kolot oleh anak-anaknya. Menarik disimak cara Upi menangani kompleksitas tersebut.

Zeke, Konji, Suki, dan Orly terpaksa mengubur keinginan berlibur ke Bali akibat dihukum para orang tua pasca video yang menampilkan keempatnya mengkritik sistem pendidikan sekolah serta orang tua berujung viral. Merasa terlalu keren untuk patuh dan diam di rumah, mereka memilih beraktivitas sesuka hati, entah mendatangi roller disco atau menerobos atap gedung hingga dikejar satpam. Serahkan pada Upi untuk merangkai parade letupan semangat masa muda yang mudah membuat penonton tersenyum, tenggelam dalam keasyikan. Tidak ketinggalan memeriahkan suasana adalah keramaian warna sinematografi Muhammad Firdaus serta barisan musik hip-hop dengan lirik yang mewakili kebebasan pikir pula tutur tokohnya.
Walau sama-sama debutan, empat pemeran utama nyatanya sanggup memberi cukup energi guna menggerakkan filmnya. Dinamika dua pria, Bryan Warrow si biang onar dan Arya Vasco yang lebih berhati-hati, Alexandra Kosasie yang senantiasa mencengkeram atensi ketika melontarkan komentar sinis, hingga Lutesha yang mampu mewakili sisi kelam remaja dengan depresi. Sementara di jajaran pendukung, Tyo Pakusadewo dan Karina Suwandi sebagai orang tua Zeke memberi penampilan terbaik, menghadirkan dua sisi duka kontradiktif: kediaman meresahkan dan luapan pilu menusuk. Ceramah bertubi-tubi Joko Anwar (ayah Konji), juga eksentriknya Indah Kalalo (ibu Orly) pun tak kalah mencuri perhatian.

Tentu My Generation bukan mengenai senang-senang semata. Sejak menit awal, tanpa basa-basi kuartet protagonisnya langsung menyuarakan isi hati yang niscaya segera diamini golongan penonton masa kini. Curahan tersebut memanaskan konflik mereka dengan orang tua masing-masing. Zeke merasa keberadaannya tak diharapkan, Konji selalu diceramahi tentang norma, Suki lelah dianggap memalukan nama keluarga, sementara Orly risi mendapati sang ibu yang terlampau eksis di media sosial dan memacari pria berusia jauh lebih muda. Pertanyaannya, seberapa cerdik Upi mengolah bentrokan generasi ini?
Di satu titik karakternya mengutarakan perspektif jika sikap protektif orang tua dikarenakan sewaktu muda dahulu berbuat hal serupa anak-anaknya. Ada kesadaran seputar siklus berulang perilaku tiap generasi. Sayangnya Upi urung menggali soal itu. Padahal bisa muncul titik temu, solusi berupa pemahaman kedua belah pihak bahwa orang tua pernah muda dan sama liarnya, sedangkan milenial suatu hari (mungkin) akan mengalami perubahan pola pikir seiring pendewasaan. Akhirnya My Generation berhenti di tataran "kado bagi milenial". Tidak salah, tapi berpotensi membahas perihal generasi secara lebih luas.

Kelemahan My Generation memang bertumpuk di resolusi. Seiring konflik memanas, berkurangnya keceriaan adalah proses natural. Memasuki paruh kedua, nuansa kelam menyeruak, namun alih-alih menguatkan bobot emosi, justru melucuti daya tarik akibat kurang cakapnya Upi menjalin dinamika dramatik. Bertambah kelam tanpa bertambah dalam. Satu-satunya momen solid adalah ketika orang tua Suki menemukan "petunjuk" terkait kondisi mentalnya. Suatu tamparan keras, sebab selama ini mereka kerap memasuki kamar Suki tapi tak sekalipun menyadari meski semua terpampang jelas. Film mencapai titik nadir begitu menyentuh akhir, sewaktu "konklusi ajaib" jadi pilihan. Selesainya satu perselisihan tiba-tiba turut menyelesaikan masalah lain walau tak saling bersinggungan. Langkah penggampangan yang mestinya tidak dipakai untuk menutup deretan problematika rumit.