Tampilkan postingan dengan label Brandon Salim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Brandon Salim. Tampilkan semua postingan

REVIEW - YOWIS BEN FINALE

"Andai saja" adalah reaksi yang berulang kali muncul di kepala selama menonton ini. Andai saja babak akhirnya dipadatkan, pula dipersingkat sehingga tak perlu dipecah ke dalam dua film. Andai saja demikian, bisa saja Yowis Ben Finale jadi installment terkuat, alih-alih yang terlemah seperti sekarang. Sayang sekali.

Ketika babak konklusi merasa perlu membuka lima menit pertamanya dengan kompilasi trailer tiga judul sebelumnya (plus dua menit rekap ending Yowis Ben 3), entah selaku tapak tilas atau sebatas penambal durasi, jelas ada yang salah. Terbukti, begitu mulai memasuki narasi sesungguhnya, kejanggalan amat terasa.

Yowis Ben Finale dibuka kala Bayu (Bayu Skak), Cak Jon (Arife Didu), dan Ibu Bayu (Tri Yudiman) berada di situasi emosional, menangis, saling minta maaf dan memaafkan. Latar tempat, akting, ditambah konteks mengenai "janji kepada mendiang anggota keluarga", mampu melahirkan pemandangan haru. Tapi ada yang janggal. Adegan ini mestinya mengisi akhir second act, atau bahkan resolusi di third act. Bukan mengawali first act.

Wajar, sebab Yowis Ben 3 dan Yowis Ben Finale sejatinya memang sebuah kesatuan, yang dipotong secara tidak seimbang. Alhasil, struktur narasinya aneh. Film memiliki extended version merupakan hal biasa, tapi Yowis Ben Finale adalah extended third act. Durasi 95 menitnya berisi konklusi-konklusi dari rangkaian konflik film ketiga. 

Konflik Bayu dengan Cak Jon, usaha Cak Jon merebut kembali hati Mbak Rini (Putri Ayudya) dari Arjuna (Denny Sumargo), masalah finansial Doni (Joshua Suherman) dan Yayan (Tutus Thomson), romansa segitiga antara Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) dan Susan (Cut Meyriska), hingga cita-cita Nando (Brandon Salim) kuliah di Amerika yang mengancam nasib Yowis Ben, semua penyelesaiannya ditumpuk di sini. 

Kekurangan tersebut jamak menjangkiti finale sebuah seri yang dipaksa untuk dipecah menjadi dua bagian, tapi baru sekarang saya menemukan yang pembagiannya begitu kasar, begitu asal, sepenuhnya menutup mata terhadap kepatutan bercerita. 

Dampak lainnya, kekhasan franchise ini pun lenyap. Gojek kere miliknya masih sekuat biasanya, pun kali ini Devina Aureel diberi kesempatan unjuk gigi memamerkan bakat mengocok perut penonton. Tapi kuantitasnya jauh terpangkas, akibat terpaksa memberi ruang pada drama-drama yang menunggu diselesaikan. Begitu pula terkait band. Yowis Ben adalah kisah sekelompok remaja mengalami proses pendewasaan melalui band, namun kecuali satu sekuen penutup, praktis perihal kegiatan bermusik nyaris tak terjamah. 

Pertikaian internal Yowis Ben kala Nando mengutarakan niat berkuliah di luar negeri juga terkesan dipaksakan. Saya paham bahwa Fajar Nugros dan Bayu Skak selaku penulis ingin menekankan bagaimana keempatnya tak cuma sekadar band, melainkan keluarga yang selalu bersama, dan menolak saling meninggalkan. Tapi sebagaimana diucapkan karakternya, Yowis Ben juga mata pencaharian mereka. Sumber penghidupan bagi keluarga. Ketimbang memutuskan bubar, bukankah lebih masuk akal mencari pengganti, atau terus berjalan sebagai trio? 

Sekali lagi, sangat disayangkan. Padahal beberapa adegan dramatis digarap cukup kuat. Misal pernyataan "Aku ora dianggap maneh?" dari Cak Jon kepada Bayu dan ibunya yang merupakan ekspresi kehangatan nilai keluarga khas Jawa, atau sebuah konklusi masalah berlatar gereja dengan iringan choir yang membawa pesan persatuan. Semua kuat apabila berdiri sendiri. Tapi film adalah kumpulan adegan yang berpadu menciptakan keutuhan narasi. 

REVIEW - YOWIS BEN 3

Seri Yowis Ben, dari judul pertama hingga ketiga, tidak pernah mengalami peningkatan berarti. Baik kekurangan maupun kelebihannya selalu sama. Tapi kelebihannya terkait identitas. Ada identitas kuat yang dipahami betul oleh para penggemarnya, sehingga wajar bila jumlah penontonnya stabil di kisaran yang tinggi (film pertama 935 ribu, film kedua satu jutaan). Itu juga alasan saya terus kembali, termasuk untuk Yowis Ben Finale di akhir tahun nanti, biarpun tak pernah menyebut diri sebagai "penggemar". 

Identitas tersebut berupa candaan. Gojek kere. Menontonnya bak sedang duduk santai di warung kopi sederhana sembari ngobrol ngalor ngidul bersama teman-teman hingga tengah malam. Adakah obrolan berbobot? Mungkin tidak. Bisa jadi esok pagi detail obrolannya sudah terlupakan, tapi kita ingat, bahwa saat itu kita bersenang-senang.

Alkisah, Yowis Ben kini semakin tenar. Tur keliling Jawa tengah dilakoni Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim), dan Yayan (Tutus Thomson). Apalagi selain Doni, masing-masing mempunyai pasangan suportif. Bayu dengan Asih (Anya Geraldine), Nando dengan Stevia (Devina Aureel), sedangkan Yayan dan Mia (Anggika Bolsterli) bahagia berkat keberadaan putera mereka, Singo (tentu nama unik si bayi dijadikan running joke menggelitik sepanjang durasi). 

Sayangnya, rentetan masalah segera menghampiri. Nando terjebak dilema karena ingin berkuliah di luar negeri, sementara keluarga Bayu dan Doni sama-sama terlilit kesulitan finansial. Masalah terpelik dihasilkan Cak Jon (Arief Didu), yang belakangan sulit fokus pada pekerjaannya. Terlebih saat mantannya, Rini (Putri Ayudya), mendadak muncul, dalam posisi telah bertunangan dengan Arjuna (Denny Sumargo), seorang tentara.

Seperti saya sebutkan di atas, Yowis Ben terasa seperti obrolan ngalur ngidul, sebab memang demikian alurnya dikemas. Tidak tertata. Misalnya first act yang tampil layaknya road movie, namun tanpa destinasi pasti. Sebatas kedok agar naskah buatan Fajar Nugros dan Bayu Skak bisa melempar lelucon-lelucon secara acak. 

Pun memasuki menit-menit berikutnya, penceritaan semakin sulit fokus akibat jumlah konflik yang turut bertambah. Apalagi Yowis Ben 3 adalah bagian pertama dari dua bagian babak final, sehingga jangankan resolusi, beberapa konflik bahkan belum terurai secara memadai. Alurnya tampak seperti keping-keping puzzle yang berserakan di lantai. 

Tapi bukankah Yowis Ben memang senantiasa begitu? Poin-poin di atas dituliskan karena tetap merupakan kelemahan, tetapi sejak sebelum film dimulai, saya sudah mengantisipasinya, memilih untuk menerimanya, dan tidak lagi ambil pusing. Saya datang untuk menertawakan gojek kere para anggota Yowis Ben, Cak Jon, dan Kamidi (Erick Estrada). 

Biarpun cenderung hit-and-miss (juga masalah lama), secara keseluruhan, saya menikmatinya. Saya yakin target pasarnya bakal berpikiran serupa. Saya tertawa setiap ada yang terkejut mendengar nama "Singo". Saya tertawa ketika lelucon "batuk dan batik" dilontarkan, walau telah berkali-kali menyaksikannya di trailer. Saya tertawa membaca papan bertuliskan "Band Liyo". Imajinasi liar cenderung ngawur, pelesetan receh, hingga pisuhan-pisuhan, semua itu adalah wujud hiburan yang dekat.

Ada satu keunggulan di luar komedinya. Di babak akhir, Arief Didu dan Bayu Skak memamerkan kemampuan akting drama mereka. Saya cukup terkejut melihat Bayu. Ini penampilan terbaiknya. Penonton Jawa mungkin juga merasakan, bagaimana menusuknya kata-kata yang Bayu ucapkan. Kata bernada penyesalan akibat bersikap "durhaka" terhadap keluarga, yang rasanya takkan sekuat itu dampaknya bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Itulah yang disebut identitas.

YOWIS BEN 2 (2019)

Sebuah band merantau dari kampung halaman dan/atau mengganti manajer “asli” karena dianggap kurang kompeten memfasilitasi ambisi mereka melompat lebih jauh adalah perkara umum. Biar demikian, situasi itu sungguh rumit. Tapi dalam Yowis Ben 2, pesannya sederhana: Tindakan tersebut tidaklah bijak, karena kita tidak seharusnya meninggalkan keluarga yang tumbuh bersama kita sedari nol.

Tapi apakah anda mengharapkan olahan cerita kompleks dari film begini? Rasanya tidak. Serupa keceriaan lagu-lagu synth-pop berbahasa Jawa milik Yowis Ben, filmnya pun tercipta demi menyulut keceriaan penonton. Kedalaman dan kesubtilan mungkin tetap dirindukan, tapi takkan menghancurkan Yowis Ben 2. Sebab memasuki film kedua, pijakannya makin mantap, sementara humor mengalir nyaman dan penuh percaya diri.

Alkisah, setelah lulus SMA, para personil Yowi Ben dihadapkan pada rentetan masalah. Bayu (Bayu Skak) ditinggalkan kekasihnya, Susan (Cut Meyriska), yang memilih berkuliah di Jerman bersama Roy (Indra Widjaya). Konflik yang dipresentasikan sambil lalu ini sejatinya membuat segala perjalanan film pertamanya sedikit sia-sia. Bukan itu saja, ia mesti membantu sang ibu (Tri Yudiman) melunasi kontrakan rumah.

Lalu ada Yayan (Tutus Thomson), yang selepas menikahi Mia (Anggika Bolsterli) via taaruf, dituntut menanggung perekonimian keluarga. Nando (Brandon Salim) masih kesulitan menerima papanya (Richard Oh) berpacaran lagi, tapi hal ini tak berdampak besar akan keseluruhan kisah, sedangkan Doni (Joshua Suherman).....well, he’s just there.

Berangkat dari beberapa kegundahan itu, Yowis Ben merasa Cak Jon (Arief Didu) tak lagi cocok menjadi manajer, karena ia berulang kali memberi mereka gig absurd (sunatan massal, lapas, dan lain-lain) yang gagal menghasilkan bayaran. Secara bersamaan, datanglah Cak Jim (Timo Scheunemann) dan asistennya, Marion (Laura Theux), menawarikan diri memanajeri Yows Ben asalkan mereka mau pindah ke Bandung. Cak Jim menjanjikan kehidupan mewah serta kesuksesan kilat. Yows Ben tergiur.

Sesampainya di Bandung, semangat keempatnya diuji, pula kebersamaan mereka tatkala idealisme dan tali kekeluargaan berbenturan dengan kebutuhan material. Kembali, situasi tersebut lebih kompleks dari sekedar “Jika memilih uang artinya kamu rakus dan tidak berperasaan”. Tapi memang itulah pesan usungan film ini. Mau tidak mau kita mesti menerimanya. Setidaknya itu pesan yang baik.

Seperti beberapa komedi yang juga ditulis Bagus Bramanti belakangan ini (Yowis Ben, Benyamin Biang Kerok, Love Reborn: Komik, Musik, & Kisah Masa Lalu), jalinan ceritanya berceceran di segala penjuru bagai tak terstruktur. Kisahnya penuh sesak—termasuk romansa Bayu dengan Asih (Anya Geraldine) si gadis Bandung—dan bukan mustahil penonton melupakan intisari kisahnya, sebelum diingatkan lagi oleh third act yang menyelesaikan konflik dengan begitu sederhana, cenderung menggampangkan.

Walau menyoroti perjalanan sebuah band, dan kita masih sering melihat mereka memainkan lagu-lagu yang tak kalah catchy dibanding film pertama, substansi kisah Yowis Ben 2 adalah bagaimana sebuah keluarga menghadapi perbedaan di antara mereka. Ujian itu juga saya rasakan saat mendapati Yayan melakukan taaruf, suatu praktek yang saya kurang sependapat. Tapi naskah Bagus Bramanti bukan propaganda taaruf (atau hal lain), melainkan sekadar presentasi realita. Karena itu, saya pun tergerak untuk menghormati karakter berbeda keyakinan seperti Yayan, membuktikan bahwa filmnya cukup berhasil menyampaikan pesan.

Pesan baik tersebut (dan elemen cerita lain) bakal makin berdampak andai penyampaian komedi dan dramanya tidak terkesan berdiri sendiri-sendiri. Seolah saya bisa mendengar filmnya “ganti gigi” kala melompat dari komedi menuju drama, dan sebaliknya. Pada mode komedi, karakternya bersikap sekonyol mungkin, namun begitu menginjakkan kaki di area drama, karakter yang sama mendadak bisa  bicara luar biasa serius, bahkan melontarkan petuah-petuah bijak yang bepotensi membuat Yowis Ben 2 terdengar preachy bagi sebagian penonton.

Beruntung, keceriaan “gojek kere” film ini mampu mengangkangi kelemahannya. Bukan cuma materi yang makin segar, penyutradaraan Fajar Nugros (Yowis Ben, Moammar Emka’s Jakarta Undercover) pun makin baik berkat kesediaan memperhatikan timing kala menghantarkan humor. Jajaran cast pun masih bersinar. Arief Didu berkesempatan memamerkan kapasitas mengolah rasa, Bayu Skak makin nyaman menampilkan talenta komikal lewat ekspresi dan penyampaian hiperbolis, sedangkan Anggika Bolsterli sekali lagi membuktikan bahwa ia salah satu aktris paling “gila” saat ini.

GENERASI MICIN (2018)

Generasi Micin adalah tontonan menghibur, tapi menilik dari usahanya mengangkat jarak antargenerasi sekaligus observasi terhadap remaja kekinian, film ini kosong. Ibarat hidangan penuh micin, terasa sedap namun kurang bergizi. Bukan masalah andai tujuannya memang sebatas hiburan ringan, tapi bahkan sejak sekuen pembukanya bergulir, karya penyutradaraan teranyar Fajar Nugros (Yowis Ben, Terbang: Menembus Langit) ini mengincar lebih.

Sekuen yang dimaksud menampilkan Anggara muda (Brandon Salim), sebagai keturunan Cina masa lalu, menghabiskan hidupnya bekerja keras belajar berdagang. Bahkan setelah dewasa (diperankan Ferry Salim) dan menikah, ia menjanjikan sang istri (Melissa Karim) ruko mewah di Pantai Indah Kapuk. Fakta-fakta tersebut berlaku sebagai perbandingan begitu kita bertemu putera sulung Anggara, Kevin (Kevin Anggara), si generasi micin yang (katanya) ingin semua berjalan instan, enggan bersosialisasi, memilih berkutat dengan gadget dan video game di kamarnya.

Komparasi lain datang dari Trisno (Morgan Oey), generasi pasca reformasi, yang merujuk pada salah satu dialog, punya ciri berkebalikan dengan generasi micin: lambat. Trisno sempat bermimpi jadi penyanyi, sebelum membuangnya, dan kini hanya menghabiskan waktu bermalas-malasan di rumah. Generasi Trisno tak digali cukup dalam, tapi tak jadi soal. Pertama, ini bukan film tentang mereka. Kedua, Morgan menampilkan salah satu performa terbaik, paling natural, paling asyik disimak sepanjang karirnya. Begitu asyik, saya lupa bahwa sosok Trisno tak seberapa berarti. Dia hanya memberi petuah singkat bagi Kevin, sebuah peran yang sejatinya turut diemban Anggara.

Naskah tulisan Faza Meonk (Si Juki the Movie: Panitia Hari Akhir) kebingugnan hendak menyampaikan apa serta bagaimana. Kadang, Generasi Micin bagai ingin menunjukkan perbedaan remaja-remaja micin dengan generasi sebelumnya. Salah satu elemen komedik dari aspek itu adalah cara bicara Kevin saat menjelaskan sesuatu yang secepat berondongan senapan mesin. Karena, well, sebagai generasi micin, ia identik dengan hal-hal instan dan cepat. Pun film ini menampilkan bagaimana remaja sekarang punya keunggulan yang tak dimiliki pendahulunya, semisal memanfaatkan internet demi kebaikan.

Sedangkan di kesempatan lain, filmnya justru menakankan bila semua generasi sama saja. Mereka yang tua selalu merasa generasi di bawah mereka adalah penurunan. Kondisi itu terjadi sejak dulu dan akan terus berulang. Sebab apa pun generasinya, di usia muda, mereka hanya ingin bersenang-senang, termasuk berbuat kenakalan seperti saat Kevin bersama tiga temannya, Dimas (Joshua Suherman) si penggila K-Pop, Bonbon (Teuku Ryzki) si pelupa, dan Johanna (Kamasean Matthews) melakukan kejahilan-kejahilan di sekolah sebagai pemenuhan tantangan dari sebuah situs misterius. Poin di atas (semua generasi sama) bahkan diucapkan secara gamblang oleh Chelsea (Clairine Clay), si pujaan hati Kevin, di ending, yang (biasanya) berperan selaku perangkum pesan.

Dua tuturan kontradiktif di atas saling bertabrakan. Layaknya banyak tokoh remaja di dalamnya, Generasi Micin mengalami krisis identitas, penuh kebingungan, termasuk ketika mengakhiri kisahnya lewat epilog berkepanjangan yang kelabakan menutup berbagai cabang cerita pada sisa durasinya, dari soal kehidupan sekolah Kevin dan kawan-kawan, kehidupan Trisno, romansa Kevin dan Chelsea, hingga perihal situs misterius tadi.

Namun sekali lagi, bila anda sebatas mengharapkan kelezatan seperti masakan bertabur micin, film ini mungkin memuaskan. Naskah ditambah penyutradaraan Fajar Nugros mengisinya dengan semangat bersenang-senang di tiap momen, menertawakan siapa pun, apa pun, di mana pun. Hampir semua tokoh maupun situasi didesain konyol. Terkadang tawa hadir kala humornya terasa dekat, seperti Ibu Dimas (Cici Tegal) yang tergila-gila menonton drama Korea hingga lupa solat meski berjilbab, hingga kisah “telur dipotong sepuluh”, yang saya percaya, kerap anda dengar. Sayangnya tak jarang juga humornya berlangsung datar, tenggelam dalam absurditasnya sendiri, misalnya tiap hansip bermata juling (Erick Estrada) muncul.

Seperti Kevin dengan penjabaran super cepat yang tak memperhatikan apakah lawan bicaranya paham atau tidak, Generasi Micin terus menerjang, membabat habis hampir semua kesempatan dengan humor tanpa peduli apakah tepat sasaran. Seperti kandungan micin dalam masakan pula, itu bisa menghasilkan kelezatan, tapi alangkah baiknya bila kadarnya dikontrol.

MATA DEWA (2018)


Tidak butuh mata dewa atau mata batin agar bisa melihat keburukan film ini. Digarap oleh Andibachtiar Yusuf yang baru beberapa hari lalu memukau saya lewat Love for Sale (yang dibuat tanpa tekanan kanan-kiri), Mata Dewa mengikuti formula film olahraga: perjuangan underdog, mentor misterius yang sempat punya nama besar, hubungan renggang anak-orang tua, rivalitas, romansa, dan penutup berupa pertandingan akbar. Tapi tak ada satu pun tampil maksimal. Bahkan, semua digarap di bawah standar.

Dibuka lewat pertandingan yang mengecewakan bagi tim Jayhawk dan SMA Wijaya, kita berkenalan dengan Bumi (Brandon Salim), pemain berkemampuan seadanya yang dijadikan kambing hitam atas kekalahan tim oleh Dewa (Kenny Austin), si pemain andalan. Bila tidak ada kata “Dewa” di judulnya, mungkin banyak yang akan mengira Bumi lah protagonisnya. Rupanya, beberapa waktu berselang porsi Bumi terkikis. Tanpa signifikansi terhadap alur, ia mendadak berperan sebagai penggerak suporter alih-alih bermain. Apakah ia dikeluarkan? Atau merasa kemampuannya dangkal lalu memilih mundur? What a message.
Naskah hasil tulisan Andibachtiar bersama Oka Aurora adalah setumpuk konsep yang dimasukkan dalam satu rangkaian alur tanpa saling bertautan. Beberapa subplot langsung menginjak resolusi tanpa proses, sisanya berkebalikan, dilontarkan tanpa penyelesaian. Mengapa Dewa enggan berkomunikasi dengan sang ibu? Untuk apa si pelatih (Nino Fernandez) diberi pergulatan batin terkait pengunduran diri di awal cerita? Sedangkan Ariyo Wahab sebagai mentor Dewa seperti hendak diberi arc tentang kebangkitannya—yang menghadirkan paralel dengan perjuangan Dewa—hanya untuk kemudian dilupakan.

Saya paham bahwa Mata Dewa adalah media promosi DBL (Developmental Basketball League). Maka ketika alur dinomorduakan demi fokus lebih pada momen pertandingan, saya sedikit maklum. Masalahnya, aksi di atas lapangan dikemas demikian malas. Zoom in, zoom out, shaky cam. Tiga teknik itu terus direpetisi, walau dilihat sekilas pun jelas betapa intensitas gagal diciptakan. Belum lagi bumper videoBasketball Live Streaming”, yang entah apa gunanya, selalu diulang. Saya tidak pernah menonton DBL di televisi (kalau ada). Mungkin memang gayanya begitu, entahlah. Satu hal pasti, film ini mestinya bukan highlights, bukan pula reka ulang siaran televisi, melainkan atmosfer asli di lapangan pertandingan.
Tapi saya masih bersabar, mengira babak final selaku klimaks bakal lebih seru. Sampai filmnya memperkenalkan satu per satu pemain dari kedua tim. Total 10 tokoh yang takkan kita pedulikan eksistensinya muncul. Sulit menghilangkan kecurigaan kalau intorduksi tersebut semata bertujuan mengulur waktu. Ketika film berdurasi 80 menit coba mengulur waktu, bisa dipastikan tersimpan ketidakberesan. Sama tidak beresnya dengan bibir komat-kamit Kenny Austin kala Indonesia Raya berkumandang. Apakah protagonis kita tidak hafal lagu kebangsaan?

Wijaya the Giant Killer”. Julukan yang diberikan oleh dua komentator (Augie Fantinus dan Udjo Project Pop) sulit diamini, karena kita tak diajak merasakan perjuangan mencapai puncak. Setiap pertandingan numpang lewat, dan tiba-tiba sampai titik akhir. Mestinya final jadi ajang pembuktian Dewa yang penglihatannya terganggu akibat kecelakaan. Tapi sepanjang laga, cuma dua kali ia berperan: Saat dijatuhkan lawan, dan memberi assist pada rekannya dalam angka penentu kemenangan. Ya, bahkan angka itu bukan dicetak oleh Dewa. Sulit mencari hal positif. Dodit Mulyanto yang diharapkan menyegarkan suasana pun tak dimaksimalkan akibat timing pengadeganan acap kali meleset. Selaku alat promosi DBL, Mata Dewa gagal tersaji inspiratif (seperti beberapa kisah nyata keberhasilan mantan atlet yang tertuang di akhir), atau sekedar keren.

YOWIS BEN (2018)


Saya—dan mungkin banyak dari kalian—pernah merasa jadi manusia paling kreatif ketika mencetuskan nama-nama nyeleneh seperti “Tambal Band”, “Elek Yo Band”, “KepriBand”, dan sebagainya untuk nama band, tanpa menyadari ribuan orang lain di seluruh penjuru Indonesia menyimpan ide serupa. Dalam prosesnya, dengan tujuan utama: a) Mengejar mimpi bermusik, dan b) Memikat hati wanita, studio-studio pun dijajah, panggung demi panggung dijamah. Sampai tujuan kedua terpenuhi dan salah seorang anggota membawa pacar barunya ke latihan selaku ajang pamer, di situ awal perpecahan bermula.

Yowis Ben, yang merupakan debut penyutradaraan Bayu Skak di mana ia berduet dengan Fajar Nugros (Cinta Selamanya, Moammar Emka’s Jakarta Undercover), berpotensi jadi gambaran akurat nan menggelitik soal lika-liku perjalanan band anak SMA kalau bukan karena fokus cerita yang melucuti spesifikasi tersebut. Naskah buatan Bagus Bramanti dan Gea Rexy memilih jalur formulaik from zero to hero. Yowis Ben lebih menyoroti berbagai implikasi dari terciptanya band ketimbang seluk-beluk internal band tersebut, yang mana lebih menarik, unik, dan menggelitik.
Bayu (Bayu Skak) yang dijuluki “Pecel Boy” karena tiap hari membantu ibunya berjualan pecel di sekolah jengah dianggap remeh serta ingin memikat hati Susan (Cut Meyriska). Doni (Joshua Suherman) tidak jauh berbeda, coba membuktikan pada orang tuanya bahwa dia mampu meraih kesuksesan. Akhirnya tercetus ide membuat band guna memenuhi mimpi keduanya. Yayan (Tutus Thomson) si penabuh beduk dan Nando (Brandon Salim) sang keyboardist yang berharap dikenal lewat karya daripada wajah ganteng belaka pun direkrut. Terciptalah Yowis Ben.

Panggung pertama Yowis Ben berujung kegagalan tatkala banyak film memilih langsung menonjolkan para tokoh utama sebagai rising star yang talentanya langsung mencuri perhatian publik di percobaan perdana. Pilihan realistis yang sayangnya ditinggalkan pada fase-fase berikutnya. Yowis Ben tiba-tiba sukses lewat YouTube berkat video klip ratusan ribu penonton yang menampilkan Yowis Ben bernyanyi di hadapan puluhan orang. Bagaimana band SMA melarat mampu merekrut talenta sebanyak itu? Bagaimana lagu-lagunya tercipta? Bagaimana latihan di studio yang tentunya penuh intrik sekaligus kejenakaan berlangsung? Film ini tak mempedulikan proses-proses itu, sehingga sulit pula mempedulikan perjuangan serta merayakan kesuskesan karakternya.
Hambar pula romantika Bayu dan Susan, meski pembawaan membumi, seringai naif, ditambah bakat alam Bayu Skak melucu, memudahkan kita tersenyum. Berstatus penulis cerita, entah seberapa banyak masukan yang Bayu berikan terkait penulisan naskah khususnya bumbu komedi, tapi memang humornya paling efektif tatkala Bahasa Jawa memainkan peranan besar khususnya sewaktu umpatan-umpatan dan selorohan menyeruak masuk. Ganti dengan Bahasa Indonesia, kelucuannya dipastikan menurun drastis. Unsur Jawa akhirnya lebih berperan menguatkan komedi ketimbang alur yang minim kekhasan dan bisa dipindah ke balahan dunia manapun tanpa menimbulkan perbedaan signifikan.

Yowis Ben menyasar banyak hal, mulai pembuktian orang-orang yang dipandang sebelah mata—termasuk Bahasa Jawa yang disebut kampungan oleh netizen—percintaan, persahabatan, hubungan anak dan orang tua, hingga band SMA, tanpa ada yang benar-benar tampil solid. Setidaknya keempat tokoh utamanya amat menghibur berkat ciri masing-masing, terlebih Yayan dengan kebiasaannya meminum kuah pop mie memakai sedotan. Ya, menghibur. Jangan berharap lebih dari itu bagi sebuah film tentang band beraliran musik pop-punk “towat-towet” yang gemar melafalkan “t” sebagai “c”.

DILAN 1990 (2018)

Dilan 1990 diadaptasi dari novel buatan Pidi Baiq yang konon terinspirasi dari kisah nyata. Andai percintaan Dilan dan Milea sungguh benar adanya, saya yakin Pidi cuma mengambil garis besar kisah mereka. Sisanya, terlebih dialog yang ada, pastilah rekayasa. Sebab manusia mana yang mengucapkan kalimat seperti “Kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja” atau “Jangan rindu. Berat. Kau enggak akan kuat. Biar aku saja”. Terdengar menjijikkan? Mungkin. Tapi bukankah kita kerap menganggap kemesraan dan rayuan (sok) puitis itu menjijikkan sampai akhirnya kita sendiri melakukannya, menikmatinya kala terjebak asmara?

Menonton Dilan 1990 rasanya seperti menjalani sebuah hubungan cinta. Hal yang awalnya menggelikan kemudian berubah jadi manis nan memabukkan. Milea (Vanesha Prescilla) baru pindah dari Jakarta ke sebuah SMA di Bandung. Seketika banyak siswa terpikat padanya. Milea sendiri memiliki pacar di Jakarta. Beni (Brandon Salim) namanya. Tapi pikiran Milea justru dikuasai Dilan (Iqbaal Ramadhan), bocah begajulan anggota geng motor dengan julukan “Panglima Tempur” yang di awal pertemuan kerap melontarkan ramalan-ramalan. “Aku ramal kita akan bertemu di kantin”, demikian ucap Dilan. Aneh? Tunggu sampai ia menghadiahkan TTS yang sudah terisi penuh di hari ulang tahun Milea karena tidak mau membuat si gadis pusing.
Pokoknya Dilan unik. Begitu juga adiknya. Alasannya, sang bunda (Ira Wibowo) bukan ibu-ibu kaku, yang akhirnya membentuk kepribadian anak-anaknya. Saya dan para penonton lain yang telah memasuki usia dewasa bisa jadi menganggap Dilan beserta caranya mencintai aneh ketimbang unik apalagi romantis. Tapi mungkin saat SMA dulu saya akan memahami romantismenya. Mungkin saat SMA dulu saya akan menjadikan Dilan panutan supaya diidolakan gadis-gadis. Mungkin di masa saya SMA dulu, konsensus menunjukkan Dilan adalah laki-laki manis. Alhasil saya pun coba memandang Dilan 1990 sebagai sarana nostalgia. Lagipula setting 90-an miliknya memfasilitasi tujuan itu.

Memakai perspektif tersebut, filmnya lebih bisa dinikmati, mampu melemparkan saya kembali menuju manis dan pahit romantika masa remaja yang diisi kecemburuan, rayuan, kebahagiaan kala sang pujaan pertama kali bersedia membonceng motor, sampai perjuangan memacu adrenalin untuk merebut hati kekasih orang (ups!). Penyutradaraan duet Fajar Bustomi (Surat Kecil untuk Tuhan, Jagoan Instan) dan Pidi Baiq belum total dalam urusan merangkai momen asmara baik yang menggemaskan maupun romantis, tapi iringan nomor manis Dulu Kita Masih SMA selalu siap membantu menambal kekurangan terkait rasa dalam pengadeganan.
Pengarahan kedua sutradaranya memang kerap menghalangi suatu adegan memunculkan dampak yang diinginkan. Contohnya ketika komedinya sering berujung cringey. Ada peranan pemain yang kurang tepat penyampaiannya, tapi mayoritas didorong kecanggungan adegan. Seolah Fajar dan Pidi bingung harus mengemasnya bagaimana. Kebingungan serupa dialami Iqbaal. Sewaktu bermain santai, ia menyenangkan disimak, hidup dan dinamis sebagaimana ditunjukkannya lewat Ada Cinta di SMA. Kondisinya berbalik saat dipaksa melontarkan kalimat “khas Dilan”. Iqbaal kaku tatkala harus berbahasa baku. Setidaknya satu senyuman cukup mendorong penggemarnya berteriak histeris. Sementara Vanesha Prescilla berhasil membuat Milea gampang disukai penonton, walau seperti pasangannya, ia lebih menikmati saat menghadapi suasana santai.

Alur Dilan 1990 bergerak episodik layaknya memori, pula berlangsung tipis minim konflik. Kehidupan Dilan selaku “Panglima Tempur” di geng motornya, konflik keluarga, kehidupan sekolah dan lain sebagainya memang masih bisa digali demi mengakali tipisnya plot, tapi bukan masalah besar. Tujuan utama Dilan 1990 adalah mempresentasikan percintaan remaja SMA, dan bukankah pada umumnya permasalahan di jenjang usia serta pendidikan tersebut memang tidak jauh-jauh dari situ? 

THE UNDERDOGS (2017)

The Underdogs adalah film tentang ambisi para remaja meraih kesuksesan sebagai Youtubers sekaligus menampilkan Young Lex. Sederhananya, film ini mudah dibenci bahkan oleh mereka yang tidak atau belum menonton. Walau tidak seluruhnya, saya pribadi terkadang menyimpan sentimen negatif terhadap obsesi generasi masa kini mengejar popularitas melalui kanal yang katanya lebih dari televisi ini. Dangkal. Begitu pikir saya. Sampai The Underdogs datang, menyadarkan justru keengganan saya (atau mungkin kita) menilik dari perspektif lain lah yang dangkal. 

Empat sekawan, Ellie (Sheryl Sheinafia), Dio (Brandon Salim), Bobi (Jeff Smith), dan Nanoy (Babe Cabita) merupakan korban bullying, dianggap pecundang di sekolah. Kondisi itu bertahan hingga lulus. Keinginan memperbaiki nasib terjawab pasca melihat kesuksesan S.O.L: Sandro X (Ernest Prakasa), Oscar (Young Lex), dan Lola (Han Yoo Ra), trio Youtubers yang sukses berkat video rap mereka. Terinspirasi, keempat protagonis kita mengikuti jalur serupa, membentuk channel rap memakai nama The Underdogs sambil berharap mengubah nasib di tengah beragam deraan masalah pribadi termasuk keluarga.
Naskah garapan Alitt Susanto bersama Bene Dion Rajagukguk memegang kunci. Saya (atau lagi-lagi, mungkin kita) terbiasa menganggap jajaran Youtubers terdiri atas sosok-sosok haus atensi berotak dangkal yang besar kepala pasca keberhasilan direnggut. Naskah The Underground menjelaskan betapa banyak dorongan lain. Ellie dengan pertengkaran sehari-hari orang tuanya, Bobi yang dipaksa melanjutkan pabrik tahu sang ayah atau Dio yang selalu diragukan ibunya akibat belum dianggap dewasa. Motivasi tersebut bukan saja simpatik, juga relatable. Poinnya, bisa jadi di luar sana, ada Youtubers berangkat dari alasan serupa yang terlanjur menghadapi hujatan akibat publik ogah lebih mencari tahu. 

Alurnya bergerak tak hanya rapi, pun ikut mendukung keterikatan akan karakter. Contohnya waktu Bobi menyulut perpecahan begitu The Underdogs mencapai ketenaran. Enggan berlarut-larut, sutradara Adink Liwutang secara cepat nan tepat seketika menggiring penonton menuju pemahaman tentang persoalan pribadi Bobi, menghalangi kesempatan penonton kesal kepadanya. Walau cukup disayangkan, perjalanan ke arah resolusi mengenai konflik keluarga agak terburu-buru sekaligus menggampangkan, seolah tanpa proses. Pengorbanan yang dilakukan demi memfasilitasi penyelesaian masalah lain, sebutlah persahabatan. Lalu pada konteks lebih luas terkait kultur internet, The Underdogs turut menyampaikan bagaimana media sosial dapat luar biasa bermanfaat andai dimanfaatkan tepat.
Komedinya memang bukan berisi humor yang mampu menancap di benak penonton lama seusai film berakhir, tetapi berhasil tampil konsisten. Meski hadir beruntun, gelontoran banyolan The Underdogs rutin memancing tawa atau setidaknya senyum lebar. Parodi brand atau program di sana-sini sampai nasib buruk tanpa ujung yang menimpa Babe Cabita (sekali lagi ia jago memerankan penderita kesialan akut) lebih dari cukup menjalin hiburan. Pun mencuri perhatian yakni Sheryl Sheinafia lewat banyak pembawaan deadpan hingga Dodit Mulyanto yang hobi dirapikan rambutnya sembari sesekali berkata "asu kowe". Young Lex? Well, he's just chilling out here and there.

Mengangkat kisah Youtubers yang memilih jalur video rap, sudah barang tentu The Underdogs diisi sederet nomor yang cukup menghibur telinga, khususnya lagu berlirik jenaka milik The Underdogs. Adink Liwutang tidak ketinggalan memasukkan visualisasi selaku (ceritanya) video klip lagu-lagu tersebut, menjadikan filmnya paket lengkap mengenai Youtube. Walau masih dibarengi kekurangan-kekurangan, The Underdogs di luar dugaan lebih dari menghibur, juga sanggup memancing agar bersedia menyikapi fenomena Youtubers dari sudut pandang lain yang pastinya lebih positif.


Review The Underdogs dapat dibaca juga di tautan ini 

A: AKU, BENCI, DAN CINTA (2017)


Perbedaan tipis benci dan cinta, gangguan-gangguan mengesalkan yang ternyata bentuk ekspresi malu-malu atas perasaan suka, tentu kita familiar dengan rupa-rupa gejolak asmara kawula muda semasa SMA di atas. Dalam A: Aku, Benci, dan Cinta, kondisi serupa dialami Anggia (Indah Permatasari) dan Alvaro (Jefri Nichol). Anggia setengah mati membenci Alvaro, cowok paling populer di sekolah sekaligus ketua OSIS dengan Anggia sebagai wakilnya. Baginya Alvaro tak berotak maupun hati, hanya playboy bermodal tampang penggoda belasan cewek naif yang telah menjadi korbannya. Apalagi, Alvaro kerap sengaja memancing amarah Anggia.


Polanya bisa ditebak. Alvaro sejatinya menyimpan cinta, begitu pula Anggia yang akhirnya luluh juga. Keduanya hanya terlalu ragu atau gengsi mengakui apalagi mengungkapkan isi hati. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Alvaro menyimpan rahasia tentang persahabatan dengan Alex (Brandon Salim) dan Athala (Amanda Rawles), bagaimana tiga sahabat itu terpecah akibat cinta segitiga, serta kondisi Athala yang telah beberapa lama koma di rumah sakit. Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Wulanfadi, debut penyutradaraan Rizki Balki ini mengandung setumpuk potensi pembeda bila dibandingkan mayoritas romansa putih abu-abu. 
Komedinya segar. Dasar ide dari naskah buatan Alim Sudio (Surga Yang Tak Dirindukan 2, Jilbab Traveler, Pesantren Impian) mampu diwujudkan oleh Rizki Balki menjadi serangkaian sempilan momen absurd hasil imajinasi karakternya, misal saat Anggia dikuasai rasa malu sampai ingin loncat dari atap sekolah. Didukung pula kebolehan Indah Permatasari memerankan cewek galak cenderung kasar yang jangankan marah sambil berteriak, bogem mentah pun tidak ragu dia lemparkan. She could be our future romcom queen. Para pembuatnya sadar betul keunggulan sisi komedik filmnya, menumpahkannya sebanyak mungkin, yang saking efektifnya, kerap mendistraksi aspek dramatik.

A: Aku, Benci, Dan Cinta seolah bingung menentukan waktu pula cara untuk tampil serius. Bahkan penjelasan sebab Athala koma pun berujung kelucuan disengaja yang seharusnya tak perlu ada. Tensi pertikaian mengenai cinta segitiga yang dua kali menimpa Alvaro dan Alex urung mencapai titik maksimal, khususnya karena persahabatan yang telah berlangsung lama pun konon demikian solid itu tak pernah terasa meyakinkan. Konflik Alvaro-Alex-Athala dan kisah Alvaro-Anggia yang akhirnya bersinggungan bagai dua gagasan yang saling bertabrakan mencuri fokus tanpa sanggup membaur bersinergi. 
Begitu juga paparan percintaan. Walau diberkahi insting humor mumpuni, Rizki Balki kurang cakap merangkai sisi manis romantisme remaja. Lihat ketika Alvaro dan Anggia berduet menyanyikan lagu ciptaan berdua (Alvaro membuat melodi dari puisi Anggia). Mixing jernih ala suara CD mengundang kesan artificial, menghilangkan ungkapan emosi, melemahkan momentum. Segala interaksi protagonis bakal berlalu tak berbekas andai tiada Indah Permatasari dan Jefri Nichol di jajaran lead. Bersenjatakan jangkauan emosi semakin luas dibandingkan performanya pada Dear Nathan, Jefri makin piawai memainkan sosok berandalan dengan tingkah seenaknya, tapi punya pesona kuat guna menggaet hati baik karakter lain atau penonton. 

A: Aku, Benci, Dan Cinta merupakan komedi romantis masa SMA yang lebih ampuh menggelakkan tawa daripada memancing gejolak rasa manis asmara. Toh cukup mengasyikkan dikonsumsi sebagai hiburan ringan. Di sisi lain turut memberi panggung bagi Indah Permatasari dan Jefri Nichol menunjukkan kapasitas mereka lebih jauh. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan, Jefri Nichol akan kokoh jadi raja film SMA yang selalu memancing jerit histeris penonton remaja. Sementara Indah Permatasari membuktikan bahwa ia perlu mendapat pengakuan, layak dipercayakan memikul beban pemeran utama.